Soal:
Bismillah ar-rahman ar-rahim.
Syaikuna al-jalil, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Saya ingin bertanya atas hukum syara’ yang terjadi di kami di Tunisia dan menjadi tradisi di seluruh negeri dan juga legal.
Yang mana seseorang menyewa toko untuk berdagang. Setelah dua tahun, pemilik toko tidak dapat meminta kembali tokonya kecuali dengan kompensasi materiil dan kadang-kadang dinilai dengan jumlah yang besar. Demikian juga, penyewa dapat menawarkan apa yang di kami disebut (aset komersial) untuk dijual kepada penyewa yang lainnya dan pemilik toko tidak dapat melarang hal itu kecuali jika dia memberikan kompensasi atas aset komersial tersebut. Perlu diketahui, bahwa penyewa mungkin menderita kerugian jika pemilik toko mengeluarkannya.
Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda dan menyegerakan untuk kita dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah kedua yang mengikuti manhaj kenabian.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama: untuk menjawab atas pertanyaan ini maka lebih dahulu harus ditetapkan sebagai berikut:
1- Ijarah adalah akad atas manfaat dengan kompensasi. Ijarah itu untuk ijarah benda seperti rumah untuk tempat tinggal dan tempat dagang dan yang lainnya adalah akad atas manfaat tempat tinggal atau penggunaan toko untuk berdagang … dsb, dengan kompensasi yang dibayarkan oleh penyewa (al-musta’jir) kepada yang menyewakan (al-mu`ajir). Jika akad ijarah telah berlangsung sesuai hukum syara’ maka manfaat benda yang disewakan itu dimiliki oleh penyewa selama masa ijarah dan penyewa berhak melakukan tasharruf dengannya tasharruf yang syar’iy.
2- Akad ijarah merupakan akad lâzim, yakni salah satu pihak akad (yang menyewakan (al-mu`ajir) dan penyewa (al-musta`jir) tidak berhak memfasakh dan menghapuskan akad kecuali dengan persetujuan pihak yang lain. Jadi yang menyewakan dan penyewa tidak boleh mengakhiri akad ijarah secara sepihak sebelum berakhir jangka waktunya.
3- Akad ijarah merupakan akad yang memiliki jangka waktu tertentu, maka wajib ditentukan jangka waktu ijarah dengan hari, bulan atau tahun … dsb. Ijarah itu tidak boleh bersifat mutlak tanpa ditentukan jangka waktu tertentu yang jelas …
4- Jika berakhir jangka waktu ijarah dan tidak diperbarui di antara yang menyewakan dan penyewa maka penyewa harus mengembalikan benda yang disewa tersebut kepada pemiliknya yaitu pihak yang menyewakan (al-mu`ajir). Karena akad ijarah itu tidak mengeluarkan benda yang disewakan dari kepemilikan al-mu`ajir, tetapi yang keluar hanya manfaat benda yang disewakan, yang keluar dari kepemilikan al-mu`ajir dan menjadikannya sebagai milik penyewa (al-musta`jir), selama jangka waktu akad. Maka jika akad ijarah telah berakhir, penyewa wajib mengembalikan benda yang disewa dengan manfaatnya kepada pemiliknya yaitu al-mu`jir (yang menyewakan).
Kedua; berdasarkan perkara-perkara yang disebutkan di poin-poin sebelumnya, jawaban atas pertanyaan Anda sebagai berikut:
1- Jika jangka waktu ijarah (sewa) belum berakhir, dan penyewa ingin menyewakan benda yang disewa (yaitu toko di dalam pertanyaan) kepada penyewa (al-musta`jir) yang lain, maka dia berhak melakukan hal itu tanpa mengambil izin pihak yang menyewakan (al-mu`ajir) yang asli, karena manfaat benda yang disewakan adalah milik penyewa itu sehingga dia berhak memanfaatkan sendiri manfaat itu dan dia juga berhak menyewakannya kepada orang lain baik kompensasinya sama dengan sewa yang dia bayarkan kepada pihak yang menyewakan (al-mu`ajir) pertama, lebih kecil atau lebih besar, sebab manfaat benda yang disewakan itu adalah milik penyewa pertama itu sehingga dia berhak melakukan tasharruf dengan tasharruf yang syar’iy menurut yang dia pandang sesuai … Di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz ii bab Isti`jâr al-A’yân dinyatakan sebagai berikut:[Jika akad dinyatakan atas manfaat benda seperti penyewaan rumah, hewan tunggangan, mobil dan sebagainya, maka yang menjadi obyek akadnya adalah manfaat benda tersebut. Dan penentuan sewa yang semisal (ajru al-mitslî) harus memperhatikan sesuatu yang setara manfaatnya dengan manfaat yang disewakan. Dan ketika penyewaan benda itu telah sempurna terjadi maka penyewa (al-musta`jir) berhak memanfaatkan benda yang dia sewa. Jika dia menyewa rumah maka dia berhak untuk menempatinya, atau dia menyewa hewan atau mobil maka dia berhak mengendarainya. Dan penyewa berhak menyewakan benda yang disewa itu jika dia telah menerimanya dengan sewa yang sama atau lebih atau kurang. Sebab serah terima benda yang disewakan itu berposisi serah terima manfaat. Dalilnya adalah karena dia boleh mentasharrufnya sehingga dia boleh juga melakukan akad atasnya dan karena akad itu merupakan akad yang boleh dengan kompensasi sama dengan modalnya maka boleh juga dengan yang lebih besar atau lebih kecil. Hanya saja, jika dia menyewa benda untuk suatu manfaat, maka dia boleh mengambil manfaat semisal dengan manfaat itu dan yang lebih kecil dalam hal dhararnya. Dia tidak boleh mengambil manfaat lebih banyak dari semisal manfaat itu karena dia tidak boleh mengambil manfaat lebih besar dari haknya atau manfaat yang bukan menjadi haknya. Jadi, jika dia menyewa hewan untuk dikendarai, dia tidak boleh menggunakannya untuk mengangkut barang sebab orang yang mengendarai itu lebih ringan dari beban barang yang diangkut. Jika dia menyewa mobil untuk dikendari dengan jarak sekian maka dia tidak boleh mengendarainya lebih jauh dari jarak yang dia akadkan sewa untuk mobil itu. Jika dia menyewa rumah untuk tempat tinggal, dia tidak boleh menjadikannya sebagai gudang kayu, besi atau sebagainya, yang lebih banyak dhararnya terhadap rumah dari untuk tempat tinggal. Walhasil, akad itu jika dinyatakan terhadap benda dengan kompensasi maka itu merupakan jual beli. Dan jika dinyatakan atas manfaat benda dengan kompensasi maka merupakan ijârah (sewa). Atas hal ini, maka akad itu kadang dinyatakan terhadap benda saja, seperti jual beli pohon yang buahnya telah layak dikonsumsi tanpa jual beli buahnya; dan kadang dinyatakan atas benda itu beserta manfaatnya seperti jual beli rumah; dan kadang dinyatakan atas buah saja, seperti jual beli buah yang sudah layak dikonsumsi; dan kadang dinyatakan atas manfaat yang tidak mentajassud dengan bendanya seperti tempat tinggal. Jika akad itu dinyatakan terhadap manfaat yang tidak dinilai sebagai benda maka merupakan ijarah (sewa menyewa), dan bukan merupakan jual beli. Sebagaimana bahwa pembeli suatu barang, dia memiliki barang tersebut, dan dia berhak mentasharrufnya dengan semua bentuk tasharruf, maka demikian juga penyewa memiliki manfaat yang dia miliki dengan akad sewa dan dia berhak mentasharrufnya dengan semua bentuk tasharruf. Sebagaimana pembeli buah di pohon yang sudah layak dikonsumsi, dia boleh menjualnya dan buah itu masih di pohonnya, demikian juga penyewa benda boleh menyewakannya karena dia memiliki manfaatnya sebagaimana pembeli buah memiliki buah yang dia beli. Olehnya itu, penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika dia telah menerimanya, sebab serah terima benda ketika disewakan itu pada posisi serah terima manfaat, dengan dalil dia boleh mentasharrufnya, maka dia boleh melakukan akad atasnya, seperti jual beli buah yang masih dipohon. Dan ketika penyewaan benda itu sempurna dan manfaatnya diserahterimakan, maka penyewa memiliki semua tasharruf syar’iy pada manfaat benda yang dia sewa karena manfaat benda itu adalah miliknya, sehingga dia boleh menyewakannya dengan sewa yang dia inginkan berapapun besarnya. Andai dia menyewanya dengan 50 dan dia sewakan dengan 500 maka boleh. Sebab dia memiliki manfaat tersebut sehingga dia memiliki hak menyewakannya dengan sewa yang dia kehendaki, bukan harus dengan sewa awalnya. Atas dasar ini, apa yang disebut kosongnya (al-khalwu) gudang, rumah dan lainnya -yaitu penyerahan sejumah harta tertentu tambahan atas sewa yang telah ditetapkan untuk rumah atau gudang milik penyewa awal oleh orang yang menyewa darinya- adalah boleh dan tidak ada masalah sebab penyewa menyewakan rumah atau gudang yang dalam penyewaannya kepada orang lain dengan sewa tertentu dan jumlah yang lebih dari sewa yang dia bayarkan. Ini adalah penyewaan benda yang dia sewa dengan sewa yang lebih banyak dari sewa awal, dan itu adalah perkara yang boleh, sebab dia boleh menyewakan apa yang dia sewa dengan lebih banyak, lebih sedikit atau sama dengan sewanya, karena itu adalah akad yang boleh dengan modalnya maka boleh juga dengan lebih banyak seperti penjualan barang setelah diterima dengan harga yang lebih tinggi] selesai kutipan dari asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah.
2- Demikian juga, jika pihak yang menyewakan ingin meminta kembali barang yang dia sewakan sebelum berakhirnya akad maka penyewa boleh meminta kompensasi dari manfaat yang tidak dapat dia dapatkan dalam jangka waktu sewa yang tersisa. Dan dia berhak meminta semisal sewa yang dia bayarkan, dan juga berhak lebih banyak atau lebih sedikit, yang mana dia melakukan hal itu menurut apa yang dia pandang sesuai … Jika pihak yang menyewakan tidak menerima untuk membayar kompensasi dari manfaat jangka waktu yang tersisa maka penyewa berhak menahan benda tersebut dan mengambil manfaatnya sampai ketika akadnya berakhir, dan dia juga berhak menyewakannya kepada orang lain yakni kepada penyewa yang lain.
3- Adapun jika telah berakhir akad sewa (untuk tempat berdagang sesuai pertanyaan di atas) dengan berakhirnya jangka waktunya dan pihak yang menyewakan ingin meminta kembali barang yang disewakan (tempat berdagang) maka penyewa itu secara syar’i terikat (harus) mengembalikan barang yang disewa kepada pemiliknya yang menyewakannya sebab itu adalah milik yang menyewakan itu. Penyewa tidak boleh menolak mengembalikannya atau mensyaratkan pembayaran kompensasi (sejumlah harta) untuk pengembalian barang tersebut kepada pemiliknya yang asli, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam kutipan dari kitab asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz ii.
Ketiga: sebelumnya kami telah mempublikasikan Jawab Soal seputar bagian-bagian dari masalah ini pada 20/1/2014, di situ dinyatakan:
[1- Penyewaan barang yang disewa oleh penyewa kepada penyewa yang lain …
Penyewa rumah boleh menyewakan rumah tersebut kepada orang lain selama jangka waktu sewa yang disebutkan di dalam akad, dengan sewa yang lebih banyak atau lebih sedikit dari sewa yang dengannya dia sewa tempat itu dari pemiliknya. Hal itu karena sewa menyewa (ijârah) adalah akad atas manfaat dengan kompensasi, yakni bahwa penyewa itu memiliki tasharruf manfaat yang disewa, tetapi dalam manfaat yang disewakan untuknya selama jangka waktu sewa yang disebutkan di dalam akad. Jika dia menyewanya untuk tempat tinggal maka dia boleh menempatinya dan boleh memungkinkan orang lain untuk menempatinya melalui tasharruf yang masyru’ baik hibah, ijarah atau lainnya … dan dengan sewa yang dia sepakati dengan penyewa yang lain itu. Tetapi dia tidak boleh menyewakannya untuk manfaat yang lainnya. Jadi dia tidak boleh menyewakanya sebagai kantor dagang misalnya, jika dia telah menyewanya untuk tempat tinggal. Demikian juga hal itu wajib terjadi selama jangka waktu sewa. Jadi dia tidak boleh menyewakannya untuk jangka waktu lebih dari jangka waktu sewa yang asli.
Hukum ini dikatakan oleh jumhur fukaha (hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah dan yang lebih shahih menurut hanabilah) selama barang itu tidak terpengaruh dengan perbedaan pengguna. Banyak dari fukaha salaf memperbolehkannya baik dengan sewa yang sama atau dengan tambahan (lebih besar).
Tetapi mereka berbeda pendapat jika penyewaan itu untuk pemiliknya, yakni pemilik menyewakan rumahnya kepada penyewa untuk jangka waktu satu tahun, kemudian setelah tiga bulan misalnya, pemilik memerlukan rumah itu dan dia ingin menyewanya dari si penyewa sembilan bulan sisanya dan penyewa keluar dari rumah itu… Masalah ini para fukaha berbeda pendapat tentangnya. Mereka memiliki pandangan-pandangan yang berbeda tentangnya …] selesai.
Keempat: masalah yang tersisa (aset komersial) dan bagaimana bertransaksi dengannya:
1- Aset komersial menurut yang mengadopsinya didefinisikan: harta bergerak bersifat maknawi mencakup semua harta bergerak yang dikhususkan untuk melakukan kegiatan komersial atau sejumlah kegiatan komersial. Mereka mengatakan: aset komersial secara wajib mencakup pelanggan dan reputasi komersial. Juga mencakup semua harta lainnya yang diperlukan untuk eksploitasi aset seperti nama dagang, logo, hak dalam menyewa, furnitur dagang, komoditi, peralatan, perkakas, lisensi, paten, merk dagang, jasa, desain, model industrial dan secara umum semua hak kepemilikan industrial, sastra atau seni yang melekat pada aset. Sesuai penjelasan fakta aset komersial ini menjadi jelas bahwa itu mencakup dua jenis harta:
a- Unsur-unsur materiil seperti furnitur, perkakas, peralatan… dsb, dan itu merupakan harta yang memiliki nilai yang hakiki.
b- Unsur-unsur non materiil seperti reputasi dagang, paten, hak-hak kepemilikan industrial … dsb, dan itu merupakan unsur-unsur yang memiliki nilai maknawi …
2- Dengan mengkaji apa yang disebut aset komersial, menjadi jelas bahwa itu merupakan sesuatu yang berbeda dari manfaat barang yang disewakan yaitu manfaat properti yang digunakan seperti tempat berdagang … Manfaat properti adalah penggunaan properti itu untuk kegiatan komersial … dan apa yang disebut aset komersial tidak termasuk dalam hal itu. Aset komersial dengan dua jenisnya itu baik materiil dan non materiil adalah sesuatu tambahan atas manfaat barang yang disewakan yakni properti dalam kondisi ini Dan aset komersial ini muncul berikutnya melalui perbuatan penyewa ketika dia mendekorasi dan melengkapi tempat berdagang dengan furnitur menurut yang sesuai untuk berdagang yang memiliki hubungan dan di situ diletakkan perangkat dan peralatan yang dibutuhkan dan tempat berdagang itu menjadi punya reputasi komersial, pelanggan, kegiatan komersial … dsb.
3- Di dalam aset komersial itu ada unsur-unsur materiil yang secara syar’iy mubah seperti perkakas, peralatan, perangkat dan sebagainya jika sesuai hukum-hukum syara’ … dan kadang di situ ada materi-materi yang haram seperti patung … Demikian juga di situ ada unsur-unsur non materiil yang mubah semisal reputasi, logo dagang, merek dagang dan semacamnya … dan ada unsur-unsur maknawi yang boleh di dalam Islam semisal sebagian hak maknawi berkaitan dengan kepemilikan intelektual seperti hak cetak, paten dan semacamnya …
4- Jika aset komersial yang ingin dijual, dipindahkan kepemilikannya atau disewakan itu mengandung unsur-unsur materiil atau maknawi yang diharamkan maka tidak boleh ditasharruf dengan mengambil kompensasi darinya, tetapi harus pertama-tama dibersihkan dari unsur-unsur yang haram di situ. Adapun jika tidak mengandung unsur-unsur materiil atau maknawi yang haram, artinya unsur-unsur materiil atau maknawinya adalah mubah, maka sah untuk dipertukarkan dengan mengambil kompensasi darinya sesuai yang dijelaskan berikutnya.
5- Jika akad ijarah itu tidak berakhir maka penyewa boleh menyewakan tempat berdagang dan boleh mempertukarkan aset komersial kepada penyewa lainnya dengan kompensasi dan tidak harus adanya izin pinyak yang menyewakan asli (al-mu`ajir al-ashliy), dan hal itu selama sisa jangka waktu sewa tempat berdagang itu … Dia juga boleh mengembalikan properti (tempat berdagang) kepada pemiliknya yang menyewakan dengan kompensasi untuk manfaat dan aset komersial itu. Dan semua itu jika aset komersial itu termasuk yang mubah …dan selama jangka waktu ijarah (sewa).
6- Jika akad ijarah (sewa) properti (tempat berdagang) itu telah berakhir, maka apa yang disebut aset komersial itu, tentangnya ada berbagai pandangan. Dan yang saya rajihkan adalah:
Penyewa wajib mengembalikan tempat berdagang itu kepada pemilik asli (yang menyewakan/al-mu`ajir). Adapun berkaitan dengan aset komersial maka apa yang bersifat materiil, penyewa berhak mengambilnya atau menjualnya karena itu adalah miliknya seperti perkakas dan sebagainya … Adapun pupularitas tempat itu dan reputasinya secara komersial maka manfaat penyewa untuknya berakhir dengan berakhirnya akad ijarah (sewa). Setelah itu maka penyewa tidak memilikinya sehingga dia tidak boleh menjualnya atau mengambil kompensasi darinya sebagai hak miliknya … Aset komersial yang bersifat maknawi ini bukan manfaat yang dimiliki oleh penyewa setelah berakhirnya akad ijarah (sewa) supaya dia berhak untuk menjualnya, tetapi dengan berakhirnya akad ijarah (sewa) itu maka berakhirlah kepemilikan penyewa untuk manfaat maknawi yang dia miliki selama jangka waktu ijarah (sewa).
7- Adapun sebagian ulama kontemporer masa kini yang mereka memandang manfaat maknawi ini semisal dengan hak syuf’ah atau hak al-qismah (bagian) untuk isteri bersama dengan madunya (isteri lainnya dari suaminya), dan bahwa sebagian fukaha memperbolehkan mengambil pengganti dari hak ini, maka membandingkan hak-hak ini dengan hak reputasi komersial adalah berbeda sama sekali dan tidak shahih karena sebab-sebab berikut:
a- Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah tentang topik al-Manâfi’: d- al-haqq al-muthlaq (Manfaat : d – hak secara mutlak) ….
(Adapun penggantian hak maka kaedah menurut sebagian fukaha hanafiyah bahwa hak itu jika terpisah dari kepemilikan maka boleh dikompensasi, seperti hak syuf’ah. Seandainya dia berdamai darinya dengan kompensasi harta maka batallah haknya dalam syuf’ah itu dan kembali dengannya …
Adapun selain fukaha hanafiyah, mereka mengisyaratkan kepada kaedah yang mungkin dijadikan sandaran dalam mengetahui hal itu. Tetapi setelah menelusuri sebagian masalah maka mungkin dikatakan dalam satu kalimat: bahwa syafi’iyah dan hanabilah menilai bahwa hak yang tidak menjadi harta atau apa yang bukan barang dan bukan manfaat seperti hak syuf’ah, hak khiyâr asy-syarth (khiyar syarat), hibah seorang isteri bagian harinya kepada madunya, tidak boleh dikompensasi. Adapun apa yang menjadi harta seperti hak qishash dan mengembalikan karena aib, maka boleh dikompensasi.
Ini dalam satu kalimat, sebab Ibnu Taimiyah memperbolehkan isteri mengambil kompensasi dari hibahnya atas hari bagiannya kepada madunya dan kompensasi dari semua haknya dari bagiannya. Sebagaimana bahwa dalam riwayat dari imam Ahmad bolehnya kompensasi dari hak syuf’ah dari pembeli, bukan dari selain pembeli. Dan diambil dari masalah-masalah yang ada pada malikiyah bahwa mereka memperbolehkan mengambil kompensasi dari semua hak yang terbukti milik orang maka menurut mereka boleh mengambil kompensasi dari syuf’ah dan hibah isteri atas harinya kepada madunya dan selain yang demikian itu).
b- Jadi para fukaha yang mengatakan boleh mengambil kompensasi dari hak syuf’ah atau hak hari isteri untuk madunya, maka ini selama hak itu tetap eksis, dan bukan setelah hilangnya hak itu … Maka berkaitan dengan hak syuf’ah maka itu ketika pemilik hak syuf’ah itu seorang tetangga, jika dia pergi dari ketetanggaannya dan menjadi jauh maka hilanglah hak syuf’ah itu … Demikian juga berkaitan dengan isteri, dia memiliki hak ini selama dia adalah seorang isteri dan bukan jika dia telah dicerai misalnya … Begitulah di sini, maka hak penyewa untuk memanfaatkan reputasi dan pupularitas adalah selama penyewaannya. Jika jangka waktu sewa itu telah berakhir maka haknya dalam reputasi ini juga telah berakhir dan bukan lagi menjadi haknya untuk menjualnya dan mengambil kompensasi darinya, tetapi ia harus mengosongkan barang yang disewa itu setelah berakhirnya jangka waktunya kecuali jika dia bersepakat untuk memperpanjangnya …
Adapun apa yang disebutkan di dalam hukum positif tentang menjadikan aset komersial maknawi ini sebagai hak milik penyewa selama masa sewa (ijaah) dan setelahnya yang mana dia berhak mentasharrufnya berupa jual beli dan barang yang disewa itu tidak kosong ketika berakhirnya jangka waktu sewanya kecuali jika diserahkan kepada penyewa itu harga aset komersial maknawi tersebut, ini tidak memiliki nilai dan bobot di hadapan hukum syara’.
Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam. [vm]
Dijawab Oleh : Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info