(Tafsir QS al-Anfal [8]: 24)
Oleh : Rokhmat S. Labib, M.E.I.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kalian demi sesuatu yang memberi kalian kehidupan, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan. (QS al-Anfal [8]: 24).
Seruan dalam ayat ini mempertegas perintah ayat sebelumnya.[1] Jika ayat sebelumnya memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati Allah Swt. dan Rasul-Nya, tidak berpaling dari-Nya (ayat 20), dan tidak berperilaku seperti orang-orang yang ingkar dan enggan melaksanakan perintah-Nya kendati telah mendengar perintah-Nya (ayat 21), maka ayat ini kembali menegaskan seruan-Nya kepada mereka untuk memenuhi panggilan Rasul-Nya.
Rasulullah saw. menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya memenuhi panggilan beliau meskipun orang yang dipanggil itu sedang shalat. Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Sa‘id al-Mu‘alla pernah berkata:
Aku sedang shalat di masjid, lalu Rasulullah saw. memanggilku, namun aku tidak memenuhinya. Setelah selesai aku mendatangi beliau. Aku berkata, “Ya Rasulullah, saya sedang shalat.”
Beliau bersabda, “Bukankah Allah berfirman: Yâ ayyuha al-ladzîna âmanû [i]stajîbû lillâh wa li ar-ras1ûl idzâ da‘âkum limâ yuhyîkum.”[2]
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuha al-ladzîna âmanû (Hai orang-orang yang beriman). Seruan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dalam ayat ini—juga ayat-ayat sebelumnya—mengandung isyarat bahwa penyifatan iman mewajibkan pelakunya untuk mematuhi, mengikuti, dan mendengarkan perintah maupun larangan yang hendak disampaikan dalam kalimat berikutnya.[3] Seruan tersebut diharapkan juga dapat menggelorakan semangat mereka dalam menerima perintah, sekaligus memberikan peringatan kepada mereka bahwa di dalam diri mereka ada sesuatu yang diwajibkan.[4]
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: [i]stajîbû lillâh wa li ar-rasûl idzâ da‘âkum (penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kalian). Hampir semua mufassir menyatakan bahwa kata [i]stajîbû berarti ajîbû (penuhilah).[5] Makna memenuhi seruan Allah Swt. dan Rasul-Nya adalah mematuhi dan menaati perkara-perkara yang diseru oleh keduanya.[6]
Berikutnya Allah Swt. menegaskan bahwa seruan yang wajib ditaati itu sebenarnya untuk kepentingan dan kemaslahatan diri mereka sendiri. Allah Swt berfirman: limâ yuhyîkum (untuk sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian). Ungkapan ‘sesuatu yang memberikan kehidupan’ ini mengandung cakupan makna amat luas. Aneka penafsiran relevan yang dihasilkan para mufassir menunjukkan hal itu.
Menurut as-Sudiy, perkara yang menghidupkan itu adalah iman dan Islam. Alasannya, iman berarti hidupnya hati, sebaliknya kufur adalah matinya hati.[7] Qatadah berpendapat, yang dimaksud dengannya adalah al-Quran dan semua yang ada di dalamnya. Sebab, di dalam al-Quran terdapat kehidupan, kesuksesan, dan keterjagaan dari kesalahan. Al-Quran juga disebut sebagai kehidupan karena merupakan sumber dan pangkal ilmu, sementara ilmu adalah kehidupan.[8]
Mufassir lainnya menafsirkannya sebagai jihad dan perang. Sebab, dengan perang, Allah Swt. memuliakan kaum Mukmin setelah sebelumnya bergelimang dalam kehinaan; membuat mereka menjadi kuat setelah berada dalam keadaan lemah; dan melindungi mereka setelah dicengkeram musuh-musuhnya.[9] Sebaliknya, dengan meninggalkan jihad, kaum kafir bisa berkuasa sehingga leluasa membunuhi dan menghinakan kaum Mukmin.[10] Alasan lainnya, jihad merupakan jalan untuk meraih syahâdah (kesyahidan),[11] sementara orang-orang yang syahid di medan jihad akan hidup langgeng di sisi Allah Swt. dan memperoleh rezeki dari-Nya. Allah Swt. berfirman:
]وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ[
Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. (QS Ali Imran [3]: 169).
Sebagian lainnya berpendapat, yang dimaksud dengannya adalah ketaatan dan semua yang dikandung dalam al-Quran, baik perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya. Sebab, di dalamnya terdapat kehidupan abadi dan kenikmatan yang kekal.[12]
Ada pula yang menafsirkannya lebih umum. Setiap yang haqq (benar) dan shawâb (betul), tercakup di dalamnya. Karena itu, al-Quran, iman, jihad, serta setiap amal kebajikan dan ketaatan dapat dimasukkan ke dalam perkara yang menghidupkan. Alasannya, yang dimaksudkan dengan frasa limâ yuhyîkum adalah al-hayâh ath-thayyibah (kehidupan yang baik);[13] sebagaimana firman Allah Swt.:
]مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً[
Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik. (QS an-Nahl [16]: 97).
Kemudian Allah Swt. berfirman: wa [i]‘lamû anna Allâh yahûlu bayn al-mar’i wa qalbih (dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi manusia dengan hatinya). Ada beberapa penafsiran mengenai maksud ‘Allah membatasi manusia dengan hatinya’.
Pertama, Allah Swt. menguasai hati hamba-hamba-Nya. Dialah Yang mengarahkan hati manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Dia pula Yang menggeser azam seseorang, mengubah keinginannya, memberikan ilham kepadanya, dan membelokkannya dari jalan lurus.[14] Singkatnya, manusia tidak menguasai hatinya sehingga tidak ada seorang pun beriman atau kafir kecuali dengan izin-Nya.[15]
Jika dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, penafsiran ini kurang tepat. Sebab, jika manusia tidak berkuasa atas hatinya, untuk apa ia diseru agar memenuhi panggilan Allah Swt. dan Rasul-Nya? Demikian juga jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain. Banyak ayat yang menunjukkan bahwa beriman atau kafir, mengikuti petunjuk atau berpaling darinya, dan berbuat taat atau maksiat berada dalam daerah ikhtiar manusia. (QS Yunus [10]: 108; QS Ali Imran [3]: 69; QS Saba [34]: 29). Oleh karenanya, wajar jika Allah menghisab perbuatan tersebut dan menyediakan balasan berupa surga dan neraka atas pilihan tersebut. (QS Fushilat [41]: 46; QS al-Zalzalah [99]: 7-8, QS an-Nisa’ [4]: 123).[16]
Kedua, merupakan majaz yang menunjukkan kedekatan Allah Swt. terhadap hamba-Nya. Sebab, di antara makna al-hawl adalah terpisahnya sesuatu dengan lainnya. Jika dinyatakan bahwa Allah Swt. membatasi antara manusia dan hatinya, berarti Allah lebih dekat daripada jarak antara dua hal yang dibatasi itu satu sama lain.[17] Pemberitahuan tersebut merupakan peringatan bahwa Allah Swt. melihat dan mengawasi semua perkara yang disembunyikan hati.[18] Makna ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
]وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ[
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya; Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS Qaf [50]: 16).
Ketiga, pembatasan Allah terhadap manusia dari hatinya diwujudkan dengan mematikannya. Kematian dianggap sebagai pembatas seseorang dengan hatinya. Setelah mati, manusia tak lagi berkuasa atas hatinya. Ungkapan dalam ayat itu dimaksudkan sebagai dorongan kuat untuk bersegera melakukan ketaatan kepada-Nya; seolah-oleh setelah Allah Swt. memerintahkan kaum Mukmin memenuhi seruan Rasul-Nya. Dia kemudian melecut semangat mereka untuk menggunakan kesempatan sebaik-baiknya dengan mengikhlaskan hatinya dalam melakukan ketaatan kepada-Nya,[19] sebelum kematian menjemputnya dan memisahkan dirinya dengan hatinya.
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa annahu ilayh tukhsyarûn (dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan). Artinya, perjalanan hidup seluruh manusia akan berakhir kepada Allah Swt. Mereka akan dibangkitkan, dikumpulkan, dan diberi balasan atas semua perbuatan yang mereka kerjakan.[20] Oleh karena itu, bersegeralah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Syariat dan Maslahat
Setidaknya ada dua prinsip penting yang patut menjadi catatan dalam ayat ini. Pertama, adanya kewajiban bagi setiap Mukmin untuk tunduk pada semua ketetapan hukum yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mereka tidak boleh menyimpang dari ketetapan hukum itu, apalagi mengubah atau membatalkannya. Thalab (tuntutan) untuk memenuhi seruan Rasul dalam ayat tersebut terkategori wajib. Qarînah (indikator)-nya, ada kecaman keras bagi setiap orang yang tidak mau memenuhi seruan Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman:
]فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ[
Jika mereka tidak menjawabmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsu tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. (QS al-Qashash [28]: 50).
Kedua, semua ketetapan hukum yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang dituntut untuk ditinggalkan adalah mafsadat. Seruan Rasulullah yang dapat memberikan kehidupan (limâ yuhyîkum) menjadi bukti atas kesimpulan tersebut. Dengan demikian, penetapan maslahat, baik pada af‘âl (perbuatan) maupun asyâ’ (benda), secara qath‘i hanya milik Allah Swt.:
] حَيْثُمَا يَكُنُ الشَّرْعُ تَكُنُ اْلمَصْلَحَةُ[
Di Mana Ada Syariat Di Situ Pasti Ada Maslahat
Kaidah ini harus diyakini setiap Mukmin, sekalipun akalnya tidak selalu dapat menjangkau fakta maslahat yang terkandung dalam syariat itu. Dengan keyakinan tersebut, seorang Mukmin akan lebih lapang menerima ketetapan syariat. Ia tidak akan berani melanggar, apalagi mengubah atau membatalkan ketetapan hukum-Nya dengan alasan kemaslahatan.
Dalam hal ini, sikap Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as. yang dikisahkan dalam al-Quran patut menjadi teladan. Tatkala Allah Swt memerintahkan Ibrahim as. menyembelih putranya, sama sekali tidak ada keberatan dalam diri mereka untuk mengerjakannya. Meskipun perintah itu amat sulit dipahami sisi kemaslahatannya oleh akal manusia, mereka yakin, perintah Allah Swt. mustahil keliru, menzalimi hamba-Nya, dan berakibat buruk.
Dua prinsip di atas patut menjadi catatan penting karena kini bermunculan kelompok liberal berbaju Islam yang menolak berbagai ketetapan syariat. Aspek maslahat sering digunakan sebagai alasannya. Karena alasan maslahat, ketentuan syariat tentang waris antara anak laki-laki dan anak perempuan ditolak, keharusan adanya wali perempuan dalam pernikahan dibatalkan, poligami yang diperbolehkan syariat dilarang, sementara kawin kontrak justru diperbolehkan. Bahkan, karena dianggap dapat menimbulkan konflik—yang berarti tidak maslahat—pemberlakuan syariat secara total dalam kehidupan bernegara ditentang. Kaidah Haytsumâ yakûn asy-syar‘u takûn al-mashlahah (di mana ada syariat di situ pasti ada maslahat) yang digali dari nash-nash syariat pun diubah menjadi haytsumâ takûn al-mashlahah fa tsamma yakûn asy-syar‘u (di mana ada maslahat di sana ada syariat).
Berdasarkan dua prinsip di atas, semua upaya itu—yakni melawan ketetapan syariat dengan dalih maslahat—harus ditolak. Di samping bertentangan dengan dua prinsip di atas, upaya itu merupakan sikap lancang terhadap Allah Swt. Dengan menyatakan bahwa ada hukum syariat yang tidak bermaslahat, sementara dia melihat ada ketetapan lain yang lebih bermaslahat, sehingga hukum syariat itu perlu diubah, berarti telah menuduh Allah Swt. tidak mengetahui apa yang dia ketahui. Allah mengecam sikap merasa lebih tahu daripada-Nya. Allah Swt. berfirman:
]قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللهُ[
Katakanlah, “Apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS al-Baqarah [2]: 140).
Sikap lancang inilah yang menyebabkan Iblis diusir dari surga. Ketika Allah Swt. memerintahnya untuk bersujud kepada Adam as., dia membangkang. Alasannya, tidak layak dia yang diciptakan dari api bersujud kepada Adam as. yang diciptakan dari tanah. (QS al-A‘raf [7]: 12).
Padahal, manusia harus menyadari kelemahan dirinya. Betapa pun pandainya, manusia tidak mampu memastikan hakikat maslahat atau mafsadat. Buktinya, sesuatu yang maslahat tak jarang disangka mafsadat, demikian juga sebaliknya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ[
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagi kalian. Allah tahu, sedangkan kalian tidak tahu. (QS al-Baqarah [2]: 216).
Kaum Muslim harus waspada. Dulu, iblis pun menggunakan argumen maslahat dalam memprovokasi Adam as. Menurut bujuk-rayu iblis, pohon yang dilarang untuk didekati Adam as. itu dapat menyebabkan pemakannya menjadi malaikat dan bisa hidup kekal di dalam surga (lihat QS al-A‘raf [7]: 20; QS Thaha [20]: 120). Dengan ucapan itu, iblis ingin memperdayai Adam as., bahwa tak masalah melanggar aturan-Nya karena ada maslahat di sana.
Jika demikian, masihkah kita percaya dan terpesona dengan segala argumen maslahat yang dipropagandakan para pengikutnya?. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki :
[1] Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qurân, vol. 5 (Qathar: Idârat Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 154.
[2] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 4 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 247; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5, 277.
[3] Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr ,vol. 9. (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 289.
[4] Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî , vol. 5. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1994), 177.
[5] Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 803; Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 515; Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’an, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, ), 389.
[6] Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, ), 820.
[7] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 118.
[8] Ibid, al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 304.
[9] Demikian pendapat Urwah bin al-Zubayr sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 220. Demikian pula menurut Ibnu Ishaq, lihat al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
[10] Sa’id Hawa, al-Asâs fî Tafsîr , vol. 4 (tt: Dar al-Salam, 1999), 2147.
[11] Ibid, 2147.
[12] Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayan, vol. 5 (Qathar: Idârat Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 154; al-Syawkani, Fath al-Qadîr , vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 299.
[13] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 8, 118; al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr ,vol. 9, 289.
[14] al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî , vol. 5, 178; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 277.
[15] Abû al-H}asan al-Naysâbûrî, al-Wasîth Fî Tafsîr al-Qurân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 452.
[16] Pembahasan lebih jelas tentang hal ini dapat dibaca di al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 98 yang mengupas tuntas tentang al-Hudâ wa al-Dhalâl.
[17] Demikian pendapat Hasan dan Qatadah, lihat al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî , vol. 5, 178.
[18] Ibid, 178.
[19] Ibid, 178.
[20] al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vo. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 464.