Keimanan kepada Rasul saw. mewajibkan seorang Muslim untuk menaati dan mengikuti beliau, juga untuk ber-istidlâl dengan as-Sunnah atas Islam baik akidah maupun hukum. Hanya saja, ber-istidlâl dengan as-Sunnah berbeda-beda kondisinya terkait dengan masalah yang menjadi obyek istidlâl itu. Jika obyek istidlâl itu cukup dengan ghalabatu azh-zhann (dugaan kuat), maka cukup dengan apa yang berdasarkan ghalabatu azh-zhann bahwa itu disabdakan oleh Rasul saw. Dalam masalah seperti itu, ber-istidlâl dengan as-Sunnah yang secara yakin bahwa itu diucapkan oleh Rasul saw. tentu lebih utama lagi.
Dalam masalah yang di dalamnya wajib ada kepastian dan keyakinan, wajib ber- istidlâl dengan apa yang secara yakin atau pasti bahwa itu diucapkan oleh Rasul saw. Tidak cukup dan tidak boleh ber- istidlâl dengan apa yang hanya didasarkan pada ghalabatu azh-zhann bahwa itu diucapkan oleh Rasul saw. Sebab zhann (dugaan kuat) tidak layak menjadi dalil untuk keyakinan (al-yaqîn). Apa yang di dalamnya dituntut keyakinan dan kepastian (al-jazmu) tidak cukup kecuali dengan yang al-yaqîn (yakin) dan al-jazmu (pasti).
Dalam masalah akidah atau iman dituntut keyakinan (al-yaqîn) dan kepastian (al-jazmu). Karena itu ber- istidlâl dengan as-Sunnah atas akidah atau iman hanya boleh dengan khabar mutawatir, dan tidak boleh dengan khabar ahad.
Definisi dan fakta akidah memang mengharuskan keyakinan, kepastian dan ke-qath’i-an. ‘Aqîdah secara bahasa artinya mâ ‘aqada ‘alayhi al-qalbu (apa yang diikat oleh kalbu). Makna ‘aqada ‘alayhi adalah jazama bihi (apa yang dipastikan), yakni shaddaqahu yaqîn[an] (dibenarkan secara yakin).
Itu pulalah yang disebut al-îmân, al-yaqîn dan al-‘ilmu. Al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât menjelaskan, al-yaqîn secara bahasa adalah al-‘ilmu (pengetahuan) yang tidak ada keraguan bersamanya. Dalam istilah, al-yaqîn adalah i’tiqâd bahwa sesuatu itu begini serta i’tiqâd bahwa sesuatu itu tidak mungkin kecuali begini, sesuai faktanya dan tidak mungkin hilang.
Dengan begitu, tidak semua tashdîq (pembenaran) itu merupakan iman, akidah, yakin atau al-‘ilmu. Sebab tashdîq itu bertingkat-tingkat. Yang disebut iman, akidah, yakin atau al-‘ilmu jika tashdîq-nya jâzim (pasti) atau qath’i, atau tashdîq-nya seratus persen. Jika kurang dari seratus persen, tetapi di atas 50 persen disebut zhann, dan jika tashdîq-nya besar—misalnya 90 persen ke atas, tetapi kurang dari 100 persen—disebut ghalabatu zhann. Jika 50:50 maka disebut syakk. Jika kurang dri 50 disebut wahm. Jika nol persen disebut al-jahlu atau al-kadzbu (dusta).
Tashdîq yang jâzim, qath’i atau pasti itu tidak mungkin kecuali memang apa yang dibenarkan atau dipercayai itu sesuai dengan faktanya dan didukug oleh bukti atau dalil. Dengan demikian, akidah atau al-îmân adalah tashdîq[un] jâzim[un] muthâbiqu li al-wâqi’ ‘an dalîl[in] (pembenaran yang pasti sesuai dengan fakta yang didukung oleh dalil/bukti).
Inilah pengertian dan fakta akidah atau al-îmân. Karena itu dalilnya harus memberikan tashdîq yang jâzim. Hal ini sama sekali tidak datang kecuali jika dalilnya merupakan dalil yang jâzim/qath’i. Adapun yang zhanni maka itu mustahil mendatangkan jazm.
Di dalam al-Quran, Allah SWT mencela sikap mengikuti zhann dalam perkara akidah, misalnya dalam QS al-An’am [6]: 116 dan 148; Yunus [10]: 66; an-Najm [53]: 23. Allah SWT berfirman:
وَمَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡٔٗا ٢٨
Mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, padahal sungguh persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (QS an-Najm [53]: 28).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيًۡٔاۚ ٣٦
Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sungguh persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran (TQS Yunus [10]: 36).
Ayat-ayat tersebut dibatasi dalam perkara akidah dan tidak mencakup perkara hukum syariah karena Allah SWT menganggap sikap mengikuti zhann dalam akidah sebagai dhalâl (kesesatan). Allah SWT menyatakan ayat-ayat tersebut dalam topik akidah. Dalam ayat-ayat tersebut Allah memberikan sifat yang jelas atas orang yang mengikuti zhann dalam akidah. Hal itu menunjukkan bahwa topik pembicaraan ayat-ayat tersebut adalah perkara akidah. Allah SWT berfirman dalam QS al-An’am [6]: 116 (yang artinya): Jika kalian menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka.
Jadi Allah menilai adh-dhalâl, yakni kufur, itu telah tercapai dari mengikuti zhann.
Imam al-Qurthubi dalam Tafsîr al-Qurthubî (X/502) ketika menafsirkan QS al-An’am [6]: 36 di atas menyatakan, “Dikatakan al-haqq di sini adalah al-yaqîn. Artinya, azh-zhann itu tidak seperti al-yaqîn. Di dalam ayat ini ada dalil bahwa tidak cukup dengan zhann dalam akidah.”
Jadi, dalil syariah dan fakta akidah menunjukkan bahwa istidlâl dengan dalil zhanni dalam akidah tidak mewajibkan i’tiqâd apa yang dibawa oleh dalil itu. Atas dasar itu, dalil zhanni bukan hujjah dalam akidah.
Dalam hal ini, khabar ahad tidak berfaedah al-yaqîn, al-‘ilmu atau qath’i, melainkan hanya berfadah zhann. Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) di dalam At-Tamhîd (I/7) menyatakan, “Yang menjadi pendapat mayoritas ahlul ‘ilmi, khabar wahid mewajibkan amal tanpa mewajibkan ilmu (keyakinan). Itu adalah pendapat Syafii dan jumhur ahlu al-fiqh wa a-nazhri.”
Al-Hafizh Abu Zakariya an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî menyatakan, “Yang menjadi pendapat jumhur kaum Muslim dari kalangan Sahabat, Tâbi’ûn dan orang-orang sesudah mereka dari kalangan muhadditsin, fukaha dan ashhâb al-ushûl, bahwa khabar wahid (khabar ahad) merupakan hujjah syariah, harus diamalkan dan memberi faedah zhann, tetapi tidak memberi faedah al-‘ilmu.”
Jika khabar ahad hanya berfaedah zhann dan tidak berfaedah al-‘ilmu, yakni al-yaqîn atau qath’i, maka khabar ahad tidak bisa menjadi hujjah atau dalil untuk perkara agama yang dibangun di atas ke-qath’iyy-an.
Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H) di dalam Kitâb al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah (hlm. 432) juga menyatakan, “Khabar ahad tidak diterima dalam perkara agama yang menuntut keyakinan dan kepastian.”
Perkara akidah dituntut harus al-yaqîn, al-‘ilmu atau qath’i, tidak boleh zhann. Oleh karena itu, khabar ahad tidak bisa dan tidak boleh menjadi dalil atau hujjah dalam akidah atau iman. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Al-Imam ‘Alauddiyn as-Samarqandi (w. 450 H) dalam Mîzân al-Ushûl (hlm. 632) menyatakan, “Adapun apabila khabar ahad berkenaan dengan perkara-perkara akidah—yaitu masalah-masalah kalam—maka tidak bisa menjadi hujjah. Sebab khabar ahad itu menghasilkan zhann dan ghalabatu ar-ra`yi, bukan ilmu yang qath’i sehigga tidak menjadi hujjah dalam apa yang dibangun di atas al-‘ilmu al-qath’i dan i’tiqâd.”
Imam Muhammad bin Abdil Hamid al-Asmandi (w. 552 H) dalam Badzlu an-Nazhr fi al-Ushûl (hlm. 406) juga menyatakan, “Tidak boleh menerima khabar ahad (sebagai hujjah) dalam perkara-perkara akidah.”
Lalu bagaimana mendudukkan banyaknya khabar ahad yang berbicara tentang masalah i’tiqâdiyyah?
Dalam hal ini Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (II/193) menyatakan, “Adapun jika dalil itu merupakan khabar ahad maka tidak qath’i. Jika khabar ahad itu sahih, ia memberi faedah ghalabatu azh-zhann. Akidah yang dihasilkan dari situ dibenarkan atau dipercayai dengan tashdîq (pembenaran) yang bersifat zhanni, tidak tashdîq yang jâzim (pasti). Karena itu tidak boleh di-i’tiqâd-i dan dipasti-kan. Sebab akidah itu qath’i dan jazm, sementa-ra khabar ahad tidak berfaedah qath’i dan jazm, melaikan berfaedah zhann. Orang yang meng-ingkarinya tidak dikafirkan. Namun demikian, khabar ahad itu tidak boleh didustakan. Sebab seandainya boleh didustakan, niscaya semua hukum syariah yang diambil dari dalil-dalil zhanni juga boleh didustakan. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslim yang mengatakan demikian.”
Menurut Imam Abu Bakar as-Sarakhsi (w. 490 H) di dalam Ushûl as-Sarakhsî, orang yang mengingkari khabar ahad tidak dikafirkan sebab dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu al-yaqîn, tetapi ia tetap wajib mengamalkannya sebab dalilnya mewajibkan amal. Orang yang mengingkarinya, jika tanpa alasan (tidak ada takwil/penjelasan), tetapi merupakan penolakan terhadap khabar wahid, dinilai sesat. Jika ada penjelasan dalam hal itu, seraya berpendapat wajib mengamalkan khabar wahid, maka dia tidak dinilai sesat. Sebab wajibnya mengamalkan khabar wahid, maka orang yang menunaikannya dinilai orang yang taat. Sebaliknya, orang yang meinggalkannya tanpa takwil dinilai bermaksiat dan layak dijatuhi hukuman.”
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]