Soal:
Bismillah ar-rahman ar-rahim.
Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu. Saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar menguatkan langkah Anda dan meneguhkan kekuasaan untuk Islam melalui kedua tangan Anda.
Amma ba’du, saudaraku yang dimuliakan, saya ajukan beberapa pertanyaan dengan harapan kepada Allah agar menyinari langkah Anda.
Pertanyaan pertama:
Dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah cetakan tahun 1425 H – 2004 M halaman 132 paragraf akhir pada bab Mâl al-Murtadîn sebagai berikut: “sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat memerangi oang-orang murtad, dan tidak menerima dari mereka kecuali kembali kepada Islam secara penuh …”. Hanya saja dinyatakan di halaman 189 paragraf akhir pada bab Hukmu Mâni’i az-Zakâh sebagai berikut; “jika kelompok itu menolak membayar zakat kepada negara, dan mereka menolak menaati negara dalam wajibnya membayar zakat kepada negara, dan mereka bertahan di satu tempat dan berlindung di situ, maka negara memerangi mereka dengan perang terhadap bughat sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat yang bersamanya memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat”.
Apakah itu merupakan dua peristiwa yang terpisah? Jika merupakan satu peristiwa lalu bagaimana kita menjelaskannya kadang bahwa itu “perang terhadap orang-orang murtad” dan kadang yang lain “perang terhadap bughat”? Padahal kondisinya itu merupakan satu peristiwa yang tidak boleh ada beragam hukum tentangnya?
Pertanyaan kedua:
Yaitu berkaitan dengan realita harta yang dikuasai secara paksa dan dengan kekuatan penguasa yang dinyatakan di halaman 119. Dan dengan hukum bolehnya pemberian negara untuk harta milik negara kepada individu rakyat, lalu apakah kerabat penguasa dan pegawai negara diharamkan secara mutlak dari pemberian ini disebabkan kekerabatan itu hingga meskipun mereka termasuk orang yang memerlukan? Dan jika boleh bagi mereka pemberian negara lalu apa batasan yang jelas antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh?
Pertanyaan ketiga:
Ada perbedaan dalam transaksi dengan uang fiat money yang beredar bersama negara yang antara kita dengannya ada perjanjian damai dan bertetangga baik sebab uang kertas fiat money ini tetap berlaku dan memiliki nilai jual beli, ada perbedaan dengan uang kertas yang beredar di tengah masyarakat di tempat yang akan menjadi titik sentral untuk Daulah al-Khilafah, sebab kelayakan uang kertas fiat money ini telah berakhir dan tidak lagi memiliki daya beli. Pertanyaannya, bagaimana negara akan memperlakukan uang kertas fiat money ini? Apakah negara akan mengganti apa yang ada di tangan masyarakat dengan mata uang baru yang berbasis emas dan perak? Jika demikian, bukankah ini berarti memberi orang-orang emas dan perak ditukarkan dengan kertas yang tidak punya nilai dan akan dihancurkan?
Saudaramu Muhammad al-Ahmadi.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama: jawaban pertanyaan pertama:
1- Setelah wafatnya Nabi saw kabilah-kabilah arab murtad dari Islam. Mereka diperangi oleh kaum Muslim karena mereka murtad dari Islam. Dan perang terhadap mereka adalah yang disebut perang melawan orang-orang murtad (qitâl al-murtadîn)… Tetapi ada sebagian kabilah yang tidak mendeklarasikan kemurtadan mereka dari Islam tetapi mereka menolak memberikan zakat kepada Abu Bakar sebagai Khalifah dengan mereka menakwilkan beberapa nas syariah. Terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat tentang memerangi mereka. Abu Bakar ra bersikeras untuk memerangi mereka karena mereka menolak menunaikan zakat kepada negara. Sedangkan sebagian sahabat, di antara mereka adalah Umar ra., mereka menolak dalam memulai memerangi mereka karena mereka dalam pandangan para sahabat adalah muslim. Tetapi merka setelah berdiskusi dengan Abu Bakar ra, mereka qanaah dengan pendapat Abu Bakar atas keharusan (pentingnya) memerangi mereka. Mereka itu, perang terhadap mereka menurut sebagian disebut perang terhadap orang yang tidak mau mmebayar zakat (qitâl mâni’i az-zakâh) sebagai pembedaan antara mereka dengan orang-orang murtad. Abu Bakar memerangi mereka sesuai apa yang kami rajihkan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah dalam sifat mereka sebagai bughat yang mereka keluar melawan negara tanpa kelaur dari Islam. Artinya, kami rajihkan bahwa mereka tidak menjadi orang-orang murtad tetapi mereka bughat. Ibnu Katsir menyatakan jalur-jalur dari peristiwa ini di bukunya al-Bidâyah wa an-Nihâyah sebagai berikut:
Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (6/342)
Bagian tentang tanggapan ash-Shiddiq untuk memerangi orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Telah disebutkan bahwa Rasulullah saw ketika beliau diwafatkan banyak lingkungan arab yang murtad. Dan kemunafikan muncul di Madinah. Bani Hanifah dan banyak orang berpihak kepada Musalimah al-Kadzab di al-Yamamah. Sedangkan Bani Asad dan Thayi` dan banyak orang, menoleh kepada Thulaihah al-Asadi, dan dia juga mengklaim kenabian sebagaimana yang diklaim oleh Musalilamah al-Kadzab … Delegasi-delegasi orang arab datang ke Madinah. Mereka mengakui shalat tetapi tidak mau membayar zakat. Di antara mereka ada yang tidak mau membayar zakat kepada ash-Shiddiq, dan disebutkan bahwa mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهُّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka” (TQS at-Tawbah [9]: 103).
Mereka berkata: “kami tidak membayar zakat kami kecuali kepada orang yang doanya menjadi ketenteraman bagi kami”. Sebagian mereka berkata: “kami menaati Rasulullah jika beliau ada di tengah kami lalu kami merasa heran apa urusan kekuasaan Abu Bakar” … Para sahabat berbicara dengan ash-Shidiq dalam membiarkan mereka dan apa yang mereka jalani berupa tidak mau membayar zakat dan memikat hati mereka sampai iman kokoh di hati mereka kemudian setelah itu mereka berzakat. Abu Bakar ash-Shidiq menolaknya dan enggan. Jamaah meriwayatkan di kitab mereka kecuali Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Umar bin al-Khaththab berkata kepada Abu Bakar:
عَلَامَ تُقَاتِلُ النَّاسَ؟ وَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: أُمِرْتُ أَنْ أَقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، فَإِذَا قَالُوْهَا عَصِمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا؟ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: وَاللهِ لَوْ مَنِعُوْنِيْ عِنَاقًا، وَفِيْ رِوَايَةٍ: عِقَالًا كَانُوْا يُؤَدُّوْنَهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ عَلَى مَنْعِهَا، إِنَّ الزكَّاَةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ، قَالَ عُمَرٌ: فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللهَ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ لِلْقِتَالِ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Atas dasar apa engkau memerangi orang-orang? Padahal Rasulullah saw bersabda: “aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulullah, jika mereka mengatakannya maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya?” Abu Bakar berkata: “Demi Allah seandainya kelompok orang, atau dalam riwayat lain: kaum (‘iqâl) mereka tidak mau membayar kepadaku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah saw sungguh aku perangi mereka atas ketidakmauannya. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah sungguh aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat”. Umar berkata; “tidak ada kecuali aku melihat bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, dan aku tahu bahwa itu benar (haqq)…] selesai.
2- Begitulah, tempat pertama yang kami bicarakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah pada pembahasan Mâl al-Murtadîn (Harta Orang-Orang Murtad) adalah tentang orang-orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar ra. karena mereka keluar dari Islam yang mana dinyatakan di pembahasan Mâl al-Murtadîn (Harta Orang-Orang Murtad) dari al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah sebagai berikut:
[Seandainya satu kelompok murtad dan berlindung di satu negeri dan mengangkat penguasa baru untuk mereka dan hukum-hukum khusus mereka, mereka menjadi dâr harbin, perlindungan darah dan harta mereka hilang, mereka wajib diperangi dan mereka menjadi seperti orang-orang kafir asli, bahkan lebih keras lagi dan lebih utama diperangi. Sebab orang-orang kafir asli, dari mereka diterima Islam, perdamaian atau jizyah. Adapun orang-orang murtad maka tidak diterima dari mereka kecuali Islam, dan tidak diterima dari mereka perdamaian dan tidak pula jizyah. Jadi pilihannya antara Islam dan perang. Sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat memerangi orang-orang murtad dan tidak menerima dari mereka kecuali kembali ke Islam secara penuh atau perang. Rasul saw bersabda:«مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ» رواه البخاري والنسائي
“Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia” (HR al-Bukhari dan an-Nasai)].
Jadi kaum itu diperangi oleh Abu Bakr dan para sahabat ridhwanullah ‘alayhim dalam sifat mereka sebagai orang kafir yang murtad dari Islam. Dan tidak diterima dari mereka kecuali mereka kembali ke Islam atau diperangi.
3- Adapun tempat yang lain dari buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah adalah pada bab Hukmu Mâni’i az-Zakâh -Hukum Orang Yang Tidak Mau Membayar Zakat- yaitu pernyataan: [dan jika ia tidak mau membayarnya dengan tetap meyakini wajibnya maka zakat diambil darinya dengan kekuatan. Jika satu kelompok menolak membayar zakat kepada negara dan mereka menolak menaati negara dalam wajibnya membayar zakat kepada negara dan mereka bertahan di satu tempat dan berlindung di situ maka negara memerangi mereka dalam bentuk perang terhadap bughat, sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat yang bersamanya memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat]. Jadi pembicaraan di sini adalah tentang orang-orang yang tidak mau membayar zakat yang mereka tidak murtad dari Islam. Jadi perang Abu Bakar terhadap mereka bukan perang riddah tetapi perang terhadap orang yang bughat dan keluar menentang negara, dan mereka itu bukan orang-orang murtad yang disebutkan di point sebelumnya.
4- Mengenai hal itu kami telah merinci di tempat kedua yang Anda tanyakan di bab Hukmu Mâni’i az-Zakâh -Hukum Orang Yang Menolak Membayar Zakat- secara rinci yang menenpatkan perkara pada nishabnya dan menjelaskan perbedaan antara dua keadaan yang disebutkan di atas. Saya kutipkan teks secara lengkap dari buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 182 file word:
[Hukmu Mâni’i az-Zakâh -Hukum Orang yang Menolak Membayar Zakat-Jika seorang muslim memiliki nishab berupa harta yang di dalamnya wajib zakat maka wajib baginya menunaikan zakat di dalamnya. Jika ia tidak mau menunaikannya kepada yang berhak maka ia berdosa dengan dosa besar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis-hadis yang dinyatakan dalam topik harta-harta zakat yang menegaskan pengingkaran terhadap orang-orang yang tidak menunaikan zakat harta mereka.
Dan siapa yang tidak mau membayar zakat maka diperhatikan pada faktanya. Jika ia tidak mau menunaikannya karena kebodohan mereka atas kewajibannya karena orang semisalnya biasanya tidak tahu, maka diberitahukan kewajibannya dan tidak dikafirkan serta tidak dijatuhi ta’zir sebab ia memiliki udzur, dan zakat diambil darinya.
Sedangkan jika ia tidak mau menunaikannya karena mengingkari kewajibannya maka ia murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad. Jadi ia diminta bertaubat tiga kali, dan jika ia bertaubat dan kembali maka zakat diambil darinya dan dia dibiarkan, dan jika tidak maka dia dibunuh. Sebab wajibnya zakat telah diketahui termasuk perkara agama –ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah-, dan dalil-dalil wajibnya zakat tampak jelas di al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak dan hampir-hampir tidak tersembunyi bagi seorang pun dari kaum Muslim.
Dan jika ia tidak mau membayar zakat dengan tetap meyakini kewajibannya, maka zakat diambil darinya dengan kekuatan. Jika satu kelompok menolak membayar zakat kepada negara dan mereka menolak menaati negara dalam wajibnya membayar zakat kepada negara dan mereka bertahan di satu tempat dan berlindung di situ maka negara memerangi mereka dengan perang bughat sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat yang bersamanya memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat], selesai.
Jadi orang-orang yang tidak mau membayar zakat yang diperangi oleh Abu Bakar sesuai teks ini, mereka itu adalah bukan orang yang tidak mau membayar zakat karena mengingkari wajibnya. Dan jika tidak, niscaya mereka termasuk orang-orang murtad. Sungguh ada orang di antara orang-orang murtad ketika itu yang mengingkari zakat. Tetapi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, mereka termasuk orang yang masih meyakini wajibnya zakat tetapi mereka tidak menerima untuk membayarnya kepada Abu Bakar, yakni kepada negara, jadi mereka keluar menentang negara sehingga mereka adalah bughat.
Saya berharap perkaranya telah jelas untuk Anda sekarang.
Kedua: jawaban pertanyaan kedua:
Anda bertanya tentang hal berikut di buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah:
[Harta yang Dikuasai dengan Paksa dan Kekuatan PenguasaYakni harta yang dikuasai oleh penguasa, para wali, para ‘amil atau kerabat mereka dan pegawai negara, dari harta atau tanah negara atau dari harta atau tanah orang-orang melalui penindasan, paksaan, dominasi, dengan kekuatan penguasa dan jabatan. Semua harta yang dikuasai dan semua tanah yang dikuasai dari harta dan tanah-tanah negara atau dari harta dan tanah-tanah orang-orang, yakni melalui salah satu cara ini maka dinilai sebagai perolehan yang haram dan tidak dimiliki, sebab diperoleh dengan cara yang tidak sah. Dan semua penguasaan melalui satu cara di antara cara-cara ini dinilai sebagai kezaliman, dan kezaliman adalah haram, dan itu merupakan kegelapan pada hari kiamat, sebagai mana juga dinilai sebagai ghulul dan ghulul itu di neraka. Dari Nabi saw:
«مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئاً بِغَيْرِ حَقٍّ، خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ»
“Siapa saja yang mengambil sesuatu tanah tanpa dibenarkan maka dia dibenamkan dengannya pada hari kiamat ke tujuh lapis bumi”.
Dan dalam satu riwayat:
«مَنْ أَخَذَ شِبْراً مِنَ الْأَرْضِ ظُلْماً، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ» رواه الشيخان
“Siapa saja yang mengambil satu jengkal tanah secara zalim maka dia dibenamkan pada hari kiamat dari tujuh bumi” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dan dari Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda:
«مَنْ ظَلَمَ شِبْراً مِنَ الأَرْضٍ، طَوَّقَهُ اللهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ» متفق عليه
“Siapa saja yang menzalimi satu jengkal tanah niscaya Allah membenamkannya dari tujuh lapis tanah” (Muttafaq ‘alayh).
Harta dan tanah yang dikuaai tersebut jika berasal dari milik orang-orang, jika diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepada mereka, dan jika tidak diketahui pemiliknya maka wajib ditempatkan di Baitul Mal. Adapun jika harta dan tanah itu berasal dari milik negara maka wajib dikembalikan ke Baitul Mal tanpa ada perbedaan pendapat. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz ketika menjabat al-Khilafah mengembalikan semua harta dan tanah yang dikuasai oleh Bani Umayyah melalui kekuatan kekuasaan mereka dari milik orang-orang atau milik negara, dikembalikan ke Baitul Mal kaum Muslim, kecuali yang diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepada mereka.
Umar bin Abdul Aziz melucuti Bani Umayyah dari pemberian mereka, jatah mereka dan semua yang mereka kuasai, sebab ia menilai bahwa mereka memilikinya melalui kekutan penguasa Bani Umayyah dan dengan cara yang tidak sah, tidak boleh dimiliki. Umar bin Abdul Aziz memulainya dari dirinya sendiri. Ia melepaskan semua hartanya, kepemilikannya, semua kendaraannya, parfumnya dan perhiasannya, kemudian ia menjualnya dengan harga dua puluh tiga ribu dinar dan ia tempatkan di Baitul Mal] selesai.
Jelas dari teks ini bahwa pembicaraannya adalah tentang harta yang penguasaan atasnya terjadi melalui paksaan, penindaan, dominasi, dengan kekuatan kekuasan dan jabatan, yakni bahwa orang yang memperoleh harta-harta ini tidak lain dia memperolehnya karena dia pemilik kekuatan dan kekuasaan atau karena dia dekat dari pemilik kekuatan dan kekuasaan, yakni mereka adalah person-person yang memperoleh harta-harta orang dan harta-harta negara disebabkan adanya kekuasaan yang membuat mereka menguasai harta-harta ini.
Adapun kerabat penguasa, jika mereka termasuk orang-orang yang memiliki kebutuhan lalu mereka diberi harta untuk memenuhi kebutuhan mereka sebagaimana diberinya selain mereka dari rakyat yang memiliki kebutuhan dan kekerabatan mereka dari pemilik kekuasaan tidak memiliki suatu bantuan atau masuk dalam pemberian mereka harta tanpa hak, saya katakan jika perkaranya demikian …. maka pemberian ini boleh seperti individu-individu rakyat lainnya yang membutuhkan tanpa mereka yakni kerabat itu diutamakan atas selain mereka disebabkan kekerabatan mereka …
Jika ada keadaan yang perkara di situ samar yang mana tidak tampak dengan jelas jika mereka mendapatkan harta dari negara disebabkan kekerabatan atau kedekatan mereka dari para penguasa dan pejabat atau karena mereka memang berhak untuk itu secara syar’iy. Jika hal itu samar maka perkara mereka diajukan ke Qadha’ Mazhâlim agar memutuskan tentang mereka setelah meneliti realita keadaan, dan keputusan Qadha’ Mazhâlim bersifat mengikat bagi penguasa jika memutuskan keharusan pengembalian apa yang dia berikan kepada mereka sebab itu termasuk bab penguasaan dengan paksa dan kekuatan kekuasaan …).
Ketiga: jawaban pertanyaan ketiga:
Berkaitan dengan bagaimana perlakuan terhadap uang kertas fiat money ketika berdiri al-Khilafah, maka kami telah melakukan studi peraturan pelaksanaan untuk penerapan pasal ad-Dustûr termasuk pasal 166 yang menyatakan: [Pasal 166 – Negara mengeluarkan mata uang khusus yang independen dan tidak boleh terikat dengan mata uang asing apapun]. Dan Pasal 167 yang menyatakan [Mata uang negara adalah emas dan perak yang dicetak atau tidak dicetak. Negara tidak boleh memiliki mata uang selain keduanya. Dan boleh bagi negara mengeluarkan substitusi emas dan perak sesuatu yang lain dengan syarat di kas negara ada emas dan perak yang setara dengannya. Jadi negara boleh mengeluarkan perunggu, tembaga, uang kertas atau yang lainnya dan dicetak atas nama negara sebagai mata uang negara jika negara memiliki substitusi yang setara persis berupa emas dan perak].
Atas dasar itu maka kami akan mengumumkannya pada waktu yang tepat dan hal itu setelah peraturan pelaksaaan itu selesai dari semua aspeknya, insya’a Allah.
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info