Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.
Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong.
Islam Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan
Konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Solusinya, Islam mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah Milkiyyah.
Dua konsep ini jelas berbeda. Jika konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram, maka konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.
Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu al-Milkiyyah.
Dengan demikian, konsep Ibahatu al-Milkiyyah ini jelas berbeda secara diametral dengan konsep Hurriyah Milkiyyah.
Islam Mengharamkan Kebebasan Bekerja
Begitu juga bekerja, Islam juga tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal). Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.
Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).
Ini berbeda dengan konsep Ibahatu al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.
Terkadang ada pekerjaan yang asalnya mubah, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar). Dalam melakukan makelar, seorang broker harus terikat dengan ketentuan dan hukum tentang samsarah, termasuk tidak boleh melakukan samsarah ‘ala samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis MLM.
Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Ibahatu al-Milkiyyah dan Ibahatu al-‘Amal.
Solusi Islam: Standar Gaji Buruh
Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Hak Berserikat dan Serikat Pekerja
Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.
Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan. Wallahu a’lam. [Hafidz Abdurrahman]