Soal:
Assalamu ‘alaika.
Pertanyaan: apakah tato untuk laki-laki halal atau haram?
Sebab Allah menyebutkan laknat untuk wanita bertato (al-wâsyimah) dan wanita yang meminta ditato (al-mustawsyimah) yakni untuk perempuan bukan untuk laki-laki.
Saya berharap balasan, ucapan selamat dariku.
[Abu Banan]
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
1- Berkaitan dengan tato maka itu adalah haram. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ، وَالوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ»
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambung rambutnya, dan wanita yang bertato dan wanita yang meminta ditato”.
Tato yang haram adalah kulit ditusuk-tusuk dengan jarum kemudian diisi dengan kahl (celak) atau pacar sehingga bekasnya berwarna biru atau hijau …
Dan tato kulit (wasyam al-jald) juga didefinisikan di al-Mawsû’ah ath-Thibbiyah al-Fiqhiyah bab Jaldu bahwa tato “adalah sejenis hiasan yang dilakukan dengan jalan kulit ditusuk-tusuk menggunakan jarum sampai mengeluarkan darah kemudian ditaburkan kahl, pacar atau pewarna khusus agar berwarna biru atau hijau”. Tato merupakan kebiasaan kuno kemudian belakangan dihidupkan kembali oleh fashion dan disebut dalam bahasa Inggris “tattoo”.
2- Hadis-hadis yang menyatakan pengharaman tato datang dengan redaksi perempuan (at-ta`nîts) dan tidak dengan redaksi laki-laki (at-tadzkîr). Misalnya:
a- Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya: Ibnu Abiy Syaibah Yunus bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Zaid bin Aslam dari Athal’ bin Yasar dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ، وَالوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ»
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambung rambutnya, dan wanita yang bertato dan wanita yang meminta ditato”.
b- Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari Abdullah, ia berkata:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ فَقَالَ وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَمَنْ هُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ فَقَالَتْ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ! قَالَ لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ، أَمَا قَرَأْتِ ﴿وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾؟ قَالَتْ: بَلَى، قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ. قَالَتْ: فَإِنِّي أَرَى أَهْلَكَ يَفْعَلُونَهُ! قَالَ: فَاذْهَبِي فَانْظُرِي فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئاً. فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ مَا جَامَعْتُهَا
“Allah melaknat wanita yang bertato dan wanita yang meminta ditato dan wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambung rambutnya untuk kecantikan yang mengubah ciptaan Allah”. Hal itu sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang dipanggil Ummu Ya’qub lalu dia datang dan berkata: “telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat begini dan begini”. Abdullah berkata: “kenapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan orang yang ada di Kitabullah?” Wanita itu berkata: “aku telah membaca apa yang ada di antara dua lembaran (yakni Kitabullah) dan aku tidak menemukan apa yang engkau katakan!” Abdullah berkata: “jika engkau memperhatikan niscaya engkau menemukan, bukankah engkau membaca (artinya):” Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”? Wanita itu berkata: “benar”. Abdullah berkata: “Rasul telah melarangnya”. Wanita itu berkata: “aku melihat isterimu melakukannya!” Abdullah berkata: “pergilah dan lihatlah” lalu wanita itu melihat dan dia tidak menemukan apa-apa dari keperluannya. Maka Abdullah berkata: “andai dia demikian nisaya aku tidak menggaulinya”.
c- Di dalam riwayat lainnya oleh imam al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ، مَا لِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
“Allah melaknat wanita yang bertato (al-wâsyimah) dan wanita yang meminta ditato (al-mustawsyimah), wanita yang meminta dicabuti rambut wajahnya (al-mutanammishât) dan wanita yang meminta direnggangkan giginya (al-mutafallijât) untuk kecantikan, wanita yang mengubah ciptaan Allah, kenapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Allah SWT dan itu di kitabullah”.
d- Di dalam hadis Abu Hurairah disebutkan al-wâsyimah (wanita yang bertato) dan al-mustawsyimah (wanita yang meminta ditato). Dan di dalam hadis Abdullah bin Mas’ud disebutkan al-wâsyimât (wanita-wanita yang bertato) dan al-mûtasyimât (wanita-wanita yang meminta ditato). Dan disebutkan di riwayat yang lainnya al-wâsyimât (wanita-wanita yang bertato) dan al-mustawsyimât (wanita-wanita yang meminta ditato). Jelas dari hal itu semuanya bahwa redaksi yang digunakan di hadis-hadis nabi yang mulia itu adalah redaksi perempuan (at-ta`nîts).
3- Ada uslub di dalam bahasa arab yang disebut uslub at-taghlîb, dan itu dikenal di dalam ushul fiqh. Maknanya:
a- Seruan itu jika menggunakan redaksi laki-laki (al-mudzakkar) atau redaksi ar-rajul maka itu juga berlaku terhadap redaksi perempuan (al-mu`annats) dengan at-taghlîb, dan wanita tidak keluar darinya kecuali dengan nas yang mengeluarkannya:
– Misalnya firman Allah SWT: “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû -hai orang-orang yang beriman-“, maka di dalamnya masuk juga perempuan-perempuan mukminah hingga meskipun ayat tersebut dengan redaksi laki-laki (al-mudzakkar), sebab tidak ada nas yang mengeluarkan wanita dari hukum ini.
– Misal lainnya, apa yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi saw bersabda:
«أَيُّمَا رَجُلٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِماً، اسْتَنْقَذَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْواً مِنْهُ مِنَ النَّارِ»
“Laki-laki siapapun yang memerdekakan seorang muslim maka Allah akan membebaskan dengan setiap organ dari orang yang dimerdekakan itu, satu organ dari orang itu dari neraka”.
Ini juga berlaku terhadap wanita dengan uslub at-taghlîb. Yakni, “ayyuma imra`atin a’taqat imra`an musliman … -wanita siapa saja yang memerdekakan seorang muslim …” sebab tidak ada nas yang mengeluarkan wanita dari hukum ini.
– Misal lainnya firman Allah SWT:
﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat” (TQS an-Nur [24]: 56).
Shalat, zakat dan taat kepada Rasulullah saw adalah fardhu bagi lak-laki dan perempuan sebab tidak ada nas yang mengeluarkan perempuan dari hukum ini.
– Tetapi uslub at-taghlîb ini tidak digunakan jika dibatalkan oleh nas, yakni jika dikhususkan dengan nas yang mengeluarkan wanita dari keumumannya:
– Misalnya firman Allah SWT:
﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ﴾
“Telah diwajibkan atas kalian berperang dan padahal berperang itu sesuatu yang kalian benci” (TQS al-Baqarah [2]: 216).
Seruan di sini menggunakan redaksi laki-laki (al-mudzakkar) dan memberi faedah fardhunya jihad. Tetapi uslub at-taghlîb tidak digunakan di sini. Jadi tidak dikatakan bahwa ini mencakup wanita dengan uslub at-taghlîb dengan lafal “kutiba ‘alaykum al-qitâl”, sebab ini dibatalkan dengan nas-nas lainnya yang menjadikan jihad fardhu terhadap laki-laki. Ibnu Majah telah mengeluarkan dari Habib bin Abiy Amrah dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah Ummul Mukmininra., ia berkata: “aku katakan: “ya Rasulullah apakah jihad wajib bagi wanita? Beliau bersabda:
«نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ، لَا قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ»
“Benar, jihad wajib bagi mereka, tidak ada perang di dalamnya: haji dan umrah”.
Artinya, bahwa jihad dengan maknanya perang tidak fardhu bagi wanita.
– Misal lainya: firman Allah SWT:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9).
Nas ini memberi faedah fardhunya shalat Jumat dan wajibnya berusaha (pergi) untuk melaksanakannya jika ada panggilan. Dan di sini uslub at-taghlîb tidak diamalkan yakni kefardhuan shalat Jumat tidak berlaku pada wanita, sebab terdapat nas yang mengkhususkan kefardhuan Jumat dengan laki-laki dan mengeluarkan wanita dari kefardhuan ini karena sabda Rasul saw yang dikeluarkan oleh al-Hakim di al-Mustadrak alâ ash-Shahîhayn dari Abu Musa ra. dari Nabi saw, beliau bersabda:
«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»
“Shalat Jumat adalah hak yang wajib bagi setiap muslim dalam jamaah kecuali empat golongan: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit”.
Al-Hakim berkata: “ini merupakan hadis shahih menurut syarat ash-syaikhain”. Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
– Tetapi nas dengan redaksi perempuan (at-ta`nîts) untuk menjelaskan hukum tertentu maka laki-laki tidak masuk di dalamnya kecuali dengan nas baru yang memasukkan laki-laki dalam hukum itu:
– Misalnya, Ibnu Hibban telah mengeluarkan di Shahîh-nya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ»
“Wanita adalah aurat”.
Kemudian darinya dikecualikan wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan sebagaimana dalam tafsir firman Allah SWT:
﴿وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (TQS an-Nur [24]: 31).
Yang mana al-Baihaqi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan “mâ zhahara minhâ -apa yang (biasa) sampak dari padanya-“ adalah wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan. Dan Ismaol al-Qudha’iy telah mengeluarkan dari Ibnu Abbas secara marfu’ dengan sanad yang baik sebagaimana yang ada di ‘Awn al-Ma’bûd (9/138) … Kedua nas ini dengan redaksi perempuan: jadi wanita itu semuanya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan. Aurat laki-laki tidak semuisal perempuan. Tetapi aurat laki-laki adalah pusar sampai kedua lutut dengan nas-nas yang lainnya. Ad-Daraquthni telah mengeluarkan di dalan Sunan-nya (2/482) … dari Atha’ bin Yasar dari Abu Ayyub, ia berkata: “aku mendengar Nabi saw bersabda:
«مَا فَوْقَ الرُّكْبَتَيْنِ مِنَ الْعَوْرَةِ وَمَا أَسْفَلَ مِنَ السُّرَّةِ مِنَ الْعَوْرَةِ»
“Tubuh yang ada di atas kedua lutut termasuk aurat dan apa yang ada di bawah pusar termasuk aurat”.
– Misal lainnya, imam Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari Abdullah bin Suwaid al-Anshari dari bibinya Ummu Humaid isterinya Abu Humaid as-Sa’idi: “bahwa dia datang kepada Nabi saw dan berkata: “ya Rasulullah, saya suka shalat bersamamu”, maka beliau bersabda:
«قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي… وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي»
“Aku sudah tahu bahwa engkau menyukai shalat bersamaku … tetapi shalatmu di rumahmu adalah lebih baik untukmu dari shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu adalah lebih baik untukmu dari shalatmu di masjidku”.
Hadis ini dengan redaksi perempuan sehingga laki-laki tidak masuk di dalamnya. Jadi shalatnya laki-laki di rumahnya tidak lebih baik untuknya dari shalatnya di masjid.
Artinya, bahwa nas dengan redaksi perempuan tetap terbatas dengan wanita dan laki-laki tidak masuk di dalam hukum tersebut kecuali dengan nas yang lainnya.
4- Dan dengan memeriksa nas-nas tato kita temukan nas-nas itu mengunakan redaksi perempuan (at-ta`nîts) dan itu tidak mencakup laki-laki melalui dalâlahnya … Hal tu ditunjukkan oleh bahwa Ibnu Mas’ud ra. perawi hadis tersebut memahami dari hadis itu bahwa itu pada perempuan. Dan begitu pula yang dipahami oleh seorang perempuan dari Bani Asad yang dipanggil Ummu Ya’qub. Sebab dinyatakan di hadis imam al-Bukhari yang disebutkan di atas:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ فَقَالَ وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَمَنْ هُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ فَقَالَتْ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ! قَالَ لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ، أَمَا قَرَأْتِ ﴿وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾؟ قَالَتْ: بَلَى، قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ. قَالَتْ: فَإِنِّي أَرَى أَهْلَكَ يَفْعَلُونَهُ! قَالَ: فَاذْهَبِي فَانْظُرِي فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئاً. فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ مَا جَامَعْتُهَا
“Dari Abdullah, ia berkata: “Allah melaknat wanita yang bertato dan wanita yang meminta ditato dan wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambung rambutnya untuk kecantikan yang mengubah ciptaan Allah”. Lalu hal itu sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang dipanggil Ummu Ya’qub lalu dia datang dan berkata: “telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat begini dan begini”. Abdullah berkata: “kenapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan orang yang ada di Kitabullah?” Wanita itu berkata: “aku telah membaca apa yang ada di antara dua lembaran (yakni Kitabullah) dan aku tidak menemukan apa yang engkau katakan!” Abdullah berkata: “jika engkau memperhatikan niscaya engkau menemukan, bukankah engkau membaca (artinya):” Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”? Wanita itu berkata: “benar”. Abdullah berkata: “Rasul telah melarangnya”. Wanita itu berkata: “aku melihat isterimu melakukannya!” Abdullah berkata: “pergilah dan lihatlah” lalu wanita itu melihat dan dia tidak menemukan apa-apa dari keperluannya. Maka Abdullah berkata: “andai dia demikian nisaya aku tidak menggaulinya”.
Perempuan dari Bani Asad yang dipanggil Ummu Ya’qub itu memahami dari hadis tersebut bahwa laknat itu adalah pada perempuan sehingga dia menngatakan kepada Ibnu Mas’ud ra.: “ فَإِنِّي أَرَى أَهْلَكَ يَفْعَلُونَهُ -aku melihat isterimu melakukannya-“, lalu Ibnu Mas’ud ra, menjawabnya:
فَاذْهَبِي فَانْظُرِي فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئاً. فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ مَا جَامَعْتُهَا
“Pergilah dan lihatlah” lalu wanita itu melihat dan dia tidak menemukan apa-apa dari keperluannya. Maka Abdullah berkata: “andai dia demikian nisaya aku tidak menggaulinya”.
Dan jelas dari ini bahwa keduanya (Ibnu Mas’ud dan Ummu Ya’qub) memahami bahwa hadis tersebut adalah pada perempuan.
Dan hadis tato adalah menggunakan redaksi perempuan (at-ta`nîts) sehingga tidak mencakup laki-laki kecuali dengan nas yang lain, tetapi tidak dengan hadis-hadis tato yang telah disebutkan.
6- Tetapi, di situ ada masalah lainnya berkaitan dengan tato. Yaitu bahwa tato itu najis disebabkan tertahannya darah di tempat tato. Dinyatakann di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah: “para fukaha bersepakat bahwa tato adalah najis karena darah tertahan di tempat tato dengan apa yang ditusuk dengan jarum terhadapnya”. Najis di tubuh ini tidak mudah menghilangkannya. Pembuatan najis yang diam di tubuh dengan pilihan seseorang yang baligh dan berakal merupakan perkara yang tidak boleh karena najis ini mengakibatkan masalah-masalah berkaitan dengan bersuci … Dan karena di dalamnya ada pemanfaatan najis “darah” dalam tujuan tato … Sementara meemanfaatkan najis adalah haram kecuali dalam pengobatan maka makruh. Dan pemanfaatan tato di sini sementara darah tertahan di situ bukanlah untuk pengobatan, dan jika tidak (yakni merupakan pengobatan) maka makruh dan bukan haram, tetapi pemanfaatan darah dalam tato itu adalah untuk tujuan lainnya. Oleh karenanya, hal itu adalah haram sebab memanfaatkan najis untuk selain pengobatan. Dan perkara ini mencakup laki-laki dan perempuan sebab hal itu dinyatakan di dalam nas-nas secara umum.
Di antara dalil pengharaman memanfaatkan najis:
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu Fathu al-Mekah dan beliau di Mekah:
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan berhala. Maka dikatakan: “ya Rasulullah bagaimana pendapatmu lemak bangkai, sebab itu dapat digunakan untuk mengecat perahu, mengolesi kulit dan digunakan orang untuk penerangan?” Maka beliau bersabda: “tidak, itu adalah haram”. Kemudian beliau bersabda ketika itu: “Allah membinasakan Yahudi, sesungguhnya Allah ketika telah mengharamkan lemaknya, mereka cairkan kemudian mereka jual dan mereka makan harganya”.
– Telah dikecualikan kulit bangkai sebagaimana yang ada di dalam hadis Abu Dawud dari Ibnu Abbas ra., Musaddad dan Wahab berkata dari Maimunah, ia berkata:
أُهْدِيَ لِمَوْلَاةٍ لَنَا شَاةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا النَّبِيُّ ﷺ فَقَالَ: «أَلَا دَبَغْتُمْ إِهَابَهَا وَاسْتَنْفَعْتُمْ بِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا»
“Telah dihadiahkan kepada maula perempuan kami seekor kambing dari zakat lalu mati. Nabi saw melewatinya dan bersabda: “tidakkah kalian samak kulitnya dan kalian manfaatkan?” Mereka berkata: “ya Rasulullah, sesungguhnya itu bangkai”. Beliau bersabda: “tidak lain yang diharamkan memakannya”.
– Juga dikecualikan dari pengharaman itu, pengobatan. Pengobatan menggunakan yang haram hukumnya tidak haram. Imam Muslim telah mengeluarkan dari Anas:
«رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَوْ رُخِّصَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا»
“Rasulullah saw memberi rukhshah (keringanan) atau diberikan rukhshah kepada Zubair bin al-‘Awam dan Adburrahman bin ‘Awf dalam memakai sutera karena penyakit kulit yang diderita keduanya”.
Memakai sutera bagi laki-laki adalah haram. Tetapi hal itu boleh dalam pengobatan. Demikian juga hadis an-Nasai, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan menurut lafal an-Nasai: “telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Tharaqah dari kakeknya ‘Arfajah bin As’ad bahwa dia hidungnya terluka pada perang al-Kulab pada masa jahiliyah lalu dia memakai hidung buatan dari perak dan menjadi berbau tidak sedap:
«فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفاً مِنْ ذَهَبٍ»
“Maka Nabi saw memerintahkanya untuk memakai hidung buatan dari emas”.
Emas bagi laki-laki adalah haram, tetapi boleh dalam pengobatan.
– Pengobatan menggunakan najis bukan haram. Hadis imam al-Bukhari dari Anas ra.:
«أَنَّ نَاساً اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»
“Orang-orang, makanan Madinah tidak cocok dengan mereka lalu mereka sakit, maka Nabi saw memerintahkan mereka untuk mengikuti penggembala unta dan mereka meminum susu unta dan air kencing unta, maka mereka mengikuti penggembala unta dan mereka meminum susunya dan air kencingnya …”.
Makna ijtawaw yakni makanan Madinah tidak cocok dengan mereka lalu mereka sakit. Rasul saw memperbolehkan mereka dalam pengobatan menggunakan “air kencing” dan air kencing itu adalah najis. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
«قام أعرابي فبال في المسجد، فتناوله الناس، فقال لهم النبي صلى الله عليه وآله وسلم: دعوه وهَريقوا على بوله سَجْلاً من ماء – أو ذَنُوباً من ماء – فإنما بُعثتم مُيسِّرين ولم تُبعثوا مُعسِّرين»
“Seorang arab baduwi berdiri dan kencing di masjid, lalu orang-orang hendak mencegahnya, maka Nabi saw bersabda kepada mereka: “biarkan dia dan siramkan seember air terhadap kencingnya, tidak lain kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk menyusahkan”.
Sabda beliau sajalan wa dzanûban yakni seember penuh.
Dan karena memanfaatkan najis adalah haram, seperti yang telah dijelaskan di atas, oleh karenanya maka saya dari bab ini, yakni pemanfaatan najis, saya merajihkan bahwa tato juga haram pada laki-laki meski tato itu tidak tercakup dengan hadis-hadis terdahulu yang mengharamkan tato, melainkan tato haram bagi laki-laki dengan pengharaman memanfaatkan najis … Ini yang saya rajihkan dalam tato laki-laki, itu adalah juga haram dari bab ini.
6- Para fukaha berbeda pendapat dalam menghilangkan tato karena tato itu adalah najis … Di antara pendapat ini:
– Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah (43/159):
[Asy-Syafi’iyah mengatakan: wajib menghilangkan tato selama tidak ditakutkan dharar yang memperbolehkan tayamum. Jika ditakutkan maka tidak wajib menghilangkannya dan tidak ada dosa atasnya setelah taubat. Dan ini jika dia melakukannya dengan keridhaannya setelah dia baligh. Dan jika tidak maka dia tidak harus menghilangkannya secara mutlak. Dan shalatnya dan pengimanannya adalah sah…].
– Dinyatakan di buku Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifati Ma’ânî Alfâzh al-Minhâj oleh Syamsuddin Muhammad Ahmad al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’iy (w. 877 H):
Bab syarat-syarat shalat dan mani’nya (1/406): [cabang: tato, yaitu menusuk-nusuk kulit dengan jarum sampai keluar darah kemudian ditaburkan di atasnya celak agar berwarna hijau atau biru disebabkan darah hasil menusukkan jarum, adalah haram … Dan wajib menghilangkannya selama tidak dikhawatirkan dharar yang memperbolehkan tayamum. Jika dikhawatirkan maka tidak wajib menghilangkannya. Dan tidak ada dosa atasnya setelah taubat. Dan ini jika dia melakukannya dengan kerelaannya sebagaimana az-Zarkasyi mengatakan: “yakni setelah balighnya”, dan jika tidak maka dia tidak harus menghilangkannya sebagaimana dinyatakan secara gamblang oleh al-Mawardi, artinya: dan sah shalatnya dan pengimanannya ..].
– Dan di situ juga ada pendapat-pendapat lainnya …
Saya berharap di dalam ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam. []
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HTI Info