Soal:
Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu. Syaikhuna rahimahullah, saya punya pertanyaan:
Kita tahu bahwa ketika seorang kafir masuk Islam maka semua dosa-dosanya dihapus, lalu bagaimana dengan kebaikan yang dia lakukan ketika masih kafir? Dengan penjelasan kisah Rasul saw., dari Hakim bin Hizam ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ وَصِلَةِ رَحِمٍ فَهَلْ فِيهَا مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ»
“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu, sesuatu yang saya lakukan pada masa jahiliyah berupa shadaqah, pembebasan budak atau silaturrahim apakah di dalamnya ada pahala? Maka Nabi saw bersabda: “engkau masuk Islam di atas kebaikan yang telah engkau lakukan”.
Apa pemahaman yang shahih dengan ini? Dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
[Ustadhi Kamsokole]Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Anda bertanya tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di Shahih al-Bukhârî dan Shahîh Muslim dan selain keduanya dari Hakim bin Hizam ra., ia berkata: “aku katakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ وَصِلَةِ رَحِمٍ فَهَلْ فِيهَا مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ»
“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu sesuatu yang saya lakukan pada masa jahiliyah berupa shadaqah, pembebasan budak atau silaturrahim apakah di dalamnya ada pahala? Maka Nabi saw bersabda: “engkau masuk Islam di atas kebaikan yang telah engkau lakukan”.
Dan pertanyaan yang Anda inginkan dan dipahami dari ucapan Anda, tetapi Anda tidak menyatakannya secara gamblang, yaitu: apakah perbuatan baik yang dilakukan seseorang yang masih kafir akan diberi pahala atasnya jika dia masuk Islam dan keislamannya baik dan dia mati di atas Islam? Jawaban atas hal itu sebagai berikut:
Pertama, terjadi perbedaan pendapat di antara ahlul ilmi dalam masalah ini. Saya kutipkan sebagian apa yang dinyatakan oleh an-Nawawi di Syarhu Shahîh Muslim ketika menjelaskan hadis ini. Beliau rahimahullah telah membaguskan dalam memaparkan masalah tersebut:
[…. adapun sabda Rasul saw “aslamta ‘alâ mâ aslafta min khayrin -engkau masuk Islam di atas kebaikan yang telah engkau lakukan-“ maka telah diperselisihkan dalam maknanya:
1- Imam Abu Abdillah al-Maziri rahimahulah mengatakan, zhahirnya menyalahi apa yang diharuskan oleh ushul karena orang kafir tidak sah darinya taqarrub sehingga tidak diberi pahala atas ketaatannya dan sah ia menjadi orang yang taat tanpa bertaqarrub seperti padanannya dalam iman. Dia taat di situ dari sisi dia sesuai (memenuhi) perintah, dan taat menurut kami adalah memenuhi perintah, tetapi dia tidak menjadi orang yang bertaqarrub, sebab di antara syaat orang yang bertaqarrub bahwa ia harus mengenal pihak yang dia bertaqarrub kepadanya. Sementara dia ketika melakukannya tidak terealisir ilmu tentang Allah SWT sama sekali. Dan jika telah tetap hal ini maka diketahui lah bahwa hadis tersebut dapat ditakwilkan, yaitu berkemungkinan beberapa arah: Pertama, maknanya engkau mendapatkan tabiat yang bagus dan engkau memanfaatkan tabiat itu di dalam Islam dan kebiasaan itu menjadi pendahuluan untukmu dan membantu dalam melakukan kebaikan. Kedua, maknanya engkau dengan itu mendapat pujian yang bagus, dan itu tetap bertahan bagimu di dalam Islam. Ketiga, bahwa tidak dijauhkan bahwa ditambah dalam kebaikannya yang dia lakukan di dalam Islam dan pahalanya banyak karena perbuatan bagus yang telah dia lakukan dahulu. Dan mereka kadang mengatakan tentang orang kafir, jika dia melakukan kebaikan maka dengannya diperingan darinya (azab) jadi tidak dijauhkan ini ditambahkan dalam pahala, ini akhir ucapan al-Maziri rahimahullah …
2- Al-Qadhi Iyadh ahimahullah berkata: dikatakan maknanya, berkat kebaikan yang telah engkau lakukan, Allah menunjukimu kepada Islam dan bahwa orang yang tampak kebaikan darinya di awal perkaranya maka itu merupakan bukti atas kebahagiaan akhirnya dan baiknya kesudahannya. Ini ucapan al-Qadhi …
3- Ibnu Baththal dan yang lainnya di antara para pentahqiq berpendapat bahwa hadis tersebut menurut zhahirnya, jika orang kafir masuk Islam dan mati di atas Islam maka diberi pahala atas kebaikan yang telah dia lakukan pada saat kafir, dan mereka berdalil dengan hadis Abu Sa’id al-Khudzri radhiyallah ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ فَحَسُنَ إِسْلَامُهُ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ زَلَفَهَا وَمَحَا عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ زَلَفَهَا وَكَانَ عَمَلُهُ بَعْدُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ
“Jika seorang kafir masuk Islam dan keislamannya baik maka Allah menuliskan untuknya setiap kebaikan yang telah dia lakukan dan menghapus darinya semua keburukan yang telah dia lakukan, dan perbuatannya setelah kebaikan dengan sepuluh semisalnya sampai tujuh ratus kali, sedangkan keburukannya dengan satu semisalnya kecuali Allah SWT memaafkannya” (Disebutkan oleh ad-Daraquthni dalam gharîb hadîts mâlik) …
Ibnu Baththal rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadis tersebut, dan Allah berkuasa melebihkan atas hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, tidak ada keberatan seorang pun atasnya. Ia berkata, dan itu seperti sabda Rasul saw kepada Hakim bin Hizam ra. “aslamta ‘alâ mâ aslafta min khayrin -engaku masuk Islam di atas kebaikan yang telah engkau lakukan-“, wallâh a’lam …] selesai kutipan dari Syarhu an-Nawawi a’lâ Muslim…
Kedua: adapun hadis yang dijadikan dalil oleh Ibnu Baththal, maka di dalamnya ada tambahan dari apa yang ada di Shahîh al-Bukhârî: 41- Malik berkata, telah memberitahuku Zaid bin Aslam bahwa Abu Sa’id al-Khudzri telah membertahunya bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِذا أَسْلَمَ العَبْدُ فَحَسُنَ إسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عنهُ كلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفها وَكَانَ بَعْدَ ذلكَ القِصاصُ الحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثالِها إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ والسَّيِئَةُ بِمثْلِها إلاَّ أَن يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا
“Jika seorang hamba masuk Islam lalu keislamannya baik, Allah menghapuskan darinya setiap keburukan yang telah dia lakukan, dan setelah itu balasan kebaikan dengan sepuluh semisalnya sampai tujuh ratus kali, sedangkan keburukan dengan semisalnya kecuali Allah memaafkannya”.
Dan dinyatakan di ‘Umdah al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî: (penjelasan status hadis: al-Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq dan tidak menyambungkannya di satu tempat di kitab tersebut, sementara al-Bukhari tidak bertemu dengan zaman Malik. Maka jadilah itu sebagai pernyataan mu’allaq tetapi dengan lafal yang tegas (jâzim). Jadi itu shahih tanpa cela di dalamnya. Dan Ibnu Hazm berkata: sesungguhnya itu cela dalam keshahihan sebab itu adalah munqathi’. Tetapi tidak seperti yang ia katakan. Sebab hadis itu mawshul dari arah lainnya yang shahih … Dan tidak semua munqathi’ itu cacat di dalamnya. Ini, meski disebut bahwa itu munqathi’ menurut istilah, hanya saja itu dalam hukum muttashil (bersambung) pada keberadaannya sebagai shahih. Abu Dzar al-Harawi memawshulkannya di sebagian naskah … Demikian juga dimawshulkan oleh an-Nasai dari Ahmad bin al-Mu’alla bin Zaid dari Shafwan bin Shalih dari al-Walid bin Muslim dari Malik bin Zaid bin Aslam … Dan Sufyan bin Uyainah meriwayatkannya dari Zaid bin Aslam dari Atha’ secara mursal. Malik hafal yang bersambung. Dan ia lebih sempurna untuk hadis penduduk Madinah dari selain dia … Al-Bazar menyebutkan bahwa Malik menyendiri dengan washal (ketersambungan)nya. Ibnu Baththal berkata: “hadis Abu Sa’id, al-Bukhari menggugurkan sebagiannya, dan itu merupakan hadis masyhur dari riwayat Malik di selain al-Muwatha’, dan teksnya:
إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ فَحَسُنَ إِسْلَامُهُ كَتَبَ اللهُ لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ زَلَفَهَا، وَمَحَى عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةِ كَانَ زَلَفَهَا
“Jika seorang kafir masuk Islam dan keislamannya baik, maka Allah menuliskan untuknya setiap kebaikan yang telah dia lakukan dan menghapus darinya setiap keurukan yang telah dia lakukan”…).
Ketiga: sebagaimana Anda lihat, tambahan dalam hadis di atas tidak ada di hadis al-Bukhari dan bertentangan dengan nas-nas yang qath’iy yang mengaitkan pahala dan balasan untuk amal salih dengan iman dalam banyak ayat, di antaranya:
﴿وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْراً﴾ [الكهف: 88]
“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami” (TQS al-Kahfi [18]: 88).
﴿وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ﴾ [القصص: 80]
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar” (TQS al-Qashshash [28]: 80).
﴿وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ﴾ [البقرة: 25]
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya” (TQS al-Baqarah [2]: 25).
﴿وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون﴾ [البقرة:]
“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (TQS al-Baqarah [2]: 82).
﴿إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ﴾ [البقرة: 277]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya” (TQS al-Baqarah [2]: 277).
﴿وَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ﴾ [آل عمران: 57]
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (TQS Ali Imran [3]: 57).
Dan jelas dari ayat-ayat ini bahwa pahala amal salih adalah setelah iman dan bukan sebelulmnya…
Keempat: berdasarkan hal itu maka saya merajihkan ditolaknya tambahan ini “kataballâh lahu kulla hasanatin kâna zalafahâ -Allah menuliskan untuknya semua kebaikan yang telah dia lakukan-“. Dan yang dijadikan sandaran adalah hadis al-Bukhari yang disebutkan di atasnya yaitu: “Malik berkata, telah memberitahuku Zaid bin Aslam bahwa Abu Sa’id al-Khudzri telah memberitahunya bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِذا أَسْلَمَ العَبْدُ فَحَسُنَ إسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عنهُ كلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفها وَكَانَ بَعْدَ ذلكَ القِصاصُ الحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثالِها إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ والسَّيِئَةُ بِمثْلِها إلاَّ أَن يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا
“Jika seorang hamba masuk Islam lalu keislamannya baik, Allah menghapuskan darinya setiap keburukan yang telah dia lakukan, dan setelah itu balasan kebaikan dengan sepuluh semisalnya sampai tujuh ratus kali, sedangkan keburukan dibalas dengan semisalnya kecuali Allah memaafkannya”.
Yakni bahwa masalah yang dibahas adalah tidak dihukumnya dia atas kemaksiyatan sebelum keislamnya, dan dengan makna lain yakni penerapan hadis Rasul saw:
«إِنَّ الإِسْلامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ» رواه أحمد والطبراني عن عمرو بن العاص
“Sesungguhnya Islam menghapus apa yang sebelumnya” (HR Ahmad dan ath-Thabarani dari Amru bin al-‘Ash).
Dan itu sesuai dengan hadis al-Bukhari di atasnya:
«إِذا أَسْلَمَ العَبْدُ فَحَسُنَ إسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عنهُ كلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفها»
“Jika seorang hamba masuk Islam lalu keislamannya baik, Allah menghapuskan darinya setiap keburukan yang telah dia lakukan”.
Dan makna ini, yakni dihapuskannya keburukannya pada masa jahiliyah setelah keislamannya, telah dinyatakan dalil-dalil yang mengkhususkannya dalam selain tiga keadaan yang mana pada tiga keadaan itu dia dimintai pertanggungjawaban setelah keislamannya … Kami telah menjelaskan hal itu di Ajhizah Dawlah al-Khilafah halaman 123-127 bab al-‘Uqûd wa al-Mu’âmalât … bahwa dikecualikan dari hadis yang mulia itu tiga keadaan:
[Dikecualikan dari ketentuan tersebut tiga kondisi:- Jika perkara yang telah ditetapkan dan selesai penerapannya itu memiliki pengaruh (akibat) bersifat kontinu yang menyalahi Islam.
- Jika perkara tersebut berkaitan dengan orang-orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim.
- Jika perkara tersebut berkaitan dengan harta yang dighashab dan masih ada ditangan orang yang mengghashabnya.
– Adapun pemrosesan perkara-perkara yang memiliki pengaruh/konsekuensi kontinu yang menyalahi Islam, maka karena Rasulullah saw telah membatalkan riba yang masih tersisa atas orang-orang setelah mereka meniadi berada di Daulah Islamiyah dan Beliau menetapkan hak mereka adalah harta pokok saja. Yaitu bahwa setelah mereka tinggal di Dâr al-Islâm maka riba yang masih tersisa atas mereka telah dibatalkan, yakni tidak diambil. Demikian pula orang yang beristri lebih dari empat orang menurut undang-undang jahiliyah, maka setelah tinggal di Dâr al-Islâm, mereka diharuskan hanya mempertahankan empat orang saja dari isteri-isterinya itu. Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar : “bahwa Ghilan ibn salamah ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang isteri pada masa jahiliyah, dan isteri-isterinya itu turut masuk Islam bersamanya:
«فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعاً مِنْهُنَّ»
“Maka Nabi saw memerintahkan dia agar memilih empat orang saja dari sepuluh orang isterinya itu (untuk tetap menjadi isterinya)”.
Atas dasar ini, setiap akad yang memiliki pengaruh/konsekuensi terus menerus yang menyalahi Islam, maka pengaruh/konsekuensi itu dibatalkan pada saat berdiri daulah al-Khilafah. Penghilangan pengaruh atau konsekuensi terus menerus yang menyalahi Islam itu adalah wajib. Misalnya, seandainya seorang wanita muslimah menikah dengan pria nashrani sebelum Islam, maka setelah al-Khilafah berdiri akad pernikahan tersebut dibatalkan sesuai ketentuan hukum syara’ …
– Adapun pemrosesan perkara-perkara yang berkaitan dengan orang-orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim, maka karena Rasul saw pada saat Fathu Mekkah tetap memutuskan dibunuhnya sekelompok orang yang dahulu menyerang Islam dan kaum Muslim pada masa jahiliyah. Beliau memutuskan darah mereka ditumpahkan hingga meskipun mereka bergelantungan di kain penutup Ka’bah. Perlu dicatat bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
«إِنَّ الإِسْلامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ» رواه أحمد والطبراني عن عمرو بن العاص
“Sesungguhnya Islam menghapus apa yang sebelumnya” (HR Ahmad dan ath-Thabarani dari Amru bin al-‘Ash).
Yakni siapa yang telah menyerang Islam dan kaum Muslim dikecualikan dari ketentuan hadis ini. Dan juga karena Rasulullah saw setelahnya telah memberi pengampunan kepada sebagian dari mereka seperti pengampunan yang Beliau berikan kepada Ikrimah bin Abiy jahal. Oleh karena itu, Khalifah boleh tetap memproses perkara terhadap mereka yang menyerang Islam dan kaum Muslim sebelum berdiri al-Khilafah atau memberi pengampunan kepada mereka. Ketentuan ini berlaku bagi orang-orang yang menyiksa kaum Muslim dikarenakan kaum Muslim mengatakan kebenaran atau karena orang-orang itu telah menikam Islam. Maka kepada mereka tidak diberlakukan hadis:
«إِنَّ الإِسْلامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ»
“Sesungguhnya Islam menghapus apa yang sebelumnya”.
Akan tetapi mereka dikecualikan dari ketentuan hadis ini dan perkara mereka tetap diproses atau diampuni menurut pandangan Khalifah.
– Adapun pemrosesan kembali perkara-perkara perampasan (ghashab) yang barangnya masih ada di tangan orang yang merampasnya (mengghashabnya), maka karena apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Wa’il bin Hujrin, ia berkata:
«كُنْتُ عِنْدَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَأَتَاهُ رَجُلاَنِ يَخْتَصِمَانِ فِي أَرْضٍ فَقَالَ أَحَدُهُمَا إِنَّ هَذَا انْتَزَى عَلَى أَرْضِي يَا رَسُولَ اللهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ امْرُؤُ الْقَيْسِ بْنُ عَابِسٍ الْكِنْدِيُّ وَخَصْمُهُ رَبِيعَةُ بْنُ عِبْدَانَ قَالَ: بَيِّنَتُكَ، قَالَ: لَيْسَ لِي بَيِّنَةٌ، قَالَ: يَمِينُهُ، قَالَ إِذَنْ يَذْهَبُ بِهَا، قَالَ: لَيْسَ لَكَ إِلاَّ ذَاكَ، قَالَ: فَلَمَّا قَامَ لِيَحْلِفَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَنِ اقْتَطَعَ أَرْضاً ظَالِماً لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ»
“Aku sedang berada di sisi Rasulullah saw lalu datang kepada Beliau dua orang laki-laki yang bersengketa tentang tanah. Salah seorang dari keduanya berkata: “ya Rasulullah orang ini menguasai tanahku secara paska pada masa jahiliyah”. Dan dia adalah Imru’u al-Qays bin ‘Abis al-Kindi dan yang menuntutnya adalah Rabi’ah bin ‘Ibdan. Rasulullah bersabda: “buktimu”. Orang itu berkata: “aku tidak punya bukti”. Rasulullah bersabda: “sumpahnya”. Orang itu berkata: “kalau begitu ia pergi dengannya (memiliki tanah itu)”. Rasulullah bersabda: “tidak ada untukmu selain itu”. Wa’il berkata: “ketika orang itu berdiri untuk bersumpah, Rasulullah saw bersabda: “siapa saja yang mengambil tanah secara zalim niscaya akan menjumpai Allah dan Allah murka kepadanya”.
Intazâ ‘alâ ardhin adalah menguasai dan mendudukinya yaitu mengambilnya secara ghashab… Jadi Rasul saw menerima pengaduan laki-laki tersebut atas orang yang mengambil tanahnya secara paksa (mengghashab), perlu dicatat bahwa hal itu (perampasan itu) terjadi pada masa jahiliyah… Dengan demikian maka setiap orang yang mengambil tanah, atau meng-ghashab hewan ternak atau harta milik individu atau menguasai harta yang termasuk hak milik umum atau hak milik negara … dan hal itu merupakan perampasan (ghashab), maka pengaduan tentangnya diterima.
Keempat, ringkasnya adalah bahwa orang itu jika masuk Islam dan keislamannya baik maka diampuni untuknya keburukan-keburukannya sebelum Islam kecuali dalam tiga kondisi yang disebutkan di atas sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info