memahami ijmak

Ijmak

Al-Ijmâ’ (ijmak) berasal dari kata ajma’a–yujmi’u–ijmâ’[an]. Secara bahasa memiliki dua makna. Pertama, bermakna azam (tekad) dan ketetapan hati atas sesuatu. Makna itu misalnya dinyatakan di dalam firman Allah SWT:

فَأَجۡمِعُوٓاْ أَمۡرَكُمۡ ٧١

Karena itu bulatkanlah keputusan kalian (QS Yunus [10]: 71).

Juga dalam sabda Rasul saw.:

مَنْ لَمَْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَه

Siapa saja yang tidak membulatkan tekad (berniat) puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa untuk dirinya (HR Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).

Kedua, bermakna al-ittifâq (kesepakatan). Makna ini misalnya ada dalam sabda Rasul saw. kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra.:

لَوِ اجْتَمَعْتُمَا فِى مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا

Andai kalian berdua bersepakat dalam suatu musyawarah, tentu aku tidak menyalahi kalian berdua (HR Ahmad).

Adapun menurut istilah pada ulama ushul, al-ijma’ (ijmak) adalah kesepakatan atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah. Dengan ungkapan lain, ijmak merupakan kesepakatan bahwa hukum syariah atas suatu masalah yang terjadi adalah begini.

Persoalannya, ijmak siapakah yang menjadi dalil syariah? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat, yang menjadi dalil syariah adalah ijmak umat Muhammad. Maksudnya adalah ijmak para fukaha mereka,  bukan ijmak kaum awam. Ada yang berpendapat, yang menjadi dalil syariah adalah ijmak penduduk Madinah. Ada yang mengatakan ijmak ahlul bait. Ada yang mengatakan ijmak ahlul halli wal ‘aqdi. Ada yang mengatakan ijmak para mujtahid. Ada pula yang mengatakan, yang menjadi dalil syariah adalah ijmak para sahabat Nabi saw. Di antara pendapat tersebut, yang disepakati tanpa ada perbedaan pendapat, ijmak yang menjadi dalil syariah adalah Ijmak Sahabat. Selain Ijmak Sahabat tidak menjadi ittifâq (kesepakatan). Di situ ada perbedaaan pendapat tentang keberadaannya sebagai dalil syariah.

Dari definisi ijmak (al-ijmâ’) menurut para ulama ushul, jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah ijmak yang menjadi dalil syariah. Dalil syariah adalah apa yang dinyatakan di dalam al-Quran atau as-Sunnah, yakni apa yang dibawa oleh wahyu, bukan yang dibawa oleh selain wahyu. Ini berarti bahwa ijmak yang berposisi sebagai dalil syariah adalah ijmak yang mengungkap atau merepresentasikan adanya dalil. Hanya saja, dalil itu tidak diriwayatkan. Pasalnya, semua orang yang berijmak atau bersepakat itu sama-sama mengetahui dalil itu tetapi tidak mereka ucapkan, dan memang tidak ada perlunya mereka ucapkan karena mereka semuanya sama-sama mengetahui dalil itu.

Kaum yang tercapai pada mereka bahwa ijmak mereka itu mengungkapkan dalil dari as-Sunnah adalah orang-orang yang bersahabat dengan Rasul saw., mendengar dan melihat beliau. Artinya, ijmak yang mengungkapkan dalil adalah ijmak sahabat. Adapun selain para sahabat, maka ijmak mereka tidak mengungkapkan dalil yang tidak mereka ucapkan. Sebab mereka tidak bersahabat dengan Rasul saw. dan tidak melihat beliau.

Ditambah lagi, dalil syariah itu harus didukung dengan dalil yang bersifat qath’i.  Dalil bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil syariah adalah sebagai berikut:

Pertama, di dalam al-Quran dan al-Hadis banyak pujian kepada para sahabat secara mutlak tanpa disertai batasan. Allah SWT berfirman:

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar (QS at-Taubah [9]: 100).

Masih banyak  ayat-ayat lainnya yang berisi pujian kepada para sahabat. Juga terdapat banyak hadis dari Rasul saw. yang memuji para sahabat secara keseluruhan. Pujian-pujian dari Allah SWT dan dari Rasul saw. itu menunjukkan ucapan para sahabat dijadikan patokan dan kejujuran mereka merupakan perkara yang dipastikan. Memang, semata-mata pujian itu bukanlah dalil bahwa ijmak mereka merupakan dalil syariah. Namun demikian, pujian itu merupakan dalil bahwa kejujuran atau kebenaran mereka bisa dipastikan. Karena itu jika ucapan para sahabat dijadikan sebagai patokan, itu merupakan perkara yang bisa dipastikan. Karena itu pula jika mereka berijmak atas suatu perkara maka ijmak mereka itu merupakan ijmak yang bisa dipastikan kebenarannya.

Betul, dalam ayat di atas  juga terdapat pujian kepada tâbi’in. Namun, berbeda dengan pujian kepada sahabat yang tanpa disertai batasan, pujian kepada tâbi’in disertai dengan batasan (taqyîd). Allah SWT menyatakan “walladzîna [i]ttaba’ûhum bi ihsân[in]”. Jadi pujian itu tidak diberikan kepada tâbi’in secara mutlak. Oleh karena itu ucapan semua tâbi’in tidak bisa dipastikan kebenarannya, melainkan hanya ucapan tâbi’in yang mengikuti sahabat bi ihsân (dengan baik). Karena itu jika para tâbi’in berijmak atas satu perkara maka ijmak mereka itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Dengan demikian ijmak tâbi’in tidak bukan merupakan dalil syariah.

Demikian pula pujian kepada yang lain, baik ahlul bait, sebagian individu sahabat, pujian kepada umat Muhammad, dan yang lainnya. Semuanya dinyatakan dalam nas yang zhanni, baik dari sisi dilâlah (makna)-nya, seperti pujian kepada ahlul bait, atau dari sisi tsubût (sumber)-nya seperti pujian kepada sebagian individu sahabat. Jadi ijmak mereka tidak bisa menjadi dalil syariah. Sebab penetapan dalil syariah harus dengan dalil qath’i.

Kedua, para sahabat adalah orang-orang yang mengumpulkan, menghapal dan menjaga al-Quran. Merekalah yang menukilkan al-Quran kepada kita. Allah SWT berfirman:

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩

Sungguh Kamilah Yang menurunkan al-Quran dan sungguh Kami adalah Pemeliharanya (QS al-Hijr [15]: 9).

Al-Quran yang dinukil oleh para sahabat sama persis dengan yang dipelihara oleh Allah SWT. Jadi ayat tersebut menunjukkan kebenaran ijmak mereka dalam menukilkan al-Quran sebab Allah SWT telah berjanji memelihara al-Quran. Para sahabatlah yang mengumpulkan, memelihara dan menukilkan al-Quran sebagaimana yang diturunkan. Hal itu menjadi dalil kebenaran ijmak mereka.

Ketiga, secara akal tidak mustahil para sahabat bersepakat atas kesalahan sebab mereka tidaklah ma’shûm. Namun, secara syar’i, mustahil para sahabat bersepakat atas kesalahan. Pasalnya, andai ijmak mereka bisa salah, niscaya juga bisa salah dalam beragama. Alasannya, karena merekalah yang menukilkan agama ini kepada kita melalui ijmak mereka bahwa agama ini adalah yang dibawa oleh Muhammad saw. Dari para sahabatlah kita mengambil agama kita. Andai ijmak mereka bisa salah, niscaya al-Quran juga bisa salah. Sebabnya, merekalah yang menukilkan al-Quran kepada kita dengan ijmak mereka bahwa al-Quran ini adalah sama persis dengan yang diturunkan kepada Muhammad saw. Dari para sahabat pula kita mengambil al-Quran. Karena itu ijmak sahabat, secara syar’i, mustahil salah.

Keempat, Ijmak Sahabat itu kembali pada nas syariah. Mereka tidak berijmak atas satu hukum kecuali jika mereka memiliki dalil syariah, berupa as-Sunnah, yang mereka jadikan sandaran. Dengan demikian ijmak mereka itu mengungkapkan dalil. Ini hanya terpenuhi pada sahabat, tidak pada selain sahabat. Sebab mereka menyertai Rasul saw. Dari mereka pula kita mengambil agama kita. Dengan demikian ijmak mereka merupakan hujjah. Sebab para sahabat tidak berijmak atas sesuatu kecuali mereka memiliki dalil syariah atas hal itu, tetapi tidak mereka riwayatkan karena mereka sama-sama mengetahuinya.

Dengan demikian Ijmak Sahabat merupakan dalil syariah karena sifatnya yang merepresentasikan dalil, bukan karena sifatnya sebagai pendapat mereka. Jadi kesepakatan para sahabat yang menjadi dalil syariah adalah kesepakatan mereka bahwa hukum atas suatu perkara itu merupakan hukum syariah, atau kesepakatan mereka bahwa hukum syariah dalam suatu perkara yang terjadi adalah begini, atau hukum kejadian si Fulan secara syar’i adalah begini.

Jadi Ijmak Sahabat yang mu’tabar sebagai dalil syariah adalah kesepakatan mereka atas suatu hukum bahwa itu merupakan hukum syariah. Ijmak mereka itu mengungkapkan adanya dalil syariah untuk hukum itu. Mereka meriwayatkan hukum, tetapi dalilnya tidak mereka riwayatkan. Semua itu merupakan dalil qath’i bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil syariah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Check Also

hadis yang ditolak

Hadis yang Ditolak

Secara garis besar, hadis ada dua klasifikasi. Pertama: Al-Hadîts al-maqbûl, yakni hadis yang diterima, yang dijadikan dalil …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.