(Tafsir QS ‘Abasa [80]: 1-10)
عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى * وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى * أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى * أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى * فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى * وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى * وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى * وَهُوَ يَخْشَى * فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى *
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepada dia. Tahukah kamu, boleh jadi dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepada dirinya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, dia kamu layani. Padahal tidak ada (celaan) atas kamu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepada kamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sementara dia takut kepada (Allah), dia kamu abaikan (QS ‘Abasa [80]: 1-10).
Surat ini dinamakan surat ‘Abasa, diambil dari kata pertama surat ini. Surat ini juga dinamakan surat as-Safarah dan surat ash-Shahhah.1 Jumlah ayatnya ada 42 dan termasuk Surat Makkiyyah. Tidak ada perbedaan pendapat tentang status tersebut.
Sabab an-Nuzûl
Aisyah ra. berkata, “Ayat ‘Abasa wa tawallâ turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta. Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dengan berkata, “Wahai Rasulullah, bimbinglah aku.” Ketika itu di dekat beliau ada salah seorang pembesar kaum musyrik. Lalu Rasulullah saw. berpaling dari dia dan menghadap kepada yang lain (orang musyrik) sambil berkata, “Apakah menurut kamu apa yang aku ucapkan salah?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Karena inilah (ayat tersebut) turun.” (HR at-Tirmidzi).
Menurut Ibnu Katsir, banyak mufassir yang menyebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. pernah berbicara dengan beberapa pembesar kaum Quraisy. Beliau berharap mereka mau memeluk Islam. Ketika beliau tengah berbicara dan mengajak mereka, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum, salah seorang yang masuk Islam pada masa awal. Lalu Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sesuatu seraya mendesak beliau. Nabi saw. sendiri berkeinginan andai saja waktu beliau itu cukup untuk berbicara dengan dia karena beliau memang sangat berharap dan berkeinginan untuk memberi petunjuk kepada dia. Beliau lalu bermuka masam kepada Ibnu Ummi Maktum seraya berpaling dari dia dan menghadap orang lain. Kemudian turunlah firman Allah SWT: ‘Abasa wa tawallâ…2
Hal yang sama juga dikemukakan oleh ‘Urwah bin az-Zubair, Mujahid, Abu Malik, Qatadah, adh-Dhahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lain dari kaum Salaf dan Khalaf, yaitu bahwa surah ini turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum. Yang masyhur, dia bernama ‘Abdullah. Ada juga yang menyebut dia ‘Amr.3 Bahkan menurut asy-Syaukani, para mufassir telah bersepakat tentang sabab nuzûl tersebut.4
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: ‘Abasa wa tawallâ (Dia [Muhammad] bermuka masam dan berpaling). Dhamîr al-ghâyb (kata ganti pihak ketiga) pada ayat ini menunjuk kepada Rasulullah saw. Jadi beliaulah yang diberitakan ayat ini melakukan ‘abasa wa tawallâ. Menurut Fakhruddin ar-Razi, para mufassir sepakat tentang hal ini.5
Kata ‘abasa merupakan bentuk al-fi’l al-mâdhî dari kata al-‘ubûs, artinya quthûb al-wajhi (bermuka masam), dari dada yang sempit. Inilah makna yang terkandung dalam ayat ini.6 Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, ‘abasa bermakna qabadha wajhahu (mengerutkan wajahnya) disebabkan karena tidak suka.7 Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga menafsirkan kata itu sebagai kalaha bi wajhihi (bermuka masam). Dikatakan ‘abasa wa basara. Adapun tawallâ berarti a’radha bi wajhihi (memalingkan wajahnya).8
Tentang penyebab perbuatan Nabi saw. tersebut diterangkan dalam ayat berikutnya: an jâ‘ahu al-a’mâ (karena telah datang seorang buta kepada dia). Kata al-a’mâ berarti orang buta. Menurut ar-Razi, para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud dengan orang buta tersebut adalah Abdullah bin Ummi Maktum.9 Dia adalah anak paman Khadijah binti Khuwailid ra. Bapaknya bernama Qais bin Zaid. Ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya disebut Ummi Maktum karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan buta. Ibnu Ummi Maktum ini termasuk orang-orang yang awal masuk Islam di Makkah. Menurut Syihabuddin al-Alusi, penyebutan Ibnu Ummi Maktum dengan al-a’mâ (orang buta) untuk mengisyaratkan udzurnya orang tersebut dalam hal berani memotong pembicaraan Rasulullah saw. dengan para tokoh.10
Ayat ini berkedudukan sebagai al-maf’ûl li ajlih, objek yang menjadi penyebab terjadinya perbuatan pelakunya.11 Itu artinya, kedatangan seseorang yang buta itulah yang menjadi sebab beliau bermuka masam dan berpaling. Kesimpulan tersebut semakin jelas tatkala memahami sabab an-nuzûl ayat ini.
Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Wamâ yudrîka la’allahu yazzakkâ (Tahukah kamu, boleh jadi dia ingin membersihkan dirinya [dari dosa]). Terjadi pengalihan khithâb pada ayat ini. Setelah dalam ayat sebelumnya Rasulullah saw. disebut sebagai pihak ketiga, dalam ayat ini beliau disebut sebagai pihak kedua. Menurut az-Zuhaili, perubahan ini untuk menambah pengingkaran dan celaan sekaligus mengingatkan Rasulullah saw. tentang pentingnya memberikan perhatian.
Dalam ayat tersebut, Rasulullah saw. diseru dengan istifhâm inkâri (kalimat tanya yang bermakna mengingkari). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, makna ayat ini adalah, “Kamu tidak mengetahui apakah dapat diharapkan darinya keinginan membersihkan diri atau mendapatkan peringatan.”12
Kata yazzakkâ berasal dari kata at-tazkiyyah (membersihkan). Dalam konteks ayat ini, yazzakkâ berarti ingin mendapatkan kesucian dan kebersihan dirinya dari dosa. Demikain menurut Ibnu Katsir.13 Al-Khazin juga berkata, “Menyucikan diri dari dosa-dosa dengan amal shalih dan apa yang engkau ajarkan kepada dia.”14
Menurut al-Qurthubi, “Barangkali dia (Ibnu Ummi Maktum) yazakkâ, yakni ingin membersihkan dirinya dengan al-Quran dan agama yang dia minta untuk diajarkan dalam rangka menambah kesucian agama dan menghilangkan gelapnya kebodohan.”15
Inilah keadaan yang diharapkan terjadi pada orang tersebut.
Lalu ayat ini dilanjutkan dengan ayat berikutnya: aw yadzdzakkaru fa tanfa’ahu al-dzikrâ (atau dia [ingin] mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepada dia?). Kata yadzdzakkaru berasal dari kata adz-dzikr (ingat). Dalam konteks ayat ini, maknanya adalah dia mendapatkan saran dan nasihat agar dia dapat menjauhkan diri dari perbuatan haram.16
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Ammâ man [i]staghnâ (Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup). Kata [i]staghnâ berasal dari kata al-ghinâ yang berarti adam al-hâjât (tidak membutuhkan). Yang dimaksud dengan man [i]staghnâ adalah orang yang memiliki harta dan kekayaan atau orang yang tidak membutuhkan keimanan dan ilmu yang ada padamu.17
Kemudian Allah SWTberfirman: Fa anta lahu tashaddâ (dia kamu layani). Kata tashaddâ merupakan bentuk tafa’ala dari kata ash-shadi, artinya ash-shawt (gema suara), yakni dia tidak memanggil kamu kecuali engkau menjawab dia.18
Artinya, Rasulullah saw melayani mereka dengan menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Tindakan itu dilakukan karena didorong oleh keinginan kuat beliau untuk mengislamkan mereka. Ibnu Katsir berkata “Adapun terhadap orang yang kaya, kamu layani agar dia mendapatkan petunjuk.”19
Imam al-Qurthubi juga berkata, “Rasulullah saw sangat menginginkan keislaman mereka. Dengan keislaman mereka itu diharapkan dapat mengislamkan kaum mereka.”20
Lalu ditegaskan: Wamâ ‘alayka allâ an yazakkâ (Padahal tidak ada [celaan] atas kamu kalau dia tidak membersihkan diri [beriman]). Artinya, tidak ada cela bagi kamu (Muhammad) karena tidak masuk Islamnya orang yang engkau dakwahi. Sebab, kewajibanmu tidak lain kecuali menyampaikan.21
Menurut Abu Hayyan, ayat ini juga mengandung makna: meremehkan urusan orang kafir, meminta berpaling dari orang kafir dan tidak mempedulikan dia.22
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ammâ man jâ‘aka yasy’â, wahuwa yakhsyâ (Adapun orang yang datang kepada kamu dengan bersegera [untuk mendapatkan pengajaran], sedang dia takut kepada [Allah]). Ayat ini kembali berbicara tentang orang yang mendatangi Rasulullah saw. untuk mendapatkan pengajaran dari beliau. Kata yasy’â berarti yamsyî bi sur’ah (berjalan dengan cepat). Adapun yakhsyâ (takut) di sini berarti takut kepada Allah SWT.23
Orang yang disebut ayat ini, menurut asy-Syaukani, adalah orang yang bergegas datang kepada kamu dan meminta kamu agar membimbing dia ke jalan kebaikan dan menasihati dia dengan perintah-perintah Allah SWT.24
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, dia adalah orang buta yang datang kepada kamu dengan bersegara, sedangkan dia takut dan bertakwa kepada Allah SWT.25
Ibnu Katsir juga berkata, “Yang dimaksud ayat ini adalah orang yang datang kepada Rasulullah saw. dan mengikuti beliau untuk mendapatkan petunjuk dari perkataan beliau kepada dia.”26
Lalu disebutkan: fa anta ‘anhu talahhâ (dia kamu abaikan). Makna talahhâ dalam ayat ini adalah tatasâghâla (menyibukkan diri).27 Maksudnya, engkau justru berpaling dari dia, menyibukkan diri dengan orang lain, dan mengabaikan dia.28
Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw pun menghormati dia dan mengajak dia bicara, lalu bertanya, “Apa keperluanmu? Apakah engkau menginginkan sesuatu?” Ketika ia beranjak dari beliau, beliau pun berkata, “Apakah engkau memerlukan sesuatu?” 29
Sejak ayat itu turun, Rasulullah saw. amat memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bahkan Nabi saw pernah mempercayakan sejumlah posisi penting kapada Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi pergi berperang, sekitar 10 kali beliau meminta Ibnu Ummi Maktum untuk menggantikan beliau menjadi pemimpin di Madinah.
Beberapa Pelajaran Penting
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Beberapa di antaranya: Pertama, tingginya akhlak dan derajat Rasulullah saw. Sebagaimana diceritakan dalam sabab nuzûl ayat ini, ketika beliau sedang melakukan pembicaraan dengan para tokoh Quraisy dan mengajak mereka masuk Islam, tiba-tiba datang Abdullah bin Ummi Maktum dan menyela pembicaraan. Dalam tata pergaulan, sebenarnya tindakan Ibnu Maktum dapat dianggap tidak sopan. Meski demikian, Rasulullah saw tidak menegur, menghardik atau mengusir dia. Bahkan tidak ada satu pun yang keluar dari lisan beliau. Beliau hanya bermuka masam dan berpaling dari dia. Tindakan ini sebenarnya tidak diketahui oleh Ibnu bin Ummi Maktum. Tidak ada yang salah pada perbuatan Nabi saw. Akan tetapi, beliau sudah mendapatkan teguran halus dari Allah SWT. Itu menunjukkan betapa sempurnanya akhlak Rasulullah saw. yang senantiasa dijaga Allah SWT dari semua kesalahan.
Tingginya derajat Rasulullah saw. juga ditunjukkan oleh halusnya teguran dari Allah SWT kepada beliau. Dalam ayat ini, nama beliau tidak disebut secara langsung; atau tidak ada kalimat yang berisi larangan secara langsung terhadap perbuatan yang beliau lakukan. Tidak pula dikatakan: Abasta wa tawallayta (Kamu bermuka masam dan berpaling). Menurut Imam al-Qurtthubi, ini demi mengagungkan Nabi saw.30
Patut ditandaskan, perbuatan Rasulullah saw. tersebut bukan menyalahi hukum syariah sehingga mencedarai sifat ma’shûm beliau. Itu juga bukan berarti menunjukkan bahwa beliau boleh melakukan ijtihad atas suatu hukum, dan ketika terjadi kesalahan kemudian ada koreksi dari Allah SWT. Sama sekali tidak demikian. Sebab, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan dan mengajarkan Islam. Beliau telah melaksanakan tugas menyampaikan Islam. Ketika beliau berpaling dari orang yang meminta pengajaran karena pada saat yang bersamaan beliau juga sedang melakukan tablig, tindakan yang utama (min bâ al-awlâ) adalah mengajari Ibnu Ummi Maktum sesuai dengan permintaannya. Akan tetapi, beliau tidak memenuhi permintaannya. Lalu ditegur oleh Allah karena perbuatan tersebut. Berpalingnya Rasulullah saw. dari Ibnu Ummi Maktum adalah tindakan khilâf al-awlâ (menyalahi yang utama) sehingga Allah SWT menegur perbuatan beliau.31
Kedua, pengemban dakwah tidak dituntut hingga berhasil. Yang wajib adalah dalam melakukan dakwah harus serius, sungguh-sungguh dan mengerahkan segala daya upaya. Ketika sudah ditunaikan, gugurlah kewajiban itu. Pengemban dakwah tidak dimintai pertanggungjawaban atas orang yang tetap menolak dakwah. Dalam ayat ini ditegaskan: Wamâ ‘alayka allâ an yazakkâ (tidak ada [celaan] atas kamu kalau dia tidak membersihkan diri).
Ketiga, dakwah wajib ditujukan kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan status sosial, kekayaan, jenis kelamin, dan lain-lain. Menurut Ibnu Katsir, inilah yang diperintahkan Allah SWT kepada Rasulullah saw. dalam ayat-ayat ini.32
Meskipun demikian, ayat ini menunjukkan prioritas orang yang lebih didahulukan ketika terjadi benturan waktu. Orang-orang yang memiliki minat yang lebih besar terhadap dakwah, bersemangat mencari kebenaran, dan keinginan memperbaiki diri—sekalipun dari kalangan dhu’afâ’—lebih didahulukan dibandingkan dengan orang yang sudah merasa cukup dan tidak perlu beriman sekalipun dari kalangan kaya dan berada.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 241. Lihat juga: asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 462.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 319.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 462.
- Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 53.
- Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 522.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 217.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 211.
- Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 53.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 241.
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 462.
- Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 251.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319
- Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 394.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 212.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319.
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 463.
- Al-‘Ukbari, al-Tibyân fî I’râb al-Qur`ân, vol. 2 (tt: Isa al-Baba al-Halbi, tt), 1271.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 212.
- Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 53. Lihat juga dalam al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 517.
- Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth,
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215.
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 463.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 220.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319.
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 463.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 220.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 218.
- Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19.
- An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 153-154
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 319Ò