إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR Abu Dawud)
Abu Dawud meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Ali ibn Bahrin, Hatim ibn Ismail, kemudian Muhammad ibn ‘Ajlan, selanjutnya dari Nafi’, dari Abu Salamah, dari penuturan Abu Hurairah yang berumber dari Nabi saw. Abu Dawud juga meriwayatkan hadis ini dari jalur yang sama, tetapi berasal penuturan Abu Said al-Khudzri yang bersumber dari Nabi saw.
Adapun Imam Ahmad meriwayatkan hadis senada berturut-turut dari penuturan Hasan, dari Ibn Luhai’ah, dari Abdullah ibn Hubairah, dari Salim al-Jaysyani, dari Abdullah ibn Amru yang bersumber dari Rasulullah saw. yang bersabda:
…وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ…
….Tidak halal bagi tiga orang yang berada di bumi yang lapang kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin atas mereka. (HR Ahmad).
Ibn Khuzaimah juga meriwayatkan hadis senada dari ‘Amar ibn Khalid al-Wasithi, dari al-Qasim ibn Malik al-Muzni dst. Al-Hakim meriwayatkannya dari Abu Muhammad al-Qasim ibn Malik al-Muzni, dst. Selanjutnya al-Qasim ibn Malik al-Muzni dari al-A’masy, dari Zaid ibn Wahab, dari penuturan Umar ibn al-Khaththab ra. yang berkata:
إِذَا كَانَ نَفَرٌ ثَلاَثً فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ ذَاكَ أَمِيْرٌ أَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Jika ada suatu kelompok sebanyak tiga orang hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin atas mereka. Itulah amir yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. (HR Ibn Khuzaimah dan al-Hakim).
Al-Hakim berkomentar, “Hadis ini sahih menurut syarat Syaykhayn (al-Bukhari dan Muslim) meski keduanya tidak mengeluarkannya.”
Riwayat dari Umar ini juga dikeluarkan oleh al-Bazzar dengan sanad sahih tetapi dengan ungkapan yang sedikit berbeda.
Makna Hadis
Pengarang ’Awn al-Ma’bûd memandang frasa “Idzâ kâna tsalâtsah” sebagai misal. Maknanya, jika terdapat jamaah (kelompok) terdiri dari minimal tiga orang falyuammirû ahadahum, hendaknya mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai amir (pemimpin) atas mereka.
Al-Khathabi berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan itu tidak lain agar urusan-urusan mereka terhimpun, pendapat mereka tidak tercerai-berai dan agar tidak terjadi perbedaan di antara mereka.”1
Asy-Syaukani menjelaskan bahwa dalam ungkapan hadis Abu Hurairah terdapat dalil bahwa Rasulullah saw. mensyariatkan bagi setiap kumpulan tiga orang atau lebih hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir atas mereka. Sebab, pengangkatan amir itu bisa menyelamatkan mereka dari perbedaan yang mengantarkan pada pertikaian. Tanpa adanya pengangkatan amir, masing-masing akan bersikukuh dengan pendapatnya dan berbuat sesuai keinginan (hawa nafsu) masing-masing. Akhirnya, mereka akan celaka. Pengangkatan seorang amir itu akan meminimalkan adanya perbedaan dan pendapat akan menyatu. Jika pengangkatan amir itu disyariatkan bagi tiga orang yang bepergian bersama di muka bumi, tentu bagi kelompok orang yang lebih banyak yang tinggal bersama di suatu wilayah—sementara mereka memerlukan adanya amir itu untuk mengangkat kezaliman dan menyelesaikan persengketaan—pensyariatan pengangkatan amir itu lebih utama dan lebih urgen. Hal itu merupakan dalil bagi orang yang berkata, “Wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang imam, para wali dan pemerintah (para penguasa).”
Mayoritas berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib, meski mereka berbeda pendapat apakah hal itu wajib secara akal atau secara syar‘i. Menurut kelompok yang lebih dominan, mayoritas Muktazilah dan Asy‘ariyah, hal itu wajib secara syar‘i. Menurut Imamiyah, hal itu wajib secara rasional saja. Adapun menurut al-Jahizh, al-Balkhi dan al-Hasan al-Bashri, hal itu wajib secara syar‘i dan menurut akal.”2
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Jika telah diwajibkan pada kelompok yang paling kecil dan perkumpulan yang paling terbatas agar mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, maka itu merupakan penyerupaan atas wajibnya hal itu (mengangkat seorang amir/pemimpin) pada kelompok yang lebih banyak dari itu.”3
Wajibnya mengangkat seorang amir/pemimpin itu bisa disimpulkan dari hadis di atas. Pasalnya, ada perintah untuk mengangkat amir, yaitu frasa: fal yuammirû. Lalu terdapat qarînah (indikasi) yang menunjukkan perintah itu bersifat tegas, yaitu frasa: lâ yahillu…illâ… (tidak halal…kecuali…). Ini menunjukkan bahwa mengangkat amir itu adalah wajib. Kewajiban itu merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syariah sebagaimana yang jelas dinyatakan oleh Umar ibn al-Khaththab di atas.
Jika syariah mengharamkan adanya tiga orang dari kaum Muslim yang bersama dan terus dalam keadaan tanpa seorang amir, lalu bagaimana dengan umat Muslim yang terus dalam keadaan tanpa seorang amir bagi mereka? Tentu saja hal itu lebih dilarang lagi. Artinya, jika bagi tiga orang dari kaum Muslim saja mereka diwajibkan mengangkat seorang dari mereka sebagai amir/pemimpin, maka umat Islam tentu lebih diwajibkan lagi untuk mengangkat seorang amir bagi mereka. Pemahaman ini diambil berdasarkan mafhûm al-muwâfaqah dari hadis di atas. Amir yang wajib diangkat itu hanya satu, tidak boleh lebih. Hal itu karena hadis di atas menyatakan ahadahum. Dari ungkapan tersebut dapat ditarik mafhûm al-mukhâlafah, yaitu tidak boleh mengangkat amir lebih dari seorang saja. Amir bagi umat Islam itu adalah Imam, Khalifah atau Amirul Mukminin seperti yang ditetapkan oleh Ijmak Sahabat.
Jadi, hadis di atas menegaskan bahwa umat Islam wajib mengangkat seorang amir bagi mereka, tidak boleh lebih, yaitu wajib mengangkat seorang Imam, Amirul Mukminin atau Khalifah.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1) Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi Abu ath-Thayyib, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, 7/191-192 , Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. ii. 1415.
2) Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr min Ahâdîts Sayid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, IX/156-157 , Dar al-Jayl, Beirut. 1973
3) Ibn Taimiyah, Al-Hisbah, hlm. 11, ed. Shalah ‘Azam, Dar asy-Sya’b, cet. i.