«الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ»
Orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya (HR Ahmad, Turmudzi, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Sanad Hadis
Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi menerima hadis ini berturut-turut dari Ahmad bin Muhammad, dari Abdullah bin al-Mubarak, dari Haywah bin Syuraih dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin ‘Ubayd. Imam at-Tirmidzi menyatakan, hadis Fudhalah adalah hadis hasan sahih.
Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad mengeluarkan hadis di atas melalui tiga sanad. Pertama:dari Ali bin Ishaq, dari Abdullah, dari Laits dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbiy dari Fudhalah bin Ubayd. Kedua: dari Qutaybah bin Said, dari Risydi bin Saad, dari Humaid Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik, dari Fudhalah bin Ubayd. Dalam kedua sanad ini ada tambahan fî thâ’atillâh (dalam ketaatan kepada Allah). Ketiga: dari Ali bin Ishaq, dari Abdullah, dari Laits, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin Ubayd.
Dalam al-Mustadrak, Al-Hakim menerimanya dari Abdurrahman bin al-Hasan bin Ahmad al-Qadhi, dari Ibrahim bin al-Husain, dari Said bin Abi Maryam dan Abdullah bin Shalih keduanya, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik dari Fudhalah bin Ubayd.
Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sa‘b al-Îmân dari Abu Abdillah Muhammad bin al-Fadhl bin Nazhif al-Fara’ di Makkah, dari Abu al-‘Abbas Ahmad bin al-Hasan bin Ishaq ar-Razi, dari Yusuf bin Yazid bin Kamil, dari Abdullah bin Shalih, dari Laits bin Saad, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin Ubayd. Rasul mengucapkan hadis ini saat menunaikan haji wada’.
Makna dan Faedah
Hadis ini menjelaskan bahwa jihâd an-nafs itu disyariatkan dan dituntut oleh syariat. Menurut para ulama, perkara ini adalah fardhu. Seorang pun tidak dibenarkan mengingkari jihâd an-nafs.
Namun, di tengah-tengah umat terdapat persepsi salah tentang jihâd an-nafs, yaitu pemahaman bahwa jihâd an-nafs merupakan jihad akbar dan jihad (perang) fi sabilillah adalah jihad kecil. Lalu hal itu dimaknai secara dikotomis bahwa kaum Muslim harus lebih mengutamakan jihâd an-nafs dan mengabaikan jihad (perang) di jalan Allah. Persepsi demikian adalah salah, di antaranya karena hadis yang dijadikan sandaran secara riwayat adalah dhâ‘îf, yaitu sabda Rasul saw.:
«رَجَعْنَا مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلىَ اْلجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قَالُوْا: وَمَا اْلجِهَادُ اْلأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ النَّفْسِ»
“Kita baru kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad besar itu.” Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”[1]
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani hadis tersebut bukan ucapan Nabi saw., melainkan perkataan Ibrahim bin Ablah.[2]
Karenanya, jihâd an-nafs harus kita pahami secara benar. Kata jihad di sini menggunakan makna bahasanya, yaitu mengerahkan segenap kemampuan untuk menundukkah hawa nafsu dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan.
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bârî mengutip ucapan Ibn Bathal bahwa jihâd an-nafs itu terjadi dengan menghalangi diri dari melakukan kemaksiatan, mencegahnya dari berbagai syubhat dan dari memperbanyak kesenangan yang mubah untuk lebih mengedepankan visi akhirat.
Selanjutya menurut al-Qusyairi, asal jihâd an-nafs adalah memelihara diri dari kesenangan dan dorongan hawa nafsu. Nafsu memiliki dua sifat, yaitu asyik dalam kesenangan (syahwat) dan jauh dari ketaatan. Karena itu, memerangi hawa nafsu berarti memerangi dua sifat itu.
Menurut para imam, jihâd an-nafs adalah dengan membawa nafsu untuk mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika seorang hamba kuat melakukannya, maka mudah baginya untuk berjihad memerangi musuh agama.
Jihâd an-nafs ada empat tingkat: menundukkan hawa nafsu untuk mempelajari ketentuan agama, lalu menundukkannya untuk beramal sesuai dengan ketentuan agama itu, kemudian menundukkannya untuk mengajarkan ketentuan agama itu kepada orang yang belum tahu, dan selanjutnya menyerukan pengesaan Allah serta memerangi orang yang menyalahi agama-Nya dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Kesempurnaan jihâd an-nafs adalah hendaknya seseorang selalu sadar terhadap nafsunya dalam seluruh kondisi. Jika ia lengah maka setan akan memanfaatkannya dan mendorongnya agar jatuh dalam larangan Allah.[3]
Dengan demikian, berkaitan dengan jihâd an-nafs itu: Pertama, yang asasi adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan keharaman; ditambah dengan melakukan amalan sunnah dan meninggalkan perkara makruh. Kedua, hawa nafsu cenderung pada syahwat (kesenangan) yang sering adalah haram; dan tidak suka melaksanakan kewajiban (ketaatan) yang mengandung kesukaran. Jihâd an-nafs adalah dengan memaksa nafsu untuk melaksanakan kewajiban, menghalanginya dari melakukan keharaman, dan menundukkannya pada hukum-hukum Allah. Ketiga, mengurangi melakukan kesenangan meski mubah dan menjauhi hal yang kurang bermanfaat untuk lebih banyak melaksanakan kewajiban dan amalan sunnah.
Walhasil, jihâd an-nafs tidaklah berkonfrontasi dengan berbagai kewajiban. Orang yang benar dalam melakukan jihâd an-nafs justru akan menjelma menjadi orang yang taat, giat, bersemangat, dan sungguh-sungguh melakukan berbagai kewajiban termasuk jihad fi sabilillah dan berjuang menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah. Orang yang melalaikan kewajiban ini dengan dalih jihâd an-nafs, sesungguhnya ia telah terpalingkan dari kebenaran dan hanya berpura-pura melakukan jihâd an-nafs. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
[1] Lihat: Mulla Ali al-Qari, Al-Asrâr al-Marfû‘ah fi Akhbâr al-Mawdû‘ah, hlm. 127; As-Suyuthi, Ad-Durur al-Muntatsirah fî al-Ahâdîts al-Musytahirah, i/244; al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, v/2460; Al-Jabri, al-Musytahir min al-Ahâdîts al-Mawdhû’ wa adh-Dah’îf wa Badîl ash-Shahîh
[2] Lihat: Alauddin, Kanz al-Ummâl, IV/616; Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafâ’, i/511-512
[3] lihat, Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Fath al-Bârî, xi/337-338