(Tafsir QS ‘Abasa [80]: 17-23)
قُتِلَ الإِنْسانُ ما أَكْفَرَهُ * مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ * مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ * ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ * ثُمَّ أَماتَهُ فَأَقْبَرَهُ * ثُمَّ إِذا شاءَ أَنْشَرَهُ * كَلاَّ لَمَّا يَقْضِ ما أَمَرَهُ *
Binasalah manusia; alangkah besar kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakan dia (orang kafir itu) ? Dari setetes manilah Allah ciptakan, lalu Dia tentukan. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikan manusia dan memasukkan dirinya ke dalam kubur. Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkan manusia itu kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan kepada dia (QS ‘Abasa [80]: 17-23)
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qutila al-insân mâ akfarahu (Binasalah manusia; alangkah besar kekafirannya). Kata qutila dalam ayat ini bermakna lu’ina (dilaknat). Demikian menurut Ibnu Abbas ra, Abu Malik, Ibnu Jarir al-Thabari, Imam al-Qurthubi,al-Syaukani, al-Khazin,dan lain-lain.1
Yang dimaksud dengan al-insân (manusia) di sini ada al-insân al-kâfir (manusia yang kafir).2 Ibnu Katsir juga berkata, “Ini untuk menyebut jenis manusia yang mendustakan, disebabkan karena banyaknya pengingkaran yang dilakukan tanpa alasan, bahkan hanya karena ingin menjauhkan diri dari dan tanpa dasar ilmu.”3
Mujahid berkata, “Semua lafal dalam al-Quran qutila al-insân maka yang dimaksudkan adalah orang kafir.”4
Menurut Fakhruddin ar-Razi, kata qutila al-insân merupakan doa keburukan bagi manusia. Itu adalah doa yang paling buruk atau kasar buat mereka. Sebab, al-qatl (pembunuhan) adalah puncak rasa sakit di dunia. Adapun mâ akfarahu merupakan peringatan terhadap sikap keterlaluan mereka dalam mengingkari nikmat Allah SWT. Karena itu firman-Nya quytila al-insânu merupakan peringatan bahwa mereka berhak mendapatkan hukuman paling berat.5
Kemudian disebutkan: Mâ akfarahu. Kata mâ dalam ayat ini merupakan al-istifhâmiyyah (kalimat tanya). Artinya: Ayyu say‘[in] akfarahu (apa yang membuat dia menjadi ingkar). Ini menurut Ibnu Abbas.6 Menurut al-Alusi, maknanya adalah: tidak ada satu pun alasan yang membolehkan manusia untuk kafir.7
Ada juga yang memaknai frasa tersebut sebagai at-ta’ajjubiyyah (menunjukkan rasa keheranan). Kebiasaan orang Arab, jika mereka heran, terhadap sesuatu, mereka berkata, “Qatalahul-Lâh mâ ahsanahu, wa akhzâhul-Lâ mâ azhlamahu.”8Artinya, heran terhadap kekufuran manusia padahal Allah SWT telah memberikan kebaikan kepada dia; di samping itu ubun-ubun mereka pun di tangan-Nya. Demikian menurut Ibnu Jarir ath-Thabari.9
Kemudian Allah SWT berfirman: Min ayyi say‘i[n] khalaqahu (Dari apakah Allah menciptakan manusia?). Menurut Imam al-Qurthubi, ayat ini bermakna: “Min ayyi syay‘[in] khalaqal-Lâh hadzâ al-kâfir fayatakabbaru (Dari apakah Allah SWT menciptakan orang kafir tersebut sehingga mereka takabur?). Artinya, mereka dibuat heran dengan kejadiannya.10
Ibnu Jarir juga berkata, “Dari apakah manusia yang ingkar kepada Tuhannya itu diciptakan hingga dia bersikap takabur, tidak mau taat kepada Tuhannya dan tidak membenarkan tauhid?”11
Menurut Fakhruddin ar-Razi, ini merupakan istifhâm (kalimat tanya), yang tujuannya adalah untuk mengukuhkan sikap meremehkan mereka.12Pendapat senada juga dikemukakan oleh asy-Syaukani, seraya mengutip ucapan al-Hasan yang berkata, “Bagaimana bisa orang yang keluar dari jalan kencing dua kali itu bersikap sombong?”13
Ada juga yang mengatakan bahwa istifhâm tersebut berguna li al-tahqîr (untuk melecehkan).14
Kemudian Allah SWT menerangkan asal-usul kejadian manusia dengan firman-Nya: Min nuthfat[in] khalaqahu faqaddarahu (Dari setetes manilah Allah ciptakan dia, lalu Di tentukan). Ditegaskan bahwa mereka diciptakan dari nuthfah. Kata an-nuthfah bermakna al-mâ‘ ash-shâfî (air yang bening). Kata tersebut juga digunakan untuk menyebut air mani laki-laki.15 Makna inilah yang dimaksud oleh ayat ini.
Menurut Ibnu Katsir, Allah SWT telah menjelaskan bagaimana Dia menciptakan manusia dari sesuatu yang hina; Dia juga mampu untuk mengembalikan manusia lagi sebagaimana keadaan semula.16 Menurut Fakhruddin ar-Razi, tidak diragukan bahwa an-nuthfah adalah sesuatu yang rendah dan hina. Hal itu dimaksudkan, siapa saja yang asalnya dari sesuatu yang hina tidak layak dia bersikap angkuh dan sombong.17
Ditegaskan pula: Faqaddarahu. Kata qaddara berarti menetapkan sesuatu dengan miqdâr (ukuran) tertentu dan sifat tertentu. Yang dimaksud dengan qaddara di sini adalah Allah SWT telah menetapkan manusia untuk melewati semua fase tersebut, mulai dari nuthfah, menjadi ‘alaqah, hingga menjadi bentuk terakhir manusia, laki-laki atau perempuan, bahagia atau celaka.18Ibnu Katsir berkata, “Dia telah menetapkan ajal, rezeki, dan amalnya serta menjadi bahagia atau celaka.”
Ada pula yang menafsirkan qaddara sebagai menetapkan semua anggota badan, baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai dengan kemaslahatannya. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Furqan [25]: 2).19 Menurut Ibnu Abbas, Allah SWT qaddara (telah menetapkan) kedua tangannya, dua kakinya, dua matanya dan seluruh anggota tubuhnya, bagus maupun tidak, pendek atau tinggi, celaka atua bahagia.20
Kemudian Allah SWT berfirman: Tsumma al-sabîl yassarahu (Kemudian Dia memudahkan jalannya). Kata as-sabîl bermakna ath-tharîq (jalan).21Dalam konteks ayat ini, terdapat beberapa penjelasan tentang jalan yang dimudahkan Allah SWT kepada manusia. Menurut sebagian mufassir, Allah SWT memudahkan manusia keluar dari perut ibunya. Di antara yang menafsirkan demikian adalah Ibnu Abbas ra. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ikrimah, adh-Dhahhak, Abu Shalih, Qatadah, ath-Thabari, al-Khazin dan as-Sudi.22 Ibnu Jarir ath-Thabari beralasan, makna ini lebih sesuai dengan konteks ayat. Sebab, pemberitaan sebelum dan sesudahnya tentang sifat penciptaannya, pembentukan tubuhnya, dan perubahan-perubahan kondisinya. Jadi makna ini lebih seirama dengan redaksi sebelum dan sesudahnya.23
Sebagian lainnya menafsirkan as-sabîl di sini adalah jalan kebaikan dan kejahatan. Mujahid berkata, “Dia memudahkan manusia ke jalan kebaikan dan kejahatan. Maksudnya, Dia telah menjelaskan kepada manusia tentang hal itu. Dalilnya adalah firman Allah SWT: Sesungguhnya Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus (TQS al-Insan [76]: 3) dan firman-Nya: Kami telah menunjukkan kepada dia dua jalan (TQS al-Balad [90]: 10).”
Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Hasan, Atha‘ dan Ibnu Abbas dalam riwayat Abu Shalih.24 Demikian pula al-Hasan, Ibnu Zaid, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani.25
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Tsumma amâtahu fa aqa barahu (Kemudian Dia memati-kan dia dan memasukkan dirinya ke dalam kubur). Setelah diberikan kesempatan hidup dalam waktu yang ditentukan, kemudian Allah SWT mematikan manusia. Artinya, Dia menca-but ruhnya dan mematikan dia setelah itu.26
Lalu disebutkan fa aqbarahu. Artinya, menjadikan manusia di dalam kubur.27 Abu Ubaidah berkata, “Dia menjadikan bagi manusia kuburan dan memerintahkan agar dia dikubur di dalamnya.”28 Tidak disebutkan fa qabarahu. Sebab, pengertian al-qâbir adalah orang yang menguburkan mayat dengan tangannya. Adapun al-muqbir adalah Allah SWT. Dikatakan, “Qabara al-mayyit” jika dia yang menguburkannya; dan dikatakan, “Aqabara al-mayyit” jika dia memerintahkan orang lain untuk menjadikan mayit itu berada dalam kubur.29
Allah SWT berfirman: Tsumma idzâ syâ‘a ansyarahu (Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkan manusia itu kembali). Setelah dimatikan dan dimasukkan ke dalam kubur, masih ada kelanjutan fase berikutnya bagi manusia. Inilah yang diberitakan dalam ayat ini. Yang dimaksud dengan ansyarahu di sini adalah menghidupkan kembali. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kemudian apabila Allah menghendaki, Dia membangkitkan dan menghidupkan manusia itu kembali setelah kematiannya.”30
Abu Hayyan al-Andalusi menjelaskan makna ayat ini dengan ungkapan, “Jika telah sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah SWT, yakni pada Hari Kiamat.”31
Frasa dzâ syâ‘a, menurut Fakhruddin ar-Razi dan al-Alusi, mengisyaratkan bahwa waktunya tidak diketahui oleh kita, sehingga memajukan atau menundanya benar-benar diserahkan kepada kehendak Allah SWT. Adapun semua kejadian yang disebutkan sebelumnya dapat diketahui waktunya dari beberapa aspek. Kematian, sekalipun tidak diketahui waktunya oleh manusia, pada umumnya diketahui bahwa tidak melampaui batas tertentu.32
Allah SWT berfirman: Kallâ lammâ yaqdhi mâ amarahu (Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan kepada dia). Menurut Fakhruddin ar-Razi, kata kallâ merupakan teguran terhadap manusia atas kesombongan dan keangkuhan-nya; atau terhadap kekufuran dan terus berlanjutnya pengingkaran terhadap tauhid, hari kebangkitan dan pengumpulan.33
Menurut Ibnu Jarir, kata kallâ di sini bermakna: perkaranya tidak seperti yang dikatakan oleh orang itu, bahwa dia telah menunaikan hak Allah SWT terhadap dirinya pada diri dan hartanya.34
Adapun lammâ yaqdhi mâamarahu berarti dia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan Tuhannya dan tidak menunaikan apa yang diwajibkan Tuhannya pada dirinya.35
Menurut sebagian mufassir, realitas ini hanya merujuk kepada orang kafir saja, yakni bahwa mereka belum menjalankan apa yang telah Allah perintahkan kepada dia, baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ini berlaku untuk manusia secara umum. Mujahid berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat menunaikan apa yang diwajibkan terhadap dirinya.”36 Hal itu disebabkan manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan sehingga tidak bisa menjalankan semua perintah Allah SWT.
Fase Kehidupan Manusia
Dalam ayat-ayat ini, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Ayat-ayat ini menyadarkan manusia tentang asal-usulnya. Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari nutfah, setetes air mani, sebuah benda yang telihat hina dan menjijikkan. Keluarnya pun dari organ kemaluan laki-laki. Ketika itu sama sekali tidak memiliki kekuatan, bahkan bisa dikatakan sebagai benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Namun dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT menciptakan dari benda itu wujud manusia. Setelah melewati beberapa fase dan tempo tertentu, lalu berubah menjadi makhluk paling sempurna, bahkan disebut sebagai ahsan taqwîm, sebaik-baiknya bentuk. Lalu lahirlah menjadi seorang bayi melalui organ intim perempuan (Lihat: QS Yasin [36]: 77).
Kedua: Ayat-ayat ini mengingatkan kepastian datangnya kematian. Setelah menjalani kehidupan, fase yang pasti dialami manusia adalah kematian. Tidak ada seorang pun dapat menghindarkan diri kejadian ini. Di mana pun manusia berada, bahkan sekalipun berada dalam benteng yang kokoh, kematian tetap akan menjumpai dirinya (lihat QS al-Nisa [4]: 78). Tidak ada seorang pun mengetahui di bumi mana dia akan mati (lihat Luqman [31]: 34); juga tidak mengetahui kapan datangnya kematian. Ketika datang, dia tak bisa memajukan dan tak bisa memundurkannya (lihat QS al-A’raf [7]: 34). Ke mana pun manusia lari darinya, niscaya kematian akan menjumpai dirinya (lihat QS al-Jumu’ah [72]: 8). Ini adalah peristiwa yang pasti dialami oleh setiap jiwa (lihat QS Ali Imran [3]: 185). Ketika itu, dia dipaksa berhenti dari semua aktivitasnya. Harta yang dikumpulkan dan dibanggakan harus ditinggalkan begitu saja. Kekuasaan yang dia genggam tak bisa menolong dirinya, bahkan harus terlepas dari genggamannya. Istri, anak, keluarga, kerabat dan semua kawan-kawannya juga tak bisa diajak serta. Satu-satunya yang menemani dia adalah amal yang dikerjakan selama hidupnya di dunia.
Jika manusia mengingat kejadian ini, niscaya tak ada alasan bagi manusia untuk sombong dan takabur. Apalagi kepada Allah SWT, Zat yang menghidupkan dan mematikan. Kepada siapaka dia akan berlindung ketika dicabut nyawanya dan harus menghadap Allah SWT, Penciptanya?
Ketiga: Ayat-ayat ini memastikan Hari Kebangkitan. Kematian bukanlah akhir perjalanan hidup manusia. Setelah dimatikan dan dikuburkan, suatu saat mereka akan dibangkitkan kembali bersama dengan seluruh manusia lainnya. Itulah yawm al-ba’ts, Hari Kebangkitan. Saat itulah manusia harus mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya. Mereka diadili dalam pengadilan amat teliti. Siapa pun yang mengerjakan perbuatan kebaikan walau hanya seberat biji dzarrah akan melihatnya. Demikian juga perbuatan buruk walau hanya seberat biji dzarrah, pelakunya juga akan melihatnya. Itulah pengadilan yang pasti benar dan adil. Tidak ada seorang yang didzalimi dan dicurangi. Mereka tidak diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.
Karena itu sungguh beruntung dan berbahagialah orang yang mengisi hidupnya dengan keimanan dan amal shalih; taat dan patuh kepada Allah SWT. Surga adalah balasan bagi dirinya. Sebaliknya, merugi dan celakalah orang yang memenuhi hidupnya dengan kekufuran, kemaksiatan dan kesombongan; serta tidak memenuhi perintah Allah SWT. Neraka adalah balasan yang layak bagi dirinya.
Semoga kita termasuk dimasukkan ke dalam golongan manusia yang beruntung dan berbahagia.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Rochmat S Labib]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 322; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 222; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 217;al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 464; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wiîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 395.
2 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 217; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 322.
4 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 217.
5 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 57. Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 703.
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218.
7 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 246;
8 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 222.
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 223.
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 57. Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wiîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 395.
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.15, 246.
15 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1912), 118.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 322
17 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 57.
18 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 5. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 223.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 57
20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218.
21 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 223.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 322; al-Kazin, Lubâb al-Ta‘wiîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 395al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wiîl, 4, 395.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 224.
24 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 223.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 322; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 465
26 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 224.
27 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 218.
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 465.
29 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 58.
30 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 225. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 219; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 703.
31 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 409.
32 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 58; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.15, 247. Lihat juga penjelasan al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wiîl, 4, 395.
33 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 58. Lihat juga penjelasan al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 465.
34 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wiîl, 4, 395. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 225.
35 Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 225.
36 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 225.