Imam al-Amidi menyatakan, menurut ushul para fukaha dalil (ad-dalîl) adalah al-ladzî yumkinu an yatawashalu bi shahîhi an-nazhari fîhi ilâ mathlûb[in] khabariyy[in] (apa yang—dengan penelaahan yang benar—mungkin mengantarkan pada informasi yang diinginkan) (Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/27, Darul Kitab al-‘Arabi. 1404).
Dalam pembahasan dalil syariah, al-mathlûb (yang diinginkan) dalam hal ini adalah hukum syariah. Artinya, dalil itu adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum syariah atau yang dijadikan dalil bahwa itu adalah hukum syariah.
Karena itulah Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengartikan ad-dalîl adalah al-ladzî yuttakhadzu hujjat[an] ‘alâ anna al-mabhûts ‘anhu hukm[]un syar’iyy[un] (sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa yang dibahas [oleh dalil] itu merupakan hukum syariah) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, III/164).
Nas syariah adalah al-Quran dan as-Sunnah. Ber-istidlâl dengan al-Kitab dan as-Sunnah berarti berargumentasi dengan al-Quran dan as-Sunnah. Dalam hal ini al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: “Ber-istidlâl dengan al-Kitab dan as-Sunnah bergantung pada pengetahuan bahasa Arab dan pengetahuan klasifikasi al-Kitab dan as-Sunnah. Sebab keduanya, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, menggunakan bahasa Arab. Allah SWT berfirman:
بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ ١٩٥
…dengan bahasa Arab yang jelas (QS asy-Syu’ara’ [26]: 195).
Oleh karena itu dalam pembahasan ushul fikih, yakni dalam ber-istidlâl dengan al-Kitab dan as-Sunnah, harus dibahas mengenai bahasa dan bagian-bagiannya. Bagian-bagian dari ucapan, yakni bahasa Arab yang harus dibahas itu, adalah yang berkaitan dengan istinbâth (penggalian) hukum syariah atau pemahaman hukum syariah. Tidak ada keperluan terhadap pembahasan-pembahasan lain dalam konteks ushul fikih.
Al-Kitab dan as-Sunnah terbagi dalam klasifikasi khabar dan insyâ’. Namun, pembahasan ushûli terkait al-insyâ’, bukan khabar. Pasalnya, pada galibnya, tidak ada penetapan hukum berdasarkan khabar. Al-Insyâ’ dalam al-Kitab dan as-Sunnah terbagi dalam klasifikasi al-amru (perintah), an-nahyu (larangan), ‘âmun (umum), khâsh[un] (khusus), muthlaq[un] (mutlak), muqayyad[un], mujmal, mubayyan, nâsikh dan mansûkh.
Berdasarkan hal itu harus dibahas mengenai bahasa dan klasifikasi-klasifikasi al-Kitab dan as-Sunnah, secara global. Dengan itu mungkin untuk ber-istidlâl dengan al-Kitab dan as-Sunnah atas hukum-hukum syariah (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/121).
Bahasa merupakan ungkapan/lafal yang dibuat untuk mengungkapkan makna-makna. Karena itu dalâlah (konotasi/penunjukan) lafal-lafal atas makna bisa dipahami dari penggunaan/penetapan (al-wadh’u)-nya oleh pengguna/pembuat lafal itu. Maka dari itu penggunaan/penetapan lafal-lafal itu harus diketahui. Dengan begitu dalâlah lafal-lafal itu pun bisa diketahui.
Al-Wadh’u (penetapan, pembuatan, penggunaan awal) suatu lafal adalah pengkhususan lafal untuk suatu makna. Artinya, ketika orang pertama mengucapkan suatu lafal maka orang kedua memahami makna lafal itu.
Sebab pembuatan atau penetapan bahasa itu karena manusia harus bertemu dengan manusia lainnya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya. Pertemuan itu tidak akan menghasilkan kerjasama, juga tidak bisa merealisasi tujuan memenuhi kebutuhan itu, kecuali satu sama lain saling berkomunikasi memberitahukan apa yang ada di dalam dirinya. Pemberitahuan itu yang paling memenuhi adalah menggunakan lafal-lafal daripada menggunakan isyarat atau gambar. Jadi sebab pembuatan atau penetapan bahasa (wadh’u al-lughah) tidak lain adalah pengungkapan apa yang ada di dalam benak. Yang dibuat adalah lafal-falal yang tersusun dari huruf-huruf baik dalam bentuk kata, frase atau kalimat. Bahasa itu tidak lain untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benak pengguna atau pengucapnya. Begitulah seluruh bahasa manusia. Bahasa itu tidak lain adalah buatan manusia dan mereka sepakati penggunaannya secara konvensi.
Jadi bahasa itu bersifat ishthilâhiyah dan tidak bersifat tawqîfiyah berasal dari Allah SWT. Begitu pun bahasa Arab. Bahasa Arab adalah buatan manusia, yakni bangsa Arab, dan menjadi konvensi mereka. Bukan berasal dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ ٤
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya (QS Ibrahim [14]: 4).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa bahasa kaumnya itu lebih dulu ada sebelum rasul diutus. Andai bahasa itu tawqîfiyah berasal dari Allah SWT, niscaya lebih dulu diutus rasul untuk menjelaskan bahasa itu kepada kaumnya. Jadi, keberadaan bahasa yang lebih dulu dari pengutusan rasul itu membuktikan bahwa bahasa bukan tawqîfiyah berasal dari Allah SWT, melainkan buatan dan konvensi kaum itu.
Memang Allah SWT berfirman:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ٣١
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya (TQS al-Baqarah [2]: 31).
Yang dimaksud adalah nama-nama benda, bukan bahasa. Artinya, Allah SWT mengajari Nabi Adam as. hakikat sesuatu dan karakteristiknya. Dengan kata lain Allah SWT memberi Adam informasi yang dia gunakan untuk menjustifikasi sesuatu.
Berdasarkan hal itu, bahasa Arab adalah buatan orang Arab yang mereka setujui penggunaannya. Dalam arti, lafal-lafal dalam bentuk kata, frase atau kalimat yang mereka buat dan menjadi konvensi mereka, mereka gunakan menunjukkan makna-makna tertentu.
Selama bahasa itu demikian sifatnya, maka jalan untuk mengetahui lafal-lafal bahasa Arab berikut makna dan dalâlah-nya tidak ada lain kecuali dengan jalan mengambilnya dari bangsa Arab sebagai pembuat dan pengguna bahasa itu. Jika mereka mengatakan bahwa lafal ini dibuat atau ditetapkan untuk menunjuk makna atau dalâlah begini, atau mereka katakan bahwa makna atau dalâlah begini ditunjukkan oleh lafal ini, maka hal itu diterima dari mereka secara bulat.
Jadi, metode mengambil bahasa Arab dari bangsa Arab adalah melalui periwayatan (riwâyah). Tidak ada jalan yang lain. Suatu lafal untuk bisa disebut sebagai bahasa Arab harus diriwayatkan dari bangsa Arab dengan riwayat yang bisa diterima, yakni penukilan yang mutawatir maupun khabar ahad.
Kebanyakan lafal bahasa Arab diketahui melalui riwayat mutawatir, yakni penggunaan lafal-lafal itu secara sangat luas oleh orang-orang Arab secara turun-temurun. Dengan itu tidak ada ruang keraguan sedikitpun bahwa lafal-lafal itu digunakan untuk menunjuk makna tertentu. Adapun sebagian kecilnya diketahui melalui khabar ahad atau penukilan secara ahad. Misalnya lafal-lafal yang diriwayatkan dari para sastrawan dan ahli bahasa seperti al-Asma’i, al-Khalil, al-Azhari, al-Jauhari dan semisal mereka. Sebagian lafal-lafal itu dihimpun oleh para ulama bahasa dalam berbagai mu’jam (kamus) bahasa Arab seperti al-‘Ayn karya al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H), Jamharah al-Lughah karya Ibnu Duraid, Ash-Shihâh fi al-Lughah karya al-Jauhari (w. 350 H), Tahdzîb al-Lughah karya al-Azhari, Al-Muhkam karya Ibnu Sayyidih, Al-Muhîth karya Shahib bin Ibad, An-Nihâyah karya Ibnu al-Atsir, Lisân al-Arab karya Ibnu Manzhur (w. 711 H), Al-Qâmûs al-Muhîth karya Fayruz Abadi dan semisalnya.
Lalu apakah riwayat asal bahasa Arab itu bisa diambil dari semua generasi bangsa Arab hingga sekarang? Menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (III/126), juga Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushul ilâ al-Ushûl (hlm. 116), al-wadh’u atau penetapan bahasa Arab itu adalah khusus bagi al-‘Arab al-Aqhâh (orang-orang Arab yang masih iqhâh (murni, genuine). Mereka adalah orang-orang Arab yang berbicara dengan bahasa Arab asli sebelum bahasa Arab (lisân al-‘Arab) itu mengalami kerusakan. Mereka itu masih berlangsung sampai akhir abad kedua Hijrah. Sebagian kabilah arab aqhâh yang tinggal di kampung/pedalaman dan lisan mereka tidak rusak masih berlanjut hingga abad keempat Hijrah.
Kriteria iqhâh itu juga memberi petunjuk kabilah Arab mana yang dari mereka diambil lisan (bahasa) Arab. Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menyebutkan, mereka adalah kabilah Quraisy, Tamim, Qays, Asad, Hudzail, bagian dari Kinanah dan Thaiy. Kepada kabilah-kabilah itulah disandarkan bahasa Arab dalam hal al-gharîb, i’râb dan tashrîf. Semua itu tidak diambil dari kabilah-kabilah lainnya, khususnya kabilah-kabilah yang tinggal bertetangga dengan bangsa-bangsa non-Arab. Di antaranya: Kabilah Lakham dan Judzam karena bertetangga dengan penduduk Mesir dan Qibthi; Kabilah Bakar karena bertetangga dengan Persia; Kabilah Qudha’ah, Ghasan dan ‘Ibad karena bertetangga dengan penduduk Syam; Penduduk Yaman karena bercampur dengan India adan Habasyah (Abissinia). Juga tidak dari ‘Abdu Qays dan Azad ‘Uman karena mereka tinggal di Bahrain bercampur dengan India dan Persia. Jadi pengambilan bahasa Arab dibatasi dari ketujuh kabilah tersebut.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]