Dropshipper adalah orang yang melakukan jual beli dengan sistem dropshipping, yaitu sistem jual beli yang memungkinkan dropshipper menjual barang secara langsung dari supplier/toko tanpa harus menstok/membeli barangnya terlebih dulu. Mekanismenya: dropshipper menawarkan barangnya (biasanya secara on line) kepada pembeli, bermodalkan foto barang dari supplier/toko, disertai deskripsi barang tersebut, dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper sendiri. Setelah ada kesepakatan, pembeli mentransfer uang ke rekening dropshipper, lalu dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pembeli) dengan memberikan data-data pembeli (nama, alamat, nomor ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan oleh dropshipper dikirim oleh supplier langsung ke pembeli, dengan nama pengirim tetap atas nama dropshipper, bukan atas nama supplier. Jadi, intinya ada tiga pihak dalam dropshipping; dropshipper, supplier, dan pembeli.
Secara umum, model kerja sama antara dropshipper dan supplier/toko ada dua model: Pertama, supplier memberikan harga ke dropshipper, lalu dropshipper menjual barang dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipper. Kedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.
Hukum syariah untuk aktivitas dropshipping di atas menurut kami sbb :
Pertama, dropshiping model pertama, yaitu dropshipper berlaku sebagai penjual karena menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat jual beli salam (bai’ as salam). Jadi di sini diterapkan hukum bolehnya jual beli salam (bai’ as salam) antara dropshipper dan pembeli. Selama memenuhi syarat-syarat jual beli salam, transaksi sebagai dropshipper adalah sah secara syar’i.
Jual beli salam adalah jual beli pada barang yang belum dimiliki penjual pada saat akad dengan pembayaran uang di depan sedang barang diserahkan belakangan. Dalil bolehnya bai’ as salam antara lain riwayat Ibnu Abbas RA bahwa, ”Nabi SAW datang ke Madinah sedang mereka [orang-orang Madinah] melakukan salaf (jual beli salam) pada buah-buahan untuk jangka waktu satu atau dua tahun.” (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293).
Jika pembeli membayar harga di depan secara keseluruhan kepada dropshipper, jual belinya sah. Adapun jika harga dibayar belakangan (setelah barang diterima), atau dibayar dengan sebagian harga, atau dibayar dengan sistem DP (uang muka), jual belinya tak sah. (Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mua’shirah, hlm. 48).
Namun perlu diketahui, jenis barang yang boleh dijualbelikan dalam jual beli salam bukanlah semua macam barang, melainkan barang-barang tertentu, yaitu barang yang ditimbang (al makiil), ditakar (al mauzun), dan dihitung (al ma’duud), semisal bahan-bahan pangan, seperti beras, gula, dsb. Adapun barang-barang yang tak ditimbang, ditakar, dan dihitung, seperti tanah, rumah, dan mobil, tak boleh dijualbelikan secara jual beli salam (bai’ as salam), melainkan dengan jual beli kontan (cash and carry), atau jual beli kredit (bai’ ad dain), yaitu barang diserahkan di depan, uang dibayar belakangan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293; Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 57).
Kedua, dropshiping model kedua, yaitu dropshipper tak berlaku sebagai penjual karena tak menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat akad samsarah (perantara jual beli), yang memang dibolehkan syariah. (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fil Islam, hlm.226). Jadi di sini dropshipper adalah seorang simsar (perantara) antara pembeli dengan supllier/toko. Implikasinya, barang yang dikirim wajib diatasnamakan supplier, tidak boleh diatasnamakan dropshipper. Demikian pula dropshipper tak boleh mencari perantara lagi (kadang disebut reseller), karena ini bertentangan dengan hukum samsarah. Wallahu a’lam. [KH. Shiddiq Al-Jawi]