Soal:
Siapakah yang berhak menentukan sebuah aliran/paham pemikiran itu sesat atau tidak?
Jawab:
Pertama-tama, istilah sesat, atau dalam bahasa Arabnya adalah dhalal, secara harfiah, berarti dhiddu ar-rasyâd (kebalikan dari petunjuk). Secara syar’i, dhalâl berarti inhirâf ‘an al-Islâm (menyimpang dari Islam).1 Dalam konteks ini, istilah dhalal digunakan untuk menyatakan kekufuran, sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam nas al-Quran, antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta pada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang mengingkari Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhir sesungguhnya telah sesat sejauh-jauhnya (QS an Nisa’ [4]: 136).
Karena itu, dalam perspektif syariah, dikatakan sesat ketika paham atau aliran tersebut benar-benar menyimpang dari Islam, atau kufur. Karenanya, selama masih berpijak pada dalil syariah atau syubhat dalil, suatu aliran atau paham tidak boleh dianggap sesat, atau kufur, meski mungkin saja salah (khatha’).F
Pertanyaannya kemudian adalah, kapan aliran atau paham tersebut bisa dikatakan sesat, dan bagaimana indikasi kesesatannya?
Para ulama menyatakan, bahwa aliran atau paham bisa dikatakan sesat, karena empat faktor: keyakinan (i’tiqâd), keraguan (syak), pernyataan (qawl) dan tindakan (fi’l).
Dalam konteks keyakinan, bisa dipilah menjadi dua: Pertama, jika meyakini dengan bulat sesuatu yang tegas-tegas dilarang, seperti meyakini Allah mempunyai sekutu, atau meyakini al-Quran bukan kalam Allah, atau yang senada. Kedua, mengingkari perkara yang sudah diketahui urgensi (ma’lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah)-nya, seperti mengingkari jihad, keharaman minum khamer, potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya.
Adapun dalam konteks keraguan (syak) adalah, jika meragukan akidah (keyakinan) dan apa saja yang dinyatakan oleh dalil qath’i. Siapa yang meragukan, bahwa Allah satu; ragu bahwa Muhammad utusan Allah; ragu bahwa orang yang berzina harus dicambuk, dan sebagainya, maka bisa dianggap sesat, dan kafir.
Dalam konteks pernyataan (qawl), harus dibedakan antara pernyataan yang tidak mengandung takwil, dan pernyataan yang masih mengandung takwil. Pernyataan yang tidak mengandung takwil, misalnya, Isa anak Allah; Islam adalah agama buatan Muhammad; al-Quran adalah karya bersama yang merupakan hasil ‘gotong-royong’ antara Allah, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad; menyatakan diri sebagai nabi, Malaikat Jibril, dan sejenisnya. Pertanyaan-pernyataan seperti ini tidak mengandung sedikit pun takwil, jelas-jelas kufur dan sesat. Adapun pernyataan yang masih mengandung takwil, meski sembilan puluh sembilan persen berisi kekufuran, tetapi ada satu persen yang berisi keimanan, maka yang satu persen ini tetap harus dimenangkan, sehingga tidak bisa dinyatakan sesat atau kufur. Dalam kasus ini, Ibn Qudamah, memberikan contoh kasus Abu Jandal bin Suhail dan beberapa pengikutnya di Syam yang menghalalkan khamer dengan dalil QS 5: 93. Kembali pada pertanyaan di atas, lalu siapakah yang berhak menentukan aliran atau paham itu sesat?
Pertama: dari aspek keyakinan, pemikiran, pernyataan atau tindakan yang menunjukkan bahwa aliran atau paham tersebut sesat, sebenarnya sudah jelas. Sebab, dalam menentukan status kesesatan di sini harus berpijak pada landasan yang qath’i, bukan lagi asumsi atau penakwilan. Dengan itu tidak ada lagi ruang perbedaan dan bisa langsung dibuktikan. Karenanya, jika sudah ada indikasi, baik dalam bentuk keyakinan, keraguan, pernyataan atau tindakan, sebagaimana yang dijelaskan di atas, sebenarnya tinggal dilakukan pembuktian dan divonis, sehingga mempunyai keputusan hukum yang mengikat.
Kedua: dari aspek proses dan mekanisme pembuktiannya, dalam kasus seperti ini, karena melibatkan dua pihak, yaitu aliran atau paham, termasuk penggagas dan pengikutnya, dengan pihak lain yang menyatakan aliran atau paham tersebut sesat, maka kasus seperti ini merupakan wilayah qadha’ al-khushûmat, bukan qadha’ al-madzalim, maupun qadha’ al-hisbah. Pembuktiannya pun harus dilakukan di depan pengadilan.
Dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah dinyatakan: “Para imam (empat mazhab) berpendapat, bahwa status murtad itu harus dibuktikan dengan dua saksi laki-laki yang adil, dan sama-sama dalam satu tempat (ruang pengadilan) dengan pihak tertuduh. Jika keduanya bersaksi bahwa orang tersebut kafir maka hakim harus menanyai keduanya: Apa yang menyebabkan dia kafir? Lalu saksi itu menyatakan: Dia berkata begini, atau melakukan begini..” 4
Dengan demikian, jelas hakim pengadilan khushûmat-lah yang berhak menjatuhkan vonis sesat, murtad atau kufur, setelah dibuktikan kesesatan, kemurtadan atau kekufurannya melalui dua saksi laki-laki yang adil dalam persidangan. Hanya saja, hakim tetap harus berhati-hati, agar tidak salah:
ادْرَؤُوْا الْحُدُوْدَ بِالشُّبْهَاتِ
Cegahlah (menjatuhkan) sanksi hudûd dengan adanya syubhat (berbagai kemungkinan).5
Namun, harus dicatat, ketika suatu aliran/paham sudah terbukti dan dinyatakan sesat, jika ada seorang Muslim yang terlibat dengannya, maka dalam konteks ini menjadi tugas qadhi hisbah untuk menangkap dan membawanya ke pengadilan khushumah untuk dijatuhi sanksi.6
Setelah itu, menurut mazhab Maliki, Imam/Khalifah harus memberikan batas waktu (toleransi) tiga hari, tiga malam, terhitung sejak hari jatuhnya vonis tersebut, agar para penganut aliran atau paham yang sesat tersebut kembali pada Islam, atau bertobat.7 Wallâhu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut: 1424H/2003M, I/99.
2 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Saudi, tt, II/2173.
3 Al-Muhami Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, Dar al-Ummah, Beirut: 1410H/1990M, hlm. 84-85; Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, tt, V/342-343; Ibn Qudamah, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Saudi, tt, II/2172-2173.
4 Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, tt, V/343.
5 Malik bin Anas, Al-Mudawwanah al-Kubra, XVI/272; As-Sarakhsi, Al-Mabsûth, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1993, XXIV/2; An-Nawawi, Al-Majmû’: Syarh al-Muhadzdzab, Dar al-Fikr, Beirut: 1996, XVII/309.
6 Dr. Abdul Karim Zaidan, Nizhâm al-Qadha’ fî as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, tt. hlm. 284-285.
7 Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, tt, V/343.