Di antara jenis majâz yang dijelaskan oleh para ulama adalah al-isti’ârah. Kata isti’ârah secara bahasa bermakna thalab asy-syay‘i ‘âriyat[an] (meminta sesuatu dalam bentuk pinjaman). Artinya, isti’ârah secara bahasa maknanya adalah meminjam sesuatu.
Kata al-isti’ârah lalu digunakan sebagai istilah untuk menyebut salah satu jenis majaz, yaitu penggunaan suatu lafal dengan makna selain makna aslinya. Majaz isti’ârah ini pada dasarnya disusun dengan meminjam lafal asal untuk digunakan dengan makna baru yang berbeda dengan makna asal karena adanya keserupaan (al-musyabbahah) makna asal dengan maknanya yang baru.
Jadi dalam al-isti’ârah itu ada konteks penyerupaan (tasybîh). Di dalamnya ada unsur al-musyabbah (yang diserupakan), al-musyabbah bihi (yang diserupai), aspek keserupaan (wajhu asy-syabbah).
Hanya saja, majaz al-isti’ârah berbeda dengan majaz at-tasybîh. Perbedaannya, di dalam al-isti’ârah, wajhu asy-syabbah (aspek keserupaan) dan adat at-tasybîh (alat penyerupaan) tidak boleh disebutkan. Jika keduanya atau salah satunya disebutkan maka bukan al-isti’ârah melainkan at-tasybîh. Jadi di dalam al-isti’ârah itu penyerupaan sedemikian kuat. Bahkan al-musyabbah bihi (yang diserupai) itu dianggap al-musyabbah (yang diserupakan) itu sendiri sehingga hanya disebutkan al-musyabbah bihi menggantikan al-musyabbah yang tidak disebutkan.
Jadi al-isti’ârah itu adalah majaz yang dibangun di atas penyerupaan (tasybîh) tanpa disebutkan alat penyerupaan (âdat at-tasybîh) dan aspek keserupaan (wajhu asy-syabbah)-nya. Di dalam al-isti’ârah itu harus ada: Pertama, al-musta’âr minhu, yaitu al-musyabbah bihi. Kedua, al-musta’âr lahu, yaitu al-musyabbah. Kedua unsur ini disebut tharfâ al-isti’ârah. Ketiga, al-musta’âr yaitu lafal yang dialihkan.
Contoh penggunaan al-isti’ârah ada dalam firman Allah SWT:
الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ ١
Alif, lam ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji (QS Ibrahim [14]: 1).
Di sini kata azh-zhulumât dipinjam untuk mengungkapkan kesesatan dan kata an-nûr dipinjam untuk mengungkapkan petunjuk. Jadi yang dimaksudkan adalah mengeluarkan manusia dari kesesatan menuju petunjuk. Kata azh-zhulumât dipinjam untuk menjelaskan kesesatan karena adanya keserupaan (al-musyabbahah) di antara keduanya. Begitu juga kata an-nûr dipinjam untuk menjelaskan petunjuk karena adanya keserupaan (al-musyabbahah) di antara keduanya.
Ragam Al-Isti’ârah
- Al-Isti’ârah at-Tashrîhiyyah
Al-Isti’ârah at-Tashrîhiyyah itu jika di dalam isti’ârah itu terjadi tashrîh al-musyabbah bihi, yakni pernyataan al-musyabbah bihi secara gamblang, sementara al-musyabbah tidak disebutkan. Di sini, secara berlebihan dianggap seolah-olah al-musyabbah bihi itu adalah al-musyabbah itu sendiri. Contohnya dalam QS Ibrahim [1]: 1 di atas. Secara gamblang disebutkan kata azh-zhulumât dan an-nûr yang merupakan al-musyabbah bihi untuk menggantikan adh-dhalâl (kesesatan) dan al-hudâ (petunjuk) yang menjadi al-musyabbah.
Contoh lain ada dalam firman Allah SWT:
وَإِنۡ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ مَّكَانَ زَوۡجٖ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيْئًا ۚ أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ٢٠ وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١
Jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain, sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta itu sedikitpun. Apakah kalian akan mengambil kembali harta itu dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kalian akan mengambil kembali harta itu, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat (QS an-Nisa’ [4]: 20-21).
Frasa mîtsâq[an] ghalîzh[an] di sini dipinjam untuk menjelaskan akad nikah. Disebutkan mîtsâq[an] ghalîzh[an] yang merupakan al-musyabbah bihi untuk mengungkapkan akad nikah yang merupakan al-musyabbah.
- Al-Isti’ârah al-Makniyah
Maknun artinya tersembunyi. Dalam isti’ârah makniyyah, al-musyabbah bihi disembunyikan dan ditunjukkan atau dilambangkan dengan sifatnya yang dominan. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:
وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ ٢٤
Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya (orangtua) dengan penuh kesayangan (QS al-Isra’ [17]: 24).
Di sini, adz-dzull (kerendahan) diserupakan dengan burung yang punya sayap, kemudian burung disembunyikan dan disimbolkan dengan sifatnya yang dominan, yakni sayap. Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, jadi ini merupakan isti’ârah tentang belas kasih dan kasih sayang kepada kedua orangtua dan merendahkan diri kepada keduanya seperti sikap ketundukan rakyat kepada pemimpin dan pembantu kepada tuan (Tafsîr al-Munîr).
- Al-Isti’ârah at-Takhyîliyah
Al-Isti’ârah at-takhyîliyah jika suatu lafal dipinjam untuk menunjuk pada hakikat khayaliyah (fakta imajiner) yang diimajinasikan di dalam benak kemudian diikuti dengan penyebutan al-musta’âr lahu untuk menjelaskan (îdhâhan) atau mengenalkan (ta’rîfan) keadaannya. Isti’ârah takhyîliyah itu menetapkan eksistensi al-musyabbah bihi bagi al-musyabbah sehingga pihak yang diseru membayangkan (mengimajinasikan) al-musyabbah itu sejenis dengan al-musyabbah bihi. Ciri dalam isti’ârah takhyîliyah adalah menetapkan sesuatu ada pada al-musyabbah secara imajinatif, padahal pada hakikatnya sesuatu itu tidak ada. Hasilnya, orang yang diseru akan mengimajinasikan al-musyabbah memiliki sifat atau perilaku seperti al-musyabbah bihi. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:
إِذَآ أُلۡقُواْ فِيهَا سَمِعُواْ لَهَا شَهِيقٗا وَهِيَ تَفُورُ ٧ تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ٱلۡغَيۡظِۖ كُلَّمَآ أُلۡقِيَ فِيهَا فَوۡجٞ سَأَلَهُمۡ خَزَنَتُهَآ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٞ ٨
Jika mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedangkan neraka itu menggelegak, hampir saja (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah (QS al-Mulk [67]: 7-8).
Di sini ada frasa syahîq wa hiya tafûr (berteriak keras dan dia amat kasar) dan frasa tamayyaza min al-ghayzh (meledak-ledak karena marah, yakni meradang atau ngamuk). Keduanya merupakan sifat atau perilaku manusia, lalu dipinjam untuk menggambarkan keadaan neraka. Dengan begitu orang mengkhayalkan neraka layaknya manusia kasar yang sedang sangat marah, meradang dan ngamuk, untuk menggambarkan betapa mendidih dan bergejolaknya neraka dan sebagai ungkapan berlebihan atas siksa yang ditimpakan.
Contoh lain ada dalam firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّئَاتِۚ
Sungguh perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk (QS Hud [11]: 114)
Juga ada dalam sabda Rasul saw.:
… وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا …
..dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim dan al-Baihaqi).
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ, فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
Jauhilah sifat dengki, sebab dengki itu memakan kebaikan seperi api memakan kayu (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan Abdu bin Humaid).
Kebaikan jelas tidak bisa melakukan perbuatan menghilangkan atau menghapus. Dengki tidak mungkin melakukan perbuatan makan. Semua itu adalah perbuatan manusia, lalu dipinjam untuk mengungkapkan makna yang dimaksud. Dengan begitu diimajinasikan perbuatan itu terjadi dari kebaikan dan dengki.
- Al-Isti’ârah at-Tamtsîliyah
Isti’ârah tamtsîliyah merupakan majaz murakkab (berupa susunan kata) yang digunakan tidak pada makna aslinya. Majaz ini digunakan untuk menunjuk makna yang menyerupai karena adanya aspek keserupaan yang diambil dari berbagai perkara yang mana al-musyabbah termasuk dalam jenis al-musyabbah bihi. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:
وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ١٢
Janganlah kamu menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik padanya (QS al-Hujurat [49]: 12).
Di sini, perilaku meng-gibah saudara diserupakan dengan memakan daging mayat saudara. Ini untuk menyatakan betapa keji dan tercela perbuatan itu dengan deskripsi paling buruk sehingga memberikan impresi luar biasa.
- Al-Isti’ârah at-Tahakkumiyah
Ini merupakan bentuk ‘inâdiyah (pertentangan) dengan meminjam lafal yang memiliki makna berlawanan dengan yang diungkapkan sebagai bentuk tahakkum (kontrol) dan istihzâ` (ejekan). Contoh, farasa basysyirhum bi ‘adzâb[in] (beri mereka berita gembira dengan azab) terhadap orang munafik, orang zalim atau orang yang melakukan kemaksiatan tertentu.
Inilah di antara klasifikasi majâz al-isti’ârah yang utama. Al-Isti’ârah ini bisa sangat meluaskan penggunaan kalam dan memberikan impresi yang luar biasa.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]