Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Syaikh kami yang dimuliakan Allah, saya ingin bertanya kepada Anda.
Di buku an-Nizhâm al-Islâm tertulis bahwa Islam adalah agama yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia.
Yang saya tanyakan: apakah Islam hanya diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw saja dan tidak diturunkan kepada para nabi terdahulu? Lalu apa agama para nabi terdahulu?
Terima kasih atas jawaban Anda dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
wassalamu alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuhu.
[Abu Sarah]Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Anda menunjuk dengan pertanyaan Anda kepada apa yang ada di awal pembahasan Nizhâm al-Islâm di buku Nizhâm al-Islâm tentang definisi Islam sebagai berikut:
[Islam adalah agama yang telah Allah SWT turunkan kepada sayidina Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri dan dengan manusia yang lain. Dan hubungan manusia dengan Penciptanya mencakup akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian. Dan hubungan manusia dengan manusia yang lain mencakup muamalah dan uqubat], selesai.
Kata Islam dan bentukannya digunakan di dalam nas-nas syariah dengan makna bahasanya yakni al-haqîqah al-lughawiyah, dan juga digunakan dengan makna istilahnya yakni al-haqîqah asy-syar’iyah. Adapun makna bahasa kata al-Islâm adalah berserah diri, tunduk patuh dan ikhlas. Adapun makna istilahnya adalah penyebutan lafal al-Islâm sebagai isim ‘alam terhadap agama yang Allah SWT turunkan kepada sayidina Muhammad saw secara khusus sebagaimana definisi yang dikutip dari buku Nizhâm al-Islâm di atas. Dan berikut penjelasannya:
Pertama: makna secara bahasa (al-haqîqah al-lughawiyah) untuk kata al-Islâm:
1- Di dalam kamus-kamus bahasa dinyatakan makna bahasa kata al-islâm sebagai berikut:
a- Lisân al-‘Arab (12/289):
Al-Islâm dan al-istislâm adalah al-inqiyâd (patuh). Al-islâm dari syariah adalah menampakkan kepatuhan dan menampakkan syariah dan berpegang dengan apa yang dibawa oleh Nabi saw … Adapun al-Islâm maka Abu Bakar Muhammad bin Basyar berkata: “dikatakan “fulân muslimun”, di sini ada dua pendapat. Pertama, adalah al-mustaslimu (orang yang berserah diri) kepada perintah Allah dan kedua adalah al-mukhlish lillâh al-‘ibâdah (yang memurnikan ibadah karena Allah) dari ucapan mereka sallama asy-syay`a li fulân yakni khalashahu (memurnikannya) dan salama lahu asy-syay`a yakni khalasha lahu (memurnikan untuknya) … Dan di dalam hadis:
ما من آدمي إِلاَّ ومعه شيطان قيل ومعك قال نعم ولكن اللَّه أَعانني عليه فأَسْلَمَ وفي رواية حتى أَسْلَمَ أَي انقاد وكَفَّ عن وَسْوَسَتي
“Tidaklah seorang anak Adam kecuali setan bersamanya”. Dikatakan: “dan bersama Anda juga?” Beliau bersabda: “benar, tetapi Allah menolongku mengalahkannya sehingga dia patuh”. Dan dalam satu riwayat “sehingga dia aslama yakni inqâda (patuh) dan berhenti dari memberi bisikan-bisikan”….
b- Al-Muhîth fî al-Lughah (2/265 dengan penomoran asy-Syamilah secara otomatis).
Dan al-islâm: al-istislâm li amrillâh wa al-inqiyâdu li thâ’atillâh (berserah diri kepada ketentuan Allah dan patuh menaati-Nya). Dan mereka berkata: “salamnâ lillâh rabbinâ yakni istaslamnâ lahu wa aslamnâ (kami berserah diri kepada-Nya dan kami patuh). Dan as-salamu -juga- al-islâm dan al-muslimu adalah al-mustaslimu (yang berserah diri)….
Jadi al-islâm dalam bahasa adalah al-istislâm (berserah diri), al-inqiyâd (patuh) dan al-ikhlâsh (ikhlas). Dan itu kepada Allah SWT adalah patuh, tunduk dan berserah diri kepada Allah dan itu demikin juga ikhlas kepada-Nya SWT.
2- Penggunaan nas-nas syariah untuk kata al-Islâm dengan makna bahasanya:
Nas-nas syariah menggunakan kata al-islâm, bentukannya dan topiknya di sejumlah tempat dengan makna bahasanya yang disebutkan di atas. Kami sebutkan dua tempat dari nas-nas syariah itu untuk contoh:
Firman Allah SWT:
﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ * رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ * رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ * وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ * إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ * وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ * أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ * تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (127) Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (128) Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (129) Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (130) Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (131) Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (132) Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (133) Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan” (TQS al-Baqarah [2]: 127-134).
Semua lafal di dalam ayat-ayat ini memiliki hubungan dengan topik al-islâm; “muslimayn, muslimatan, aslama, aslamtu, muslimûn, muslimîn”, adalah dengan makna bahasa untuk kata al-islâm yakni al-istislâm (berserah diri), al-khudhû’ (patuh) dan al-ikhlâsh (ikhlas) untuk Allahg SWT. Perkara ini dijelaskan oleh apa yang ada di buku-buku tafsir seputar makna ayat-ayat ini. Saya kutipkan tafsir yang ringkas dari Tafsîr an-Nasafi:
Tafsîr an-Nasafî (1/79 dengan penomoran asy-Syamilah secara otomatis).
“Rabbanâ wa[i]j’alnâ muslimayni laka” yakni mukhlishîna laka awjahnâ (mengikhlaskan niyat untuk-Mu), dari firman-Nya, “aslama wajhahu lillâh”. Atau mustaslimîna (kami berserah diri), dikatakan aslama lahu wa istaslama jika khadhi’a (patuh) dan adz’ana (tunduk), dan maknanya tambahlah untuk kami keikhlasan dan ketundukan kepada-Mu. “Wa min dzurriyatinâ” dan jadikan anak keturunan kami “ummatan muslimatan laka” danata “min” untuk menyatakan sebagian (li at-tab’îdh) atau untuk menjelaskan (li at-tabyîn). Dan dikatakan, yang dimaksudkan dengan ummat adalah umat Muhammad saw, melainkan dikhususkan dengan doa anak keturunan keduanya karena mereka lebih utama dengan kasih sayang, seperti firman Allah, “qû anfusakum wa ahlîkum nâran” … Lafal “idz qâla” merupakan zharf untuk ishtafaynâhu, atau dinashabkan dengan disembunyikan kata “udzkur” seolah dikatakan: udzkur dzâlika al-waqti (ingatlah waktu itu) agar kamu tahu bahwa dia al-mushthafa ash-shalih (yang dimulilakan lagi shalih) tidak yang tidak berpaling dari millah semisalnya. “Lahu rabbuhu aslim” yakni adz’in (tunduklah) atau athi’ (taatlah) atau akhlish dînaka lillâh (murnikan agamamu untuk Allah). “qâla aslamtu li rabbi al-‘âlamîn” yakni akhlishtu (aku murnikan) atau anqadtu (aku patuh) …
“Falâ tamûtunna illâ wa antum muslimûna” janganlah kematianmu kecuali di atas keadaan keberadaan kalian teguh di atas Islam … “wa nahnu lahu muslimûn” yakni lillâh mukhlishûna (mereka ikhlas kepada Allah) …], selesai.
b- Firman Allah SWT:
﴿وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)” (TQS al-Maidah [5]: 111).
Dan jelas dari ayat tersebut bahwa pembicaraannya adalah tentang al-Hawariyun para pengikut Isa as dan bahwa mereka berkata bahwa mereka adalah muslimûn, yakni mustaslimûn (berserah diri) munqâdûna (patuh) kepada perintah Allah mukhlishûna lahu (ikhlas kepada-Nya)… Dan dinyatakan di dalam Tafsîr an-Nasafi untuk ayat ini sebagai berikut:
Tafsîr an-Nasafi (1/314 dengan penomoran asy-Syamilah secara otomatis).
“wa idz awhaytu” yakni alhamtu (Aku ilhamkan) “ilâ al-hawâriyyîna” yakni al-khawâsh (secara khusus) atau al-ashfiyâ` (murni) “an âminû” yakn berimanlah “bî wa birasûlî qâlû âmannâ wa [i]syhad biannanâ muslimûna” yakni saksikanlah bahwa kami mukhlishûna (mukhlis) dari aslama wajhahu (tunduk patuh kepada-Nya).
Kedua: penggunaan secara istilah untuk kata al-Islâm (al-haqîqah asy-Syar’iyyah):
1- Seperti telah kami sebutkan di atas, as-nas syariah menggunakan kata al-Islâm dengan maknanya secara istilah, yakni sebagai isim ‘alam untuk agama yang diturunkan kepada Muhammad saw, dan kami sebutkan dua contoh:
a- Firman Allah SWT:
﴿الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيناً﴾
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (TQS al-Maidah [5]: 3).
Dinyatakan di dalam Tafsîr Ibni Katsîr seputar ayat ini sebagai berikut:
Tafsîr Ibni Katsîr (3/26):
Firman Allah:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيناً﴾
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (TQS al-Maidah [5]: 3).
Ini merupakan nikmat Allah azza wa jalla yang paling besar kepada umat ini karena Dia ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan kepada agama yang lain dan tidak pula memerlukan nabi yang lain selain nabi mereka saw, karena itu Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Jadi tidak ada yang halal kecuali yang Dia halalkan dan tidak ada yang haram kecuali yang Dia haramkan. Tidak ada agama kecuali yang Dia syariatkan. Dan segala sesuatu yang Dia informasikan maka adalah haq dan benar tidak ada kebohongan di dalamnya dan tidak ada pengingkaran. Seperti firman-Nya:
﴿وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلا﴾
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil” (TQS al-An’am [6]: 115).
Yakni benar dalam informasi dan adil dalam perintah dan larangan. Dan ketika Allah telah menyempurnakan agama untuk mereka maka telah sempurnalah kenikmatan atas mereka. Karenanya Allah SWT berfirman:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيناً﴾
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (TQS al-Maidah [5]: 3).
Yakni, ridhailah Islam untuk diri kalian. Sebab Islam itu agama yang telah Allah ridhai dan sukai dan dengannya Dia mengutus Rasul-Nya yang paling utama dan dengannya Dia menurunkan kitab-Nya yang paling mulia. Ali bin Abiy Thalhah berkata dari Ibnu Abbas ucapannya: “alyawma akmaltu lakum dînakum” yakni al-Islâm. Allah SWT memberitahu Nabi-Nya saw dan kaum Mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan untuk mereka keimanan sehingga mereka tidak memerlukan tambahan selamanya. Dan Allah telah menyempurnakannya sehingga tidak berkurang selamanya. Dan Allah telah meridhainya sehingga Dia tidak memurkaninya selamanya”, selesai.
Jelas dari konteks ayat tersebut bahwa pembicaraannya adalah tentang agama yang telah Allah SWT turunkan kepada nabi-Nya Muhammad saw dan Allah telah menyempurnakannya dan meridhainya untuk kaum Muslim.
b- Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahîhnya dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ»
“Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulullah, menegakkan shalatm menunaikan zakat berhaji dan puasa Ramadhan”.
Jelas dari hadis yang mulia ini bahwa pembicaraannya adalah tentang agama Islam yang telah Allah turunkan kepada nabi-Nya Muhammad saw dan bahwa lima perkara yang disebutkan adalah pilar-pilar (rukun)nya sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadis-hadis yang lainnya.
2- Apa yang dinyatakan di buku Nizhâm al-Islâm pada teks yang dikutip di atas adalah tentang Islam dengan makna istilahnya (al-haqîqah asy-syar’iyyah). Diperhatikan atas definisi Islam menurut definisi yang darinya tampak kekomprehensifan syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Dinyatakan dalam definisi bahwa Islam adalah agama yang telah Allah turunkan kepada sayidina Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri dan dengan manusia lainnya. Begitulah, jadi Islam tidak membiarkan satu hubungan yang mungkin untuk manusia kecuali Islam mengaturnya dan menetapkan hukum-hukum untuknya.
Ketiga: Islam dan agama para nabi:
1- Al-islâm dengan makna bahasanya kepada Allah SWT adalah al-inqiyâd wa al-khudhû’ lillâh (patuh dan tunduk kepada Allah) wa al-ikhlâsh lahu (ikhlas untuk-Nya). Itu merupakan sifat untuk agama para nabi seluruhnya sejak Adam as sampai nabi kita Muhammad saw. Para nabi semuanya adalah di atas al-islâm:
a- Dinyatakan tentang Ibrahim as di al-Quran al-Karim:
﴿إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ﴾
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (TQS al-Baqarah [2]: 131).
b- Dinyatakan tentang Ya’qub as dan anak-anaknya:
﴿وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ * أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ﴾
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (TQS al-Baqarah [2]: 132-133).
c- Tentang Yusuf as:
﴿تَوَفَّنِي مُسْلِماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ﴾
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh” (TQS Yusuf [12]: 101).
d- Dan tentang Musa as dan para pengikutnya, dan demikian juga tentang tukang sihir yang beriman kepada Musa:
﴿وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ﴾
“Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri” (TQS Yunus [10]: 84).
﴿وَمَا تَنْقِمُ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِآيَاتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاءَتْنَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْراً وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ﴾
“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami”. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)” (TQS al-A’raf [7]: 126).
e- Tentang Sulaiman as:
﴿فَلَمَّا جَاءَتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَأُوتِينَا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهَا وَكُنَّا مُسْلِمِينَ﴾
“Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: “Serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri” (TQS an-Naml [27]: 42).
f- Tentang Isa as dan para penolongnya:
﴿فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ﴾
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri” (TQS Ali Imran [3]: 52).
g- Dan tentang Ahlul Kitab:
﴿الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ * وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ﴾
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka al-Kitab sebelum al-Quran, mereka beriman (pula) dengan al-Quran itu. Dan apabila dibacakan (al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: “Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya)” (TQS al-Qashash [28]: 53).
Begitulah, Islam dengan makna al-istislâm (berserah diri), al-inqiyâd (patuh) kepada Allah SWT dan ikhlas kepada-Nya. Itu adalah sifat untuk agama para Nabi semuanya.
Adapun makna istilah syar’iy maka itu sebagaimana yang ada di Nizhâm al-Islâm:
[Al-Islam adalah agama yang telah Allah SWT turunkan kepada sayidina Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri dan dengan manusia yang lain. Dan hubungan manusia dengan Penciptanya mencakup akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian. Dan hubungan manusia dengan manusia lainnya mencakup muamalah dan uqubat], selesai. Dan dalil-dalil atas hal itu banyak dan qath’iy. Kami telah menjelaskan sebagiannya di atas.
Saya berharap di dalam jawaban ini adalah kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam. []
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Anbu ar-Rasytah
Sumber : HT Info