Soal:
Siapakah yang berhak disebut dan menyandang predikat sebagai Amil Zakat?
Jawab:
Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ السُّعَاةُ فِي قَبْضِهَا مِنْ أَهْلِهَا وَوَضْعِهَا فِي مُسْتَحِقِّيْهَا يُعْطُوْنَ ذَلِكَ باِلسِّعَايَةِ أَغْنِيَاء كَانُوْا أَوْ فُقَرَاءُ
Amil adalah para wali1 yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.2
Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi’i, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمْ اَلْمُتَوَلَّوْنَ جِبَايَتَهَا وَتَفْرِيْقِهَا فَيُدْفَعُ إِلَيْهِمْ مِنْهَا قَدْرَ أُجُوْرِ أَمْثَالِهِمْ
Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka.3
Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا يَعْنِيْ السُّعَاةُ وَالجُبَّاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمْ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكاَةِ بِالتَّوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ
Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah.4
Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا أَيْ السُّعَاةُ وَالْجُبَاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمُ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُمْ يَسْتَحِقُّوْنَ مِنْهَا قِسْطًا
Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu.5
Imam as-Sarakhsi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ الَّذِيْنَ يَسْتَعْمِلُهُمُ الإمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَيُعْطِيْهِمْ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ كِفَايَتَهُمْ وَكِفَايَةَ أَعْوَانِهِمْ وَلاَ يُقَدَّرُ ذَلِكَ بِالثَّمَنِ
Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah).6
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas, dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq-nya. Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam/Khalifah. Allah SWT berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS at-Taubah [9]: 103).
Konteks perintah ayat ini, Khudz min amwalihim shadaqatan (ambillah sedekah/zakat dari sebagian harta mereka), bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi saw. dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.
Karena itu, tidak ada pengertian Amil Zakat dalam khazanah fikih Islam, kecuali untuk menyebut orang-orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk tugas-tugas yang terkait dengan zakat. Adapun apa yang berkembang saat ini, seperti lembaga amil zakat (LAZ) atau pembentukan amil zakat yang dilakukan di tiap-tiap masjid, maka mereka sebenarnya tidak mempunyai otoritas/kewenangan (shalahiyyah) sebagaimana yang dimiliki oleh Amil Zakat yang sesungguhnya. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa wajib zakat (muzakki), misalnya, sebagaimana kewenangan yang melekat pada Amil Zakat.
Ketika Amil Zakat ini tidak ada, karena ketiadaan mandat yang diberikan oleh Imam/Khalifah (kepala negara) kepada orang-orang tertentu, maka yang ada tinggal: orang yang wajib berzakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Dalam konteks seperti ini, muzakki bisa saja membayarkan zakatnya langsung kepada mustahiq, tanpa melalui Amil, karena memang Amil-nya tidak ada. Namun, ia bisa juga mewakilkan kepada orang-orang tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada para mustahiq. Hanya saja, status wakalah orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang-orang ini berbeda dengan status wakalah Imam/Khalifah kepada ‘Amil Zakat. Wakalah Imam/Khalifah meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa dari muzakki dan mendistribusikannya kepada yang berhak (mustahiq). Adapun wakalah muzakki hanyalah wakalah untuk mendistribusikan zakat sesuai dengan amanah yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Harus dicatat, bahwa frasa ‘Amilina ‘alayhâ (petugas yang ditugaskan untuk zakat) merupakan sifat mufhimah (sifat yang memberikan makna/pengertian tertentu). Dalam konteks ashnaf (kelompok penerima zakat), orang tersebut diberi bagian dari zakat, karena predikatnya sebagai petugas yang ditugasi oleh Imam/Khalifah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Predikat tersebut juga bisa dijadikan sebagai ‘illat hukum, yang menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan bagian zakat atas nama Amil. Karena predikat tersebut tidak melekat pada orang/lembaga lain, seperti LAZ atau wakil dari muzakki, maka bagian zakat atas nama ‘Amil tersebut tentu tidak berhak diberikan kepadanya. Selain itu, zakat adalah ibadah, yang ketentuannya dinyatakan oleh nas, sehingga tidak boleh ditarik melebihi apa yang ditentukan oleh nas itu sendiri.
Karena sifat tersebut umum, maka para fuqaha’ berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya Bani Hasyim menjadi Amil. Sebab, konsekuensi dari statusnya sebagai Amil meniscayakannya berhak menerima zakat. Imam asy-Syaukani menyatakan, sebagian dari fuqaha’ menyatakan tidak boleh, sementara yang lain menyatakan boleh. Yang membolehkan, tentu termasuk dengan konsekuensi kebolehan memberikan bagian dari zakat kepada mereka. Meski demikian, lebih tepat, bahwa kebolehan mereka menjadi Amil itu karena keumuman frasa al-’Amilina ‘alayhâ, tanpa takhshîsh (pengkhususan). Adapun bagian zakat untuk mereka atas nama Amil tidak bisa diberikan, karena ada takhshîsh larangan Bani Hasyim menerima zakat. Dalam konteks ini, mereka bisa diberi imbalan dari Baitulmal.7
Adapun tentang besaran zakat yang diberikan kepada Amil, para ulama berselisih pendapat. Imam Mujahid dan Imam asy-Syafi’i menyatakan, bahwa mereka boleh mengambil bagian dari zakat dalam bentuk nilai (ats-tsaman). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyatakan, bahwa besarannya disesuaikan dengan kadar upah pekerjaan mereka. Imam Malik menyatakan, bahwa mereka akan diberi imbalan dari Baitulmal (maksudnya, bukan bagian dari zakat) sesuai dengan kadar upah mereka. Namun, pendapat yang terakhir ini dibantah oleh Imam asy-Syaukani. Beliau menyatakan, kalau Allah telah memberitahukan bahwa mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat tersebut, mengapa mereka tidak boleh mendapatkannya, dan harus diberi dengan harta yang lain?8 Wallâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Istilah as-su’ât adalah jamak dari kata as-sâ’i, yaitu setiap orang yang diangkat untuk mengurus urusan suatu kaum; mereka biasanya disebut sâ’in ‘alayhim. Umumnya kata ini digunakan untuk menyebut para wali yang ditugaskan untuk memungut dan mendistribusikan zakat. Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., XIV/387.
2 Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, X/160.
3 Al-Mawardi, Al-Iqnâ’, t.t., I/71.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al’-Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Kaero, cet. II, 1372 H, VIII/177.
5 Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372.
6 As-Sarakhsi, Al-Mabsûth, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1406, III/9.
7 Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372.
8 Ibid, II/372.