Soal:
Bagaimana urgensi Khilafah Islam dalam penyatuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal? Pasalnya, hingga saat ini, setelah runtuhnya Khilafah, seolah umat Islam sering berpuasa dan berhari raya berbeda-beda.
Jawab:
Untuk menjelaskan urgensi Khilafah dalam konteks ini, kita harus melihat dalil-dalil tentang status mathla’ (tempat bulan terbit) untuk menentukan 1 Ramadhan dan Syawal. Pertama: Hadis penuturan Kuraib:
حَدَّثَنِيْ كُرَيْبٌ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: “فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلَيَّ هِلالُ رَمَضَانَ، وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتَ الْهِلالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، قَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ؟ فَقُلْت: نَعَمْ رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku pernah diberitahu Kuraib, bahwa Ummu Fadhal binti al-Haris telah mengutus dirinya kepada Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku telah tiba di Syam, aku telah menunaikan hajatnya (Ummu Fadhal). Aku pun mendapati hilal Ramadhan ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Orang-orang pun melihatnya. Mereka berpuasa, Muawiyah juga sama. Aku lalu tiba di Madinah pada akhir bulan. Aku ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas, kemudian beliau menyebut hilal, lalu bertanya, “Kapan kamu melihat hilal?” Aku jawab, “Kami telah melihat hilal malam Jumat. Beliau bertanya, “Kamu melihatnya malam Jumat?” Aku jawab, “Benar. Aku melihatnya malam Jumat. Orang-orang juga sama. Mereka telah berpuasa. Muawiyah pun sama. Beliau berkata, “Namun, kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu sehingga kami tetap berpuasa hingga menggenapkan bulan menjadi 30 hari, atau kami melihat hilal (1 Syawal).” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup dengan rukyat dan puasa Muawiyah?” Beliau menjawab, “Tidak begitu yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kami.” (HR Khamsah, kecuali Ahmad. Hadis ini disahihkan oleh at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berpendapat, bahwa tiap penduduk di wilayah mempunyai rukyat sendiri, dan rukyat penduduk wilayah lain tidak mengikat mereka. Ini dituturkan oleh Ibn al-Mundzir dari ‘Ikrimah, al-Qasim bin Muhamad, Salim dan Ishaq. Ini juga dituturkan oleh at-Tirmidzi dari ahli ilmu. Al-Mawardi menuturkan, ini salah satu pendapat mazhab Syafii.
Pendapat lain hampir sama, bahwa rukyat penduduk wilayah tertentu tidak mengikat wilayah lain, kecuali jika ditetapkan oleh Imam/Khalifah sehingga mengikat seluruh rakyat. Alasannya, seluruh negeri itu, bagi Imam/Khalifah, adalah satu wilayah dan keputusannya berlaku bagi semuanya. Ini dinyatakan oleh Ibn al-Majisyun.
Pendapat lain, jika wilayah tersebut berdekatan, hukumnya sama. Namun, jika jauh, di kalangan mazhab Syafii sendiri ada dua pendapat: menurut mayoritas tidak wajib. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian mazhab Syafii, dan dipilih oleh Abu at-Thayyib; adapun yang lain menyatakan wajib. Ini dituturkan oleh al-Baghawi dari as-Syafii.1
Kedua: Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
لا تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْا اْلهِلالَ، وَلا تُفْطِرُوْا حَتّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاثِيْنَ
Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya hingga melihat hilal. Jika pandangan kalian tertutup mendung, genapkanlah hitungan (Sya’ban dan Ramadhan) menjadi tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini tidak hanya berlaku khusus untuk penduduk sebuah wilayah, tetapi seruan ini berlaku umum untuk setiap Muslim. Menggunakan hadis ini untuk menarik hukum tentang rukyat penduduk sebuah wilayah mengikat bagi penduduk lain itu lebih kuat, ketimbang menarik hukum dengan menggunakan dalil di atas dengan konotasi tidak mengikat. Alasannya, jika hilal (Ramadhan/Syawal) sudah dilihat oleh penduduk wilayah tertentu, maka sesungguhnya hilal itu juga telah dilihat oleh kaum Muslim yang lain. Karena itu ia mengikat yang lain, sebagaimana yang melihat hilal secara langsung.2 Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki maupun Hanbali.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, sesungguhnya penyatuan 1 Ramadhan dan Syawal, yang notabene merupakan pendapat yang paling kuat, tidak mungkin bisa diwujudkan kecuali dengan adanya Imam/Khalifah. Pasalnya, berbagai wilayah tersebut, bagi Imam/Khalifah adalah satu. Ini karena Khilafah adalah negara kesatuan; hukum yang berlaku di satu wilayah berlaku juga untuk wilayah yang lain.
Pendapat Imam/Khalifah dalam hal ini juga wajib ditaati dan dilaksanakan secara lahir dan batin, sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah syariah:
أَمْرُ اْلإمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Perintah Imam/Khalifah wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin.
Karena itu hanya dengan adanya Khilafah penyatuan tersebut bisa diwujudkan dengan sempurna. Jika demikian, bagaimana dengan urgensi Khilafah dalam penyatuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal?
Jika merujuk kepada pendapat yang paling kuat, yaitu satu mathla’ berlaku bagi seluruh dunia, karena satu mathla’ bagi satu wilayah Islam berlaku bagi wilayah Islam yang lain, maka adanya Khilafah untuk menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda dalam hal ini hukumnya wajib. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah syariah:
مَا لا يَتَمُّ الْواَجِبُ إِلا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.
Penyatuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal bagi kaum Muslim, berdasarkan pendapat yang kuat di kalangan fuqaha’ itu, hukumnya wajib, sementara penyatuan ini tidak akan mungkin terwujud, kecuali dengan adanya Imam/Khilafah. Karena itu adanya Imam/Khilafah untuk menyatukan 1 Ramadhan dan Syawal juga wajib. Tanpa itu, penyatuan tersebut tidak bisa diwujudkan. Apalagi ketika masing-masing wilayah kaum Muslim terikat dengan keputusan politik masing-masing wilayahnya sebagai dampak dari penerapan konsep nation state.
Jika ada yang mengatakan, bukankah dulu ketika ada Khilafah perbedaan dalam penyatuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal juga terjadi. Artinya, jika kaidah di atas digunakan, sementara secara fakta Khilafah pernah ada, toh penentuan 1 Ramadhan dan 1Syawal masih terjadi perbedaan.
Fakta ini terjadi karena faktor luasnya wilayah Islam saat itu, sementara belum ada teknologi yang bisa mengirimkan informasi/pesan dengan cepat sehingga perbedaan tersebut terjadi. Karena itu faktor ini bisa menjadi rukhshah terjadinya perbedaan, sebagaimana yang juga pernah terjadi pada zaman Nabi saw.
Namun, hari ini, dengan teknologi komonikasi yang canggih, dan informasi dari belahan dunia satu ke belahan dunia yang lain bisa sampai pada saat yang sama, rukhshah seperti ini tidak berlaku lagi. Jika ada yang mengatakan, kalau begitu, mengapa masih membutuhkan Khilafah, apakah tidak cukup dengan kecanggihan teknologi informasi, meski tanpa Khilafah, umat bisa berpuasa dan berhari raya secara serentak?
Jawabannya adalah, dari informasi memang bisa sampai kepada umat Islam di seluruh dunia pada detik dan jam yang sama. Namun, masalahnya bukan hanya sekadar umat mengetahui 1 Ramadhan atau 1 Syawal telah jatuh. Sebab, informasi ini tidak mengikat, kecuali jika ditetapkan oleh Khalifah, terutama bagi yang menganut mazhab yang membolehkan lebih dari satu mathla’. Karena itu adanya Khilafah dalam hal ini hukumnya wajib. Sebab, tanpa Khilafah, penyatuan tersebut tidak bisa diwujudkan.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1) Al-Hafidz ‘Ali as-Syaukani, Nayl al-Awthâr, Wizarah as-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad, al-Mamlakah as-Sa’udiyyah al-‘Arabiyyah, t.t., IV/267.
2) Al-Hafidz ‘Ali as-Syaukani, Nayl al-Awthâr, Wizarah as-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad, al-Mamlakah as-Sa’udiyyah al-‘Arabiyyah, t.t., IV/268.