Frasa ahlul bait (ahl al-bayt) dibentuk dari kata ahl[un] dan al-bayt. Kata ahl[un] adalah mashdar dari kata ahila yang artinya senang, suka atau mengawini. Jika dinisbatkan dengan tempat artinya menghuni. Adapun kata al-bayt artinya adalah rumah. Secara bahasa kata ahl al-bayt berarti adalah sukkânuhu (para penghuninya).
Dalam penggunaannya, kata ahl al-bayt itu secara majazi digunakan untuk menyebut ahl bayt ar-rajul (penghuni rumah seseorang), yaitu keluarga seseorang itu. Selanjutnya, frasa ahlul bait secara tradisi lebih digunakan untuk menyebut Ahlul Bait Rasulullah saw. (ahl bayt ar-Rasûl)dan digunakan ungkapan Ahlul Bait saja. Maka dari itu, secara tradisi jika dikatakan Ahlul Bait saja maknanya adalah Ahlul Bait Rasulullah saw.1
Di dalam berbagai kamus dikatakan, ahl ar-rajul maknanya adalah istrinya; orang-orang yang terdekat dengannya (akhash an-nâs bihi);2 atau keluarganya dan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang itu.
Kata âlu sebenarnya berasal dari ahl[un], kemudian huruf ha’ diganti hamzah menjadi a’lun, dan karena dua hamzah berurutan maka yang kedua diubah menjadi alîf sehingga menjadi âlun. Jadi kata âlu artinya ahl[un], dan âlu al-bayt sama dengan ahl al-bayt.3
Dengan demikian, ahl al-bayt atau âlu al-bayt secara bahasa berarti istri dan putra-putri Nabi saw. serta keturunan mereka (azwajuhu, wa awlâduhu wa awlâduhum). Secara bahasa makna ahl al-bayt dan âlu al-bayt juga mencakup kerabat Beliau.
Hanya saja, terdapat nas-nas syariah yang telah membatasi siapa saja yang termasuk Ahlul Bait itu. Dengan demikian, frasa ahlul bait memiliki makna istilah sebagaimana yang ditunjukkan oleh nas-nas syariah yang ada.
Al-Quran menyatakan frasa ahlul bait sebanyak dua kali. Pertama,dalam firman Allah Swt. QS Hud [11]: 73. Ayat tersebut menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim as. Dengan demikian, frasa ahlul bait dalam ayat tersebut maknanya adalah ahlul bait Nabi Ibrahim as.
Kedua, Allah Swt. berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allah bermaksud menghilang-kan ar-rijsa dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. (QS al-Ahzab [33]: 33).
Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan atau menentukan siapa saja yang termasuk Ahlul Bait, termasuk yang dimaksud dalam ayat ini.4
Ayat tersebut merupakan satu kesatuan dari tiga ayat, yaitu ayat sebelum dan sesudahnya. Konteks ketiganya merupakan seruan yang khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Karena itu, Ibn Abbas, Muqatil, Said bin Jubair, Ikrimah dan lainnya mengatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk para istri Nabi saw, dan Ahlul Bait yang dimaksud adalah istri-istri Nabi saw. Dengan demikian, jelas ayat tersebut menyatakan istri-istri Nabi saw. termasuk Ahlul Bait. Ibn Katsir menyatakan di dalam tafsirnya, “Ayat ini menyatakan, masuknya istri-istri Nabi saw. dalam barisan Ahlul Bait dalam ayat ini karena mereka adalah sebab-turunnya ayat ini. Sebab turunnya ayat jelas masuk dalam cakupan ayat, (tentang ketentuan ini) hanya ada satu kata (tidak ada perbedaan).”
Selain istri-istri Nabi saw., dalam hadis al-Kisâ’, Ummu Salamah menceritakan bahwa tatkala turun surah al-Ahzab ayat 33, Nabi saw. membentangkan kisâ’ (pakaian) Beliau menelungkupkan Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallâh ‘anhum. Lalu Beliau bersabda:
اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرً
Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Karena itu, jauhkan ar-rijsa—kotoran, (maknawi)—dari mereka dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani).
Ahlul Bait Nabi saw. juga mencakup keluarga Beliau selain Umahatul Mukminin, Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain, yaitu mencakup semua keluarga Nabi saw. yang atas mereka diharamkan shadaqah. Nabi saw. pernah bersabda:
إِنَّا آلَ مُحَمَّدٍ لاَ تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ
Sesungguhnya kami adalah ahlu Muhammad; tidak halal harta shadaqah bagi kami (HR Ahmad, al-Bayhaqi, al-Hakim dan Ibn Khuzaimah).5
Dari hadis tersebut dapat ditarik pengertian bahwa âlu Nabi saw. adalah semua orang yang atasnya diharamkan shadaqah.
Zaid bin Arqam menceritakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda di Ghadir Khum:
وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوْا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ الله فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Aku meninggalkan di tengah-tengah kalian tsaqalayn. Pertama, Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan berpegangteguhlah padanya. (Zaid berkata).” Lalu Rasul mendorong dan menyemangati tentang Kitabullah, kemudian bersabda, “(Kedua) Ahlul Baitku. Aku memperingatkan kalian akan (perintah) Allah tentang Ahlul Baitku—Beliau mengulanginya tiga kali. (HR Muslim, Ahmad, al-Hakim, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Bazzar dan ath-Thabrani).
Lalu Husain bin Sabrah bertanya kepada Zaid, “Siapa Ahlul Bait Nabi saw., wahai Zaid? Bukankah istri-istri Beliau termasuk Ahlul Bait Beliau?”
Zaid menjawab, “Istri-istri Beliau termasuk Ahlul Bait Beliau, tetapi Ahlul Bait Beliau adalah orang yang diharamkan baginya shadaqah setelah Beliau.”
Husain bertanya, “Siapa mereka?”
Zaid menjawab, “Mereka âlu Ali, âlu ‘Aqil, âlu Ja’far dan âlu ‘Abbas.”
Husain bertanya lagi, “Mereka semua diharamkan (menerima) harta shadaqah?”
Zaid menjawab, “Benar.”
Menurut para ulama Maliki, Hanafi, Zaidi, Hadawiyah, Syafii, dan Hanbali, menerima shadaqah diharamkan atas Bani Hasyim. Imam Syafii, ulama Syafiiyah dan Hanbali menambahkan Bani al-Muthallib.6
Dengan demikian, Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi saw. (sesuai surat al-Ahzab ayat 33), Ali, Fathimah binti Nabi saw, Hasan, Husain dan keturunan mereka (sesuai hadis al-Kisâ’), âlu Ali, âlu ‘Aqil, âlu Ja’far dan âlu al-‘Abbas (sesuai hadis Zaid bin Arqam). Menurut jumhur ulama, yang juga termasuk mereka yang diharamkan atasnya shadaqah adalah Bani Hasyim, dan menurut Imam Syafii ditambah Bani al-Muthallib.
Dikemudian hari, sebutan ahlul bait itu lebih disematkan kepada keturunan Sayidina Hasan ra. dan Sayidina Husain ra. Kaum Muslim menggelari mereka dengan gelar sayid atau syarif dan di sebagian negeri dengan gelar habib.
Terkait dengan sikap kita kepada Ahlul Bait, di antaranya Nabi saw. bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Aku meninggalkan di tengah tengah kalian apa yang jika kalian ambil kalian tidak akan tersesat, Kitabullah dan ’itrah-ku, Ahlul Baitku. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis ini dan hadis lainnya, kita diperintahkan untuk tamassuk kepada Ahlul Bait, disandingkan dengan perintah tamassuk kepada Kitabullah. Jika terdapat perintah atau larangan tentang dua hal yang berbeda maka perintah atau larangan itu diterapkan kepada masing-masing sesuai dengan realitanya. Tamassuk kepada al-Quran adalah tamassuk sesuai dengan yang diperitahkan kepada kita, yaitu beribadah dengan lafalnya (membacanya) dan beramal sesuai dengan makna-maknanya. Adapun tamassuk kepada Ahlul Bait adalah tamassuk dengan apa yang diperintahkan kepada kita terhadap mereka, yaitu mencintai mereka, memuliakan mereka, mencontoh kesalihan dan keutamaan mereka serta disunnahkan bershalawat atas mereka. Perintah tamassuk kepada al-Quran dan kepada ahlul bait itu tidak bisa dipahami secara sama menurut makna bahasa. Itu karena perbedaan realita keduanya, yang satu al-Quran dan yang lain pribadi-pribadi. Selain itu, adalah karena adanya perbedaan perintah Allah; terhadap al-Quran berupa ibadah dan amal; kepada mereka berupa kecintaan, pemuliaan, peneladanan, dan bershalawat atas mereka diantaranya dengan bacaan shalawat pada tasyahud akhir. Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad innaka Hamîd[un] Majîd[un].
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 29
2 Lihat: Ibn Faris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, i/150 dimana ia menukil dari al-Khalil ibn Ahmad pengarang al-‘Ayn; Ash-Shahib ibn ‘Ibad, al-Muhîth fî al-Lughah, 1/320.
3 Lihat: Ibn Sayidih, al-Muhkam wa al-Muhith al-A’zham, ii/210; Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, xi/28; Murtadha az-Zabidi, Tâj al-‘Urûs min Jawhar al-Qâmûs, 1/6857.
4 Lihat tentang hal itu dalam Tafsîr Ibn Katsîr; Tafsir ath-Thabarî; Fath al-Qadîr oleh asy-Syaukani; Tafsîr al-Alûsî atau Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâniya; Zâd al-Matsîr oleh Ibn al-Jauzi; ad-Dûr al-Mantsûr oleh as-Suyuthi; Tafsîr an-Nîsabûrî; Tafsîr al-Khâzin atau Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl; Tafsîr al-Baghâwî; dsb.
5 Hadis yang sama dengan lafal agak berbeda juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibn Majah.
6 Lihat, Dr. Sa’di Abu Habib, al-Qâmûs al-Fiqhi, 1/29-30; tentang pendapat Imam Syafii lihat juga Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, 5/201, al-Maktabah asy-Syamilah ishdar tsani.