Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pembukaan yang baik, dan setelah itu …
Saya punya pertanyaan tentang safar wanita tanpa mahram …
Pertanyaannya adalah: apa batasan yang safar wanita dinilai sebagai safar dan wanita itu tidak boleh melakukan safar kecuali dengan mahram? Yang mana jika kita ingin mengukurnya dengan Palestina, misalnya, kita katakan, misalnya: seandainya seorang wanita ingin melakukan perjalanan (safar) dari al-Quds (Yerusalem) ke Umm al-Rashrash (Eilat), maka perjalanannya akan berada di satu negara. Tetapi jika dia ingin melakukan safar dari al-Quds ke Yordania, itu akan lebih dekat daripada ke Umm al-Rashrash. Jadi bagaimana mengukurnya? Apakah diukur menurut perbatasan yang ditetapkan, jadi kita mengukurnya menurut pos pemeriksaan, atau diukur menurut jarak tertentu, misalnya 80 kilometer? Juga, ada orang-orang Al-Azhar kontemporer yang tidak termasuk orang yang tsiqah, mengatakan: Saat ini, seorang wanita tidak membutuhkan mahram untuk bepergian (melakukan safar) karena segalanya menjadi lebih mudah, dan mereka mengaitkan perkara-perkara pada moda transportasi, apakah dari pendapat mereka ada yang bisa diambil ataukah ditolak atas mereka …?
Semoga Anda senantiasa dalam keamanan Allah dan pemerliharaan-Nya.
[Anas M Hirbawi]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Kami telah memberikan jawaban secara rinci seputar perjalanan (safar) wanita dalam berbagai keadaannya pada tanggal 5/11/2018. Dan saya kutip darinya yang berhubungan dengan pertanyaan Anda:
[ ….Pertama, safar wanita jika perjalanannya menghabiskan waktu sehari semalam maka harus ada mahram bersamanya. Dalil-dalil syar’iy menyatakan makna ini, kami sebutkan di antaranya:
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Nabi saw bersabda:
«لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ»
“Tidak halal bagi seorang wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan safar dengan perjalanan sehari semalam tidak bersamanya hurmah (mahram)”.
Yakni mahram. Dan dalam satu riwayat dari Abu Sa’id al-Khudzri “yawmayn –dua hari-“, dan dalam riwayat dari Ibnu Umar “tsalâtsata ayyâmin –tiga hari-“.
– Imam Muslim telah mengeluarkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا»
“Tidak halal bagi seorang wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan safar dengan perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya”.
Dan dalam riwayat dari Abu Sa’id al-Khudzri “masîrata yawmayn –perjalanan dua hari-“. Dan dalam riwayat lain dari Abu Sa’id al-Khudzri “tsalâtsata ayyâmin fashâ’idan –tiga hari atau lebih-“.
– Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis, ia berkata: “ini hadis hasan shahih”, dari Sa’id bin Abiy Sa’id dari bapaknya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ»
“Janganlah seorang wanita melakukan safar dengan perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya”.
…… ……
Dari situ menjadi jelas hal-hal berikut:
1- Taqyîd (pembatasan) untuk safar adalah dengan waktu seperti yang ada di dalam nash-nash shahih yang haram bagi wanita melakukan safar sendirian tanpa mahram dalam jangka waktu yang disebutkan, yakni yawman kâmilan -satu hari penuh- (yakni 24 jam), al-layl wa an-nahâr (sehari semalam). Dan ini berarti bahwa nash-nash menunjukkan atas waktu “yawmun wa laylatun –sehari semalam-“ dan bukan atas jarak. Seandainya seorang wanita melakukan safar menggunakan pesawat tanpa mahram seribu kilometer, jadi dia pergi dan kembali lagi tanpa berdiam dalam jangka waktu itu maka yang demikian itu boleh untuknya. Adapun seandainya, wanita itu melakukan safar jalan kaki 20 kilometer dan hal itu menghabiskan waktu lebih dari sehari semalam maka haram baginya tanpa mahram.
– Jadi patokan dalam safar tanpa mahram untuk wanita adalah waktu, sehari semalam, berapa pun jaraknya. Maka jika wanita tersebut tidak berdiam selama jangka waktu itu, tetapi dia pergi dan kembali lagi sebelum jangka waktu itu, maka dia boleh pergi tanpa mahram.
2- Adapun apa yang dinyatakan dalam riwayat al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad …… “tsalâtsa ayyâm aw tsalâtsa layâlin –tiga hari atau tiga malam- …… “maka pertemuan kompromi di antara dalil-dalil tersebut adalah hukum syara’nya bahwa seorang wanita hendaknya tidak melakukan safar dengan perjalanan yang minimal (al-masîrah al-aqallu), kecuali bersama mahram ……
Dengan begitu, maka haram bagi seorang wanita melakukan safar perjalanan (masîrah) sehari semalam kecuali bersama suami atau mahram. Dan ini apa yang kami ambil dan kami adopsi (tabanni) di an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy.
Kedua: …
3- Ini dari sisi apa yang kami katakan seraya harus memperhatikan perkara-perkara berikut:
– Pertama, Kami katakan “yang rajih”, dan tidak kami katakan “pandangan kami yang dipastikan”. Ini pertama…
– Kedua, kami mengatakan bolehnya wanita melakukan safar kurang dari sehari semalam tanpa mahram, dan kami tidak mengatakan wajib. Oleh karena itu, jika seorang wanita ingin tidak melakukan safar perjalanan setengah hari kecuali bersama mahram maka untuknya hal itu. Yang penting adalah janganlah wanita itu melakukan safar perjalanan sehari semalam kecuali disertai mahramnya…
– Ketiga, bahwa pensyaratan oleh hadis agar disertai mahram untuk wanita selama safarnya menunjukkan atas keharusan terjaganya wanita dan terpeliharanya dia, dan dia harus aman. Oleh karena itu, tidak boleh bagi wanita melakukan safar jika dia tidak aman atas dirinya kecuali dengan disertai mahram, sehingga janganlah dia melakukan safar tanpa mahram hingga meskipun waktunya hanya satu jam di siang hari. Jadi keamanan atas dirinya merupakan syarat yang lain…
– Keempat, bahwa tidak boleh bagi wanita itu melakukan safar kecuali jika diizinkan oleh suami atau walinya berapapun jangka waktunya hingga meskipun dia ditemani oleh mahram, hal itu karena dalil-dalil syar’iy tentang yang demikian.
……
Keempat, sampai ke tempat yang dimaksud:
……
* Jika tempat yang dimaksud itu di negeri islami yang bukan Dar al-Islam, dan ini terbagi menjadi dua:
Pertama, jika safar di daerah-daerah di negaranya tetapi negaranya luas dan berlaku padanya hadis-hadis safar wanita sehari semalam atau lebih, maka jika wanitu itu tiba di tempat yang dimaksudkan dan mahram menyediakan untuknya tempat tinggal yang aman di kerabatnya jika ada, dan jika tidak ada kerabat, dan wanita itu memiliki kenalan dari kalangan wanita yang salehah dan dapat dipercaya yang mahram percaya dengan kesalehan mereka lalu mahram itu menyediakan tempat tinggal yang aman bersama seorang atau dua orang dari para wanita itu, artinya wanita itu tidak di rumah seorang diri, lalu wanita itu berdiam di situ sampai berakhir tujuannya, dengan ketentuan mahram melakukan komunikasi dengan wanita itu per telephon atau dengan sarana komunikasi (media sosial) mingguan minimalnya… Jika wanita itu memiliki keperluan dengan mahram itu maka mahram itu harus melakukan safar ke wanita itu … Dan ketika wanita itu ingin pulang kembali maka mahramnya harus kembali kepada wanita itu dan melakukan safar bersamanya pulang kembali ke negerinya selama safarnya itu berlangsung selama sehari semalam atau lebih…
Jika wanita itu tidak memiliki kerabat atau kenalan dari kalangan wanita salehah dan dapat dipercaya, maka pilihannya, antara mahramnya itu tetap bersamanya sampai selesai tujuannya atau keduanya (wanita itu dan mahramnya) pulang kembali bersama-sama.
Kedua, jika safar itu dari negeri islami ke negeri islami lainnya dan kedua negeri itu di satu negara dan safar wanita itu antara kedua negeri tersebut perjalanan sehari semalam atau lebih … Dalam kondisi ini boleh bagi wanita itu, jika tiba di daerah tujuannya, mahramnya pulang kembali ke daerahnya dan tidak tetap menemani wanita itu, dengan syarat:
– Mahram itu menyediakan untuk wanita tersebut tempat tinggal untuk berdiam di situ dengan aman dan rasa aman seperti dia di kerabatnya atau di kenalannya dari kalangan wanita salehah dan dapat dipercaya, artinya wanita itu tidak di rumah sendirian… Dan mahram tetap tinggal di situ setelah memastikan tempat tinggal wanita itu selama satu pekan agar mahram yakin akan keselamatan pergerakan wanita itu dari rumah ke tujuannya di hari-hari masuk dan libur resmi, yang mana libur ini berulang dalam sepekan. Jadi saya berpandangan bahwa tinggalnya mahram itu bersamanya tidak boleh kurang dari sepekan untuk merasa yakin … Dan mahram itu melakukan komunikasi dengan wanita itu melalui telephone atau menggunakan sarana komunikasi (media sosial) harian. Dan jika menjadi jelas bagi mahram itu bahwa wanita itu memerlukan dia maka dia (yakni mahram) wajib pergi kepada wanita itu segera untuk meyakinkan… dan ketika wanita itu ingin pulang kembali maka mahram itu harus kembali kepadanya dan melakukan perjalanan bersama wanita itu pulang kembali ke negerinya selama safar wanita itu berlangsung sehari semalam atau lebih …
Jika wanita itu tidak memiliki mahram dan tidak memiliki kenalan dari kalangan wanita salehah maka pilihannya adalah: mahramnya itu tetap bersamanya sampai wanita itu memiliki kenalan dari kalangan wanita salehah dan dapat dipercaya dan berikutnya tersedia untuknya tempat tinggal yang aman bersama kenalan-kenalan itu kemudian mahramnya tetap tinggal selama sepekan setelah itu… atau keduanya pulang kembali bersama-sama (ke tempat asal) …
– Jika tempat yang dimaksud atau dituju adalah di negeri bukan negeri islami maka harus diperhatikan:
– Jika wanita itu memiliki mahram (kerabat) laki-laki untuk wanita itu tinggal bersamanya atau di dekatnya (bertetangga dengannya) yang mana mahram yang bepergian bersama wanita itu merasaya tenang (percaya) bahwa wanita itu akan aman di situ dalam kehidupan khusus dan kehidupan umumnya; atau wanita itu memiliki kerabat wanita seperti ibunya, saudarinya, atau bibinya dan dia tinggal bersamanya, dan tidak cukup dengan tinggal di dekat kerabat wanita itu… Dalam dua keadaan ini, boleh bagi mahram yang bepergian bersama wanita itu untuk pulang setelah merasaya tenang (percaya) atas keamanan dan rasa aman wanita itu, dengan syarat persetujuan wali atau suami dan dengan syarat komunikasi personal atau surat-menyurat bisa dilakukan dengan wanita itu kapan saja diperlukan… Kemudian ketika wanita itu ingin pulang (ke tempat asalnya), maka mahramnya kembali kepadanya untuk menemaninya di dalam safar pulang itu selama safarnya perjalanan sehari semalam atau lebih.
– Adapun jika tidak tersedia apa yang disebutkan sebelumnya maka mahram wajib terus bersama wanita itu sampai dia pulang ke negeri asalnya sebab tuntutan keamanan dan rasa aman yang diharuskan oleh kehidupan wanita dikarenakan keberadaan wanita sebagai kehormatan yang wajib dilindungi, dua tuntutan ini tidak terealisasi di negeri yang bukan negeri islami kecuali wanita itu bersama kerabatnya seperti yang kami sebutkan.
b- Jika tempat yang dimaksudkan setelah safar yang pendek tidak memerlukan mahram dalam safar tersebut dan wanita itu ingin tetap di tempat yang dimaksudkan itu sehari, dua hari, tiga hari atau lebih … lalu apa yang wajib bagi wanita itu dalam kondisi ini? Apakah dia perlu mahram?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
* Jika tempat yang dimaksud merupakan Dar al-Islam baik apakah ada di wilayah (propinsi) tempat tinggal wanita itu atau di selain wilayahnya, maka boleh bagi wanita itu melakukan safar tanpa mahram karena waktu safarnya kurang dari sehari semalam. Maka jika ia tidak pulang pada hari yang sama dan ingin bertahan sehari, dua hari atau tiga hari dan seterusnya, maka baginya boleh tinggal di kerabatnya atau di kenalannya dari kalangan wanita mukminah yang dapat dipercaya dan salehah, bukan yang lain. Artinya dia tidak berada di dalam rumah sendirian. Hal itu dengan syarat, dia mendapat persetujuan terlebih dahulu atas tinggalnya dia bersama kenalan itu dari wali atau suami dengan tenteram (percaya).
– Adapun jika wanita itu tidak punya kerabat dan tidak pula kenalan dari kalangan wanita salehah dan dapat dipercaya yang disetujui oleh walinya atau suaminya untuk tinggal bersama mereka, maka dia wajib pulang kembali pada hari yang sama atau ada mahram yang bepergian bersamanya yang menjamin untuknya tempat tinggal dia sebagaimana yang kami sebutkan dalam kondisi safar bersama mahram.
* Jika tempat yang dimaksudkan ada di negeri islami di mana wanita itu hidup tetapi bukan Dar al-Islam dan waktu safar kurang dari sehari semalam maka baginya boleh melakukan safar tanpa mahram. Dan jika dia tidak pulang kembali pada hari yang sama atau dia ingin tinggal (bertahan) di situ sehari, dua hari atau tiga hari dan seterusnya, maka baginya boleh bertahan di kerabatnya atau di kenalannya dari kalangan wanita mukminah yang dapat dipercaya lagi salehah, bukan yang lain, yakni dia tidak berada di rumah sendirian saja, dengan syarat dia mendapat persetujuan terlebih dahulu dari wali atau suaminya dengan tenteram (percaya) untuk tinggal bersama kenalan itu.
Adapun jika wanita itu tidak punya kerabat dan tidak pula kenalan dari kalangan wanita salehah dan dapat dipercaya yang disetujui oleh walinya atau suaminya untuk tinggal bersama mereka, maka wanita itu wajib pulang pada hari yang sama atau mahramnya pergi bersamanya yang menjamin tempat tinggal dia seperti yang telah kami sebutkan dalam kondisi safar bersama mahram.
* Adapun jika tempat yang dimaksudkan ada di negeri islami bukan tempat dia hidup dan bukan Dar al-Islam dan waktu safar kurang dari sehari semalam maka baginya boleh melakukan safar tanpa mahram… Tetapi karena safar dari negerinya ke negeri lain dan di situ ada perlakuan di perbatasan maka dia wajib disertai oleh teman dari kalangan wanita yang dapat dipercaya minimal satu orang, di mana tujuannya dari safar itu adalah tujuan yang sama dengan tujuan safar wanita tersebut. Dengan ungkapan lain tujuan wanita yang menemaninya dan tujuan wanita yang melakukan safar itu adalah sama… Jika dia ingin tinggal di situ sehari atau dua hari maka itu boleh baginya dengan syarat-syarat berikut:
Kedua wanita itu punya kerabat di situ, yang mana masing-masing dari keduanya tinggal bersama kerabatnya masing-masing. Jika keduanya tidak punya kerabat maka keduanya wajib punya kenalan dari kalangan wanita yang dapat dipercaya yang mukminah dan aman, dan wali mereka berdua atau suami mereka berdua menyetujui tinggalnya kedua wanita tersebut bersama kenalan mereka itu sesuai yang dijelaskan di syarat-syarat di atas.
Jika tidak terpenuhi syarat-syarat di atas, yakni jika masing-masing dari kedua wanita itu tidak punya kerabat dan tidak punya kenalan untuk masing-masing yang disetujui oleh wali atau suami mereka berdua untuk tinggalnya mereka berdua bersama kenalan mereka itu, maka kedua wanita itu wajib pulang pada hari itu juga.
* Jika tempat yang dimaksudkan ada di negeri bukan negeri islami yakni di negeri kaum kufar maka dalam kondisi ini wajib suami wanita itu atau walinya atau mahramnya pergi bersama wanita tersebut dan perkaranya seperti yang ada di dalam kondisi safar panjang yang memerlukan mahram…
Kelima: adapun dalil-dalil yang kami jadikan sandaran untuk terealisasinya keamanan dan rasa aman untuk wanita itu setelah sampainya dia di tempat yang dimaksudkan, baik apakah hal itu setelah safar panjang yang memerlukan mahram atau setelah safar pendek yang tidak memerlukan mahram, adalah dalil-dalil yang kami sebutkan di awal berupa sampainya dia ke tempat yang dimaksudkan, dan saya ulangi:
“Berdasarkan hal itu maka hukum-hukum ketika wanita itu sampai tempat yang dimaksudkan berbeda dari hukum-hukum selama safar (perjalanan) di jalan. Masalah ini yakni sampainya wanita itu ke tempat yang dimaksudkan tanpa mengambilnya sebagai tempat mukim asli, masalah ini bergantung pada terpenuhinya keamanan dalam tempat untuk tinggalnya wanita tersebut. Yakni keamanan wanita itu di tempat tinggalnya dan keamanannya dalam pergerakannya di luar rumah. Perkara ini menuntut realita wanita dan keselamatan kehidupannya. Dinyatakan di Muqaddimah ad-Dustûr pada pasal 112: “hukum asal pada wanita bahwa dia merupakan ibu dan pengatur rumah, dan wanita merupakan kehormatan yang wajib dilindungi”. Dan sebagaimana yang sudah jelas dari penjelasan pasal tersebut, maka wanita memerlukan izin walinya atau suaminya dalam hal keluar … Dan wanita itu memiliki kehidupan khusus yang memiliki hukum-hukum khusus yang melarang kehidupannya bersama laki-laki asing, tetapi (yang boleh adalah) dengan suaminya atau para mahramnya… Dan di kehidupan umum yang melarang khalwat dan ikhtilath kecuali untuk keperluan yang disetujui oleh syara’… Dan wanita itu memiliki pakaian syar’iy khusus “jilbab”, wajib menutup aurat dan dilarang tabarruj”.
Semua ini menuntut keamanan dan rasa aman untuk wanita agar terealisasi fakta wanita berupa keberadaannya sebagai kehormatan yang wajib dilindungi dengan tersedianya keamanan dan rasa aman. Dan ini memerlukan tahqiq manath… Dan yang saya rajihkan dalam perkara ini adalah apa yang saya sebutkan di atas dengan terpenuhinya semua syarat itu… wallâh a’lam wa ahkam.
27 Shafar 1440 H – 05 November 2018 M], selesai
Adapun apa yang Anda sebutkan berupa ucapan-ucapan sebagian masyayikh (dan juga ada dari orang al-Azhar kontemporer yang mereka bukan orang yang tsiqah, mengatakan: pada zaman ini wanita tidak memerlukan mahram untuk perjalanan karena perkara-perkara menjadi lebih mudah dan mereka mengaitkan perkara-perkara pada moda transportasi, apakah dari ucapan mereka ada yang diuambil atau ditolak atas mereka …?”.
Maka itu merupakan ucapan yang tidak punya nilai dan bobot. Sebab nas jelas dengan wajibnya mahram, dan itu merupakan hukum syara’ yang tidak dapat dibatalkan oleh ucapan-ucapan tanpa hujjah …
Wallâh a’lam wa ahkam.
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info