halalkah murabahah

Halalkah Murabahah?

Soal:

Bagaimana status murabahah: halal ataukah haram? Misal, seseorang ingin membeli tanah, sementara dia tidak punya dana. Dia datang kepada orang lain, atau bank, dan berkata, “Aku ingin membeli tanah, tetapi aku tidak punya dana.” Orang atau bank tersebut menjawab, “Aku akan beli atas namaku, lalu aku jual kepada kamu dengan harga plus margin (laba) yang lebih dengan jangka waktu tertentu.” Kesepakatan seperti ini boleh atau tidak? Apakah jumlah tambahan dari harga tanah itu termasuk riba ataukah keuntungan?

Jawab:

Sebelum membahas status hukumnya, boleh-tidaknya, penting untuk dipahami makna dan konotasi murabahah, baik secara harfiah maupun istilah, di kalangan fuqaha’.

Pertama: Murabahah secara harfiah diambil dari ar-ribh (keuntungan), atau an-nama’ fi at-tajr (tambahan dalam jual-beli). Disebut murabahah jika seseorang menjual barang dengan keuntungan; misalnya, tiap 10 dirham mendapatkan 1 dirham. Begitu juga membeli dengan murabahah, yaitu pembelian yang dilakukan dengan keuntungan.1

Kedua: menurut istilah, Imam Malik mendefinisikan murabahah dengan, “Keuntu-ngan yang disebutkan atas sejumlah harga, atau dia mendapatkan keuntungan untuk 1 dirham dengan 1 dirham yang lain; 1 dirham mendapat-kan ½ dirham yang lain; 10 dirham dengan 11 dirham yang lain, atau kurang atau lebih.” 2

Ibn ‘Abidin, mazhab Hanafi, menyatakan, “Apa yang dia miliki, dengan harga yang sama disertai kelebihan.” 3

Al-Bujairimi, dari mazhab Syafii, menyatakan, “Murabahah adalah jual-beli dengan harga sepadan atau yang sama disertai keuntungan yang dibagi beberapa bagian.”4

Ibn Qudamah, mazhab Hambali, menyatakan, “Ketika dia menjual barang dengan keuntungan sehingga dia bisa mengatakan, “Modal saya 100, saya jual kepada Anda dengan modal ditambah keuntungan 10.” 5

Inilah makna dan konotasi murabahah menurut para fuqaha’. Dilihat dari definisi ini, fakta murabahah sebenarnya adalah fakta jual-beli. Dengan demikian dalam murabahah ini seharusnya berlaku satu rukun jual-beli, yaitu ijab-qabul; bisa dilakukan secara lisan, atau ta’athi.6 Contoh: jual-beli di minimarket atau supermarket manakala konsumen bisa membeli barang dan membayar di kasir berdasarkan harga yang sudah dia ketahui pada lebel yang tertempel. Di dalamnya juga berlaku syarat-syarat jual-beli, baik secara umum maupun khusus.

Ketiga: rukun dan syarat murabahah berarti rukun dan syarat jual-beli. Tentang rukun, telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ijab-qabul, baik secara lisan maupun ta’athi. Adapun tentang syarat, maka berlaku syarat-syarat umum, sebagai berikut:

1- Syarat in’iqad dalam jual-beli, yaitu syarat yang terkait dengan rukun akad (ijab-qabul): (1) majelis akadnya satu; (2) kesesuaian antara ijab dan qabul; (3) syarat orang yang melakukan akad yaitu berakal, lebih dari satu pihak; (4) syarat barang yang diakadkan yaitu: harus ada (maujud), berupa harta yang mempunyai nilai, menjadi milik sendiri, bisa diserahkan saat akad, dimiliki penjualnya saat akad, dan mempunyai nilai.

2- Syarat shihhah dalam jual-beli yaitu: adanya kerelaan, barang yang dijual bisa diserahkan, tidak membahayakan diri penjualnya, barang dan harganya jelas sehingga bisa terhindar dari sengketa, serta bebas dari syarat-syarat merusak lainnya.

3- Syarat nafadz dalam jual-beli yaitu: barang yang dijual dimiliki penjual, dia mempunyai kewenangan untuk men-tasharruf-kan barang tersebut, barang yang dijual bukan hak orang lain.

4- Syarat luzum dalam jual-beli yaitu: jual-beli tersebut bebas dari khiyar (antara memilih dilanjutkan atau dibatalkan jual-belinya), seperti khiyar ru’yah, khiyar ‘aib, khiyar syarath, khiyar ta’yin.

5- Syarat tamam dalam jual-beli yaitu: syarat serah-terima (qabdh).7

Adapun terkait syarat khusus dalam murabahah digambarkan oleh para fuqaha’ sebagai berikut:

1- Mengetahui harga awal (modal) penjual;

2- Jual-beli yang pertama sah;

3- Keuntungan yang diperoleh pejualnya jelas;

4- Mengetahui keadaan barang yang dijual, baik yang menjadi ciri khasnya atau yang umumnya tidak disukai;

5- Mengetahui deskripsi harga. Jika harga tersebut menggunakan dirham, berapa Dirham? Jika menggunakan dinar, berapa dinar? Jika barter, jelas barang yang dijadikan barter. Jika dicicil, jelas cicilannya.

6- Selamat dari pengkhianatan, semi pengkhianatan, atau klaim pihak lain, karena ini merupakan jual-beli amanah.8

Keempat: dari aspek implementasi murabahah, baik yang terkait dengan syarat-syarat umum maupun khusus, bisa dipilah sebagai berikut:

Pertama: Praktik Murabahah perorangan, sebagaimana yang ditanyakan di atas bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan praktik murabahah yang dijalankan oleh perbankan.

Dalam konteks perorangan ini, praktik murabahah inilah yang dijelaskan oleh Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah, dalam Soal-Jawab-nya. Beliau memasukkan praktik murabahah di sini sebagai muamalah yang haram karena telah melakukan dua akad dalam satu transaksi; saat keduanya saling dipersyaratkan satu sama lain. Misal, kita tidak boleh melakukan kesepakatan, “Saya membeli mobil Anda, tetapi Anda harus beli tanah saya.” Ini tidak boleh. Masing-masing akad tersebut harus dipisahkan dan dilaksanakan sesuai ketentuan syariahnya, tanpa disyaratkan dengan akad lain.

Imam Ahmad mengeluarkan riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya yang berkata:

نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَة

Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu transaksi.

Ini artinya, dua akad tidak boleh disatukan dalam satu akad. Seperti seseorang berkata, “Aku jual rumahku ini kepadamu dengan ketentuan aku jual rumahku yang lain dengan sekian…” Ini tidak sah. Pasalnya, ucapannya, “Aku jual rumahku,” adalah akad. Lalu ucapannya, “dengan ketentuan engkau jual rumahmu kepadaku,” merupakan akad kedua. Keduanya dijadikan dalam satu akad. Ini tidak boleh.

Pertanyaan di atas jatuh dalam keharaman ini. “Anda sepakat dengan dia agar dia membeli tanah dari pemiliknya secara kontan. Lalu dia akan menjual tanah itu kepada Anda setelah jangka waktu tertentu dengan harga yang lebih tinggi.” Keduanya adalah akad yang saling dipersyaratkan satu sama lain. Ini tidak boleh. Masing-masing wajib dilaksanakan sendiri-sendiri tanpa dipersyaratkan dengan akad yang lain.9

Kedua: Praktik murabahah dalam perbankan lebih kompleks daripada praktik murabahah perorangan di atas. Ini tampak dalam fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai berikut:

1) Ketentuan umum tentang pembiayaan murabahah:

Pertama: Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. Kedua: Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam. Ketiga: Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. Keempat: Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Pembelian ini harus sah dan bebas riba. Kelima: Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Keenam: Bank menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Ketujuh: Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Kedelapan: Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. Kesembilan: Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual-beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

2)  Fatwa ini juga menjelaskan ketentuan murabahah kepada nasabah:

Pertama: Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank. Kedua: Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dulu aset yang dia pesan secara sah dengan pedagang. Ketiga: Bank menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli) aset tersebut sesuai dengan janji yang telah dia sepakati karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual-beli. Keempat: Dalam jual-beli ini bank boleh meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Kelima: Jika nasabah menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. Kelima: Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. Keenam: Jika uang muka memakai kontrak ‘arbun sebagai alternatif dari uang muka maka: (a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga; (b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut. Jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

3) Fatwa ini juga menjelaskan jaminan dalam murabahah yang diberikan oleh nasabah:

Pertama: Jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Kedua: Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

4) Karena status akad murabahah ini adalah utang, maka fatwa ini juga menjelaskan status utang dalam murabahah:

Pertama: Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. Kedua: Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. Ketiga: Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

5) Sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang, maka fatwa ini juga menjelaskan tentang penundaan pembayaran dalam murabahah:

Pertama: Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. Kedua: Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Bahkan fatwa ini juga telah menjelaskan klausul kebangkrutan nasabah yang masih terikat dengan pembiayaan murabahah. Dijelaskan, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.10

Dari beberapa fakta hukum yang dinyatakan dalam fatwa di atas, ada beberapa catatan:

a- Hukum murabahah yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya berdiri di atas fakta jual-beli yang dilakukan dengan hutang dan cicilan, bukan pembiayaan. Nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual. Karena itu seluruh ketentuan yang berlaku di dalam jual beli dan utang-piutang berlaku dalam Akad murabahah ini. Misalnya, tidak boleh jual-beli terhadap barang yang belum dimiliki; termasuk hak khiyar dalam jual-beli, antara meneruskan dan membatalkan jual beli. Ini berbeda jika status akad yang dinyatakan sebagai akad murabahah ini merupakan akad pembiayaan sehingga fakta yang berlaku di dalamnya adalah utang-piutang murni, minus jual-beli. Misal: tidak adanya hak khiyar antara membatalkan dan meneruskan akad.

b- Kenyataannya, fakta akad murabahah ini adalah jual-beli yang dilakukan dengan utang dan cicilan dalam satu paket sehingga di dalamnya berlaku fakta jual-beli dan utang-piutang secara simultan. Karena itu fatwa yang menyatakan, “Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.” Ini seharusnya tidak boleh ada sebab bertentangan dengan fakta bank sebagai penjual yang menjual barangnya kepada pembeli, yang tidak lain adalah nasabah. Dengan membiayai sebagian, berarti sebagian lagi harus dibayar oleh pembeli (nasabah) sendiri, yang berarti bank di sini bertindak sebagai pihak yang mengutangi pembeli (nasabah) tersebut. Berarti, di sini juga berlaku keharaman dua akad dalam satu transaksi.

c- Dengan kata lain akad murabahah di sini bukan jual-beli dengan utang, tetapi utang-piutang murni. Masalahnya, jika akad murabahah ini adalah akad utang-piutang, maka bank tidak boleh menetapkan “harga beli plus keuntungannya” karena statusnya adalah utang. Utang tidak boleh dibayar, kecuali dengan jumlah yang sama. Jika tidak maka utang-piutang tersebut mengandung riba.

d- Fatwa yang menyatakan, “Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli) aset tersebut sesuai dengan janji yang telah dia sepakati karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.” Jelas, ini tidak tepat. Sebab, janji untuk membeli belum bisa disebut akad. Akad itu harus dilakukan terhadap barang dan jasa, sedangkan janji bukanlah barang dan jasa. Akibat dari klausul ini, maka lahir fatwa berikutnya, “Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.” Padahal dalam akad jual-beli yang jelas-jelas mengikat saja, masih ada khiyar (pilihan melanjutkan akad atau tidak), sementara apa yang dilakukan oleh bank dengan calon pembeli tadi baru sebatas komitmen atau janji. Jika sudah terjadi akad saja masih ada khiyar, baik dengan syarat uang muka hangus, seperti ‘arbun atau tidak, maka tentu lebih boleh lagi untuk melakukan khiyar jika akad tersebut belum terjadi.

e-  Lebih parah lagi, ada klausul “Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.” Klausul ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari klausul di atas, yang merupakan bentuk ‘arbun. Namun, harus ditegaskan bahwa dalam ‘arbun, yang hangus adalah uang muka yang telah dibayarkan oleh calon pembeli kepada penjual (bank). Lebih dari itu, tidak ada kewajiban bagi calon pembeli untuk membayar kerugian yang diderita oleh bank akibat dari akad yang tidak jadi. Karena itu klausul ini jelas fasid, dan merusak akad murabahah.

f- Mengenai status jaminan, klausul fatwa ini menyatakan, “Jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya.” Harus dicatat, jaminan itu diberikan karena seseorang mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan, seperti utang-piutang. Atas dasar apa jaminan diwajibkan terhadap sesuatu yang tidak wajib ditunaikan, yaitu “janji membeli”? Karena itu syarat adanya jaminan di sini juga merupakan syarat yang bertentangan dengan fakta rahn (agunan) maupun dhaman (jaminan). Syarat seperti ini tidak boleh dan jelas akad murabahah seperti ini tidak boleh.11

Inilah fakta murabahah yang terjadi, baik dalam konteks perorangan maupun perbankan selama ini. Fakta ini sekaligus menyalahi apa yang dinyatakan kebolehannya oleh para fuqaha’.

WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Check Also

sulthanan nashiirah atau kekuasaan yang menolong

Bagaimana Bentuk Sulthaan[an] Nashiira?

Soal: Di dalam al-Quran, Allah mengajarkan doa kepada Nabi Muhammad saw. (yang artinya): Katakanlah, “Tuhan-ku, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.