Yang dimaksud dengan rasm al-mushhaf adalah tulisan mushaf; mencakup beberapa pembahasan: tartib (urutan) ayat dan surat, bahasan sab’atu ahruf dantanqîth wa tasykîl mashâhif (penuli-san titik dan syakal) huruf dalam mushaf.
Tartib ayat dan surat al-Quran dalam Mushaf
Telah jelas bahwa Mushaf Utsmani (mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Utsman ra.), hanyalah salinan dari lembaran-lembaran yang dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Lembaran-lembaran al-Quran itu ditulis di hadapan Nabi saw., disupervisi dan dikontrol oleh beliau. Artinya, Mushaf Utsmani adalah al-Quran yang diturunkan kepada Nabi saw., tidak lebih dan tidak kurang, yang dituliskan dalam satu mushaf.
Susunan atau urutan ayat-ayat dalam mushaf itu bersifat tawqifi. Ibnu Abbas ra. menuturkan dari Utsman bin Affan ra. “Rasulullah saw., jika turun kepada beliau sesuatu dari al-Quran, memanggil orang yang menuliskannya di depan beliau. Beliau bersabda, ‘Letakkan ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini begini.’ Turun kepada beliau banyak ayat, beliau bersabda, ‘Letakkan ayat-ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini begini.’” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, Abu Ubaid, Ibnu Abiy Syaibah, Said bin Manshur, Abu Nu’aim, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim).
Adapun urutan surat satu sama lain di dalam Mushaf bersifat ijtihadi berasal dari para sahabat. Hanya saja, perlu diingat bahwa susunan surat yang ada pada Mushaf Utsmani merupakan susunan yang disepakati oleh para shahabat, tidak ada yang menolak dan mengingkarinya. Artinya, susunan surat-surat al-Quran dalam mushaf itu telah menjadi ijmak sahabat.
Mushaf Utsmani itu dibuat dalam tujuh salinan, masing-masing dikirim ke satu wilayah saat itu: Bashrah, Kufah, Syam, Mekah, Madinah, Yaman dan Bahrain. Satu lagi yang dipegang Ustman sendiri dan disebut mushaf imam.
Mushaf-mushaf Utsmani itu menghimpun semua qira’ah mutawatir dari Rasul saw., yang sebagian besarnya dengan rasm (tulisan) yang sama. Adapun qira’ah mutawatir yang memiliki rasm berbeda maka ditulis dan didistribusikan pada mushaf-mushaf yang disalin dan dikirim ke berbagai penjuru wilayah itu; mushaf yang ini menggunakan rasm ini dan mushhaf yang itu menggunakan rasm yang lainnya, karena Rasul saw. membolehkan keduanya (Atha’ Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl).
Sab’ah Ahruf[in]
Al-Quran diturunkan di atas tujuh huruf. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
«أَقْرَأَنِى جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ»
Jibril membacakan kepadaku (al-Quran) di atas satu huruf, aku terus meminta tambah sampai berhenti ke tujuh huruf (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Umar bin al-Khaththab menuturkan, ia mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan Umar yang diajarkan oleh Rasul saw. Lalu Umar membawa Hisyam kepada Rasul. Umar berkata, “Ya Rasulullah, aku mendengar ini membaca surat al-Furqan berbeda dengan apa yang Anda bacakan kepadaku.” Rasul saw. Bersabda, “Biarkan dia, bacalah!” Lalu Hisyam membacanya. Rasul saw. kemudian bersabda, “Begitulah diturunkan.” Kemudian beliau bersabda kepadaku, “Bacalah.” Lalu aku baca. Beliau bersabda, “Begitulah diturunkan.” Beliau bersabda:
«إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ»
Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan di atas tujuh huruf. Karena itu bacalah mana yang mudah dari tujuh huruf itu (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad dan Malik).
Hadis di atas sekaligus menjelaskan, makna sab’ah (tujuh) adalah makna hakiki yaitu hitungan tujuh. Imam as-Suyuthi di dalam Al-Itqan fî ‘Ulûm al-Qur’ân dan az-Zarqani di dalam Manâhil al-‘Irfân menyatakan, riwayat-riwayat bahwa al-Quran diturunkan di atas sab’ah ahruf diriwayatkan dari jalur 21 orang sahabat. Karena banyaknya jalur itu hingga Abu ‘Ubaid bin Salam menilai hadis tersebut sebagai mutawatir.
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud sab’atu ahruf itu. Imam as-Suyuthi menyebutkan, setidaknya ada 40 pendapat dalam hal itu.
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl (hal. 67) menyatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud sab’ah ahruf[in]. Namun, menjadi jelas dari eksplorasi qira’ah mutawatir untuk al-Quran al-Karim bahwa itu tidak keluar dari tujuh dialek kabilah-kabilah Arab yaitu: Quraisy, Tamim, Qays, Asad, Hudzail, bagian dari Kinanah dan bagian dari Tha’i. Dari ketujuh kabilah itulah diambil bahasa Arab. Oleh karena itu yang lebih rajihtentang makna sab’ah ahruf adalah tujuh dialek kabilah-kabilah itu.
Hanya saja, itu bukan berarti bahwa al-Quran boleh dibaca menggunakan dialek ketujuh kabilah itu, sesukanya, meski disepakati; melainkan al-Quran hanya boleh dibaca sesuai qira’ah mutawatir berasal dari Rasul saw. Selain qira’ah mutawatir itu maka tidak boleh dan tidak disebut al-Quran.
Tabi’in dan tabi’ at-tabi’in telah menghimpun qira’ah mutawatir dan mereka tetapkan di dalam kitab-kitab terpisah disertai rincian sanad-nya. Menurut para ulama, qira’ah mutawatir itu ada sepuluh yaitu: qira’ah Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amru al-Bashri, Ibnu ‘Amir asy-Syami, ‘Ashim al-Kufi, Hamzah al-Kufi, al-Kisa’i al-Kufi, Abu Ja’far al-Madini, Ya’qub al-Bashri dan Khalaf al-Bazar.
Mushaf-mushaf yang dicetak saat ini sebagian besarnya dicetak sesuai qira’ah Hafash dari ‘Ashim sesuai rasm utsmani. Ada sebagian yang dicetak sesuai qira’ah Warasy dari Nafi’. Begitu pula sebagian kitab tafsir di dalamnya ditafsirkan al-Quran sesuai riwayat Abu Amru bin al-‘Ala’ al-Bashri seperti tafsir Al-Kasyâf karya az-Zamakhsyari. Sebagian qira’ah juga masih ditulis di sebagian negeri Islam dengan tulisan tangan.
Sebagian besar al-Quran memiliki rasm dan qira’ah yang sama. Sebagian kecil yang memiliki qira’ah mutawatir berbeda, tetapi dengan rasm yang sama. Hanya belasan tempat yang memiliki qira’ah berbeda dan rasm yang berbeda. Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah memberikan contoh untuk itu dalam kitab Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl hal. 67-68.
Contoh qira’ah mutawatir berbeda yang memiliki rasm yang sama:
Pertama, QS al-Baqarah [2]: 37. Dalam qira’ah ‘Ashim dibaca:
﴿فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ﴾
Dalam qira’ah Ibnu Katsir dibaca:
﴿فَتَلَقَّىٰ آدَمَ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ﴾
Kedua, QS al-Mu’minun [23]: 8. Dalam qira’ah ‘Ashim dibaca:
﴿وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ﴾
Dalam qira’ah Ibnu Katsir dibaca:
﴿وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ﴾
Ketiga, QS al-Hadid [57]: 23. Dalam qira’ah ‘Ashim dibaca:
﴿وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ﴾
Dalam qira’ah Abu Amru dibaca:
﴿وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا أَتَاكُمْ﴾
Contoh qira’ah mutawatir yang berbeda dengan rasm yang berbeda pula, yang didistri-busikan oleh Utsman bin Affan dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai penjuru:
Pertama, QS at-Taubah [9]: 100. Di dalam semua mushaf selain Mushaf al-Makki (yang dikirim ke Makkah) tertulis:
﴿… وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ …﴾
Dalam Mushaf al-Makki tertulis:
﴿… وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ …﴾
Kedua, QS al-Hadid [57]: 24. Di dalam Mushaf al-Kufi, al-Makki dan al-Bashri tertulis:
﴿… فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ﴾
Di dalam Mushaf al-Madini dan asy-Syami tertulis:
﴿… فَإِنَّ اللَّهَ اَلْغَنِيُّ الْحَمِيدُ﴾
Ketiga, QS al-Baqarah [2]: 116. Di dalam semua mushaf selain Mushaf asy-Syami tertulis:
﴿وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ﴾
Di dalam Mushaf asy-Syami:
﴿قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا﴾
Keempat, QS asy-Syamsy [91]: 15. Di dalam Mushaf al-Maki, al-Kufi dan al-Bashri tertulis:
﴿وَلاَ يَخَافُ عُقْبَاهَا﴾
Di dalam Mushaf al-Madini dan asy-Syami:
﴿فَلاَ يَخَافُ عُقْبَاهَا﴾
Pada awalnya Mushaf Utsmani ditulis tanpa ada titik, syakal dan tanda baca. Pemberian titik (tanqîth al-mushhaf) baru terjadi pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan. Yang pertama memberi tanda titik pada tulisan mushaf adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali atas permintaan Hajaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Abu al-Aswad meletakkan dua titik di atas huruf untuk fathah, dua titik di bawah huruf untuk kasrah dan dua titik di belakang huruf untuk dhammah. Lalu Yahya bin Ya’mur dan Nashru bin ‘Ashim al-Laytsi, dua murid Abu al-Aswad, meletakkan titik di atas/di bawah huruf yang bentuknya sama untuk membedakannya (huruf ba’, ta’ dan tsa; jim, ha’, dan kha’; sin dan syin; fa’dan qaf). Kemudian Khalil bin Ahmad al-Farahidi menyempurnakan-nya dengan mengubah dua titik di atas menjadi tanda fathah seperti sekarang, dua titik di bawah menjadi tanda kasrah seperti sekarang dan huruf wawu kecil di atas huruf untuk dhammah, serta memberi tanda tasydid dan hamzah (Lihat: Abu Amru ad-Dani, Al-Muhkam fî Naqthi al-Mashâhif; az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân; as-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân). Tanda-tanda baca lainnya pun dilengkapi oleh para ulama sehingga sampai pada format mushaf seperti saat ini. Semua itu tidak lain agar Umat Islam bisa membaca al-Quran dengan benar.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]