Al-Haqîqah asy-Syar’iyyah adalah lafal yang ditetapkan oleh syariah untuk suatu makna. Lafal itu menunjukkan pada makna yang dimaksud secara langsung tanpa perlu adanya qarînah (indikasi).
Al-Haqîqah asy-Syar’iyyah itu ada di dalam syariah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama ushul dan fuqahâ’. Ada sebagian ulama ushul yang berpendapat bahwa al-haqîqah asy-syar’iyyah itu tidak ada. Sebagian ulama ushul yang lain berpendapat adanya al-haqîqah asy-syar’iyyah itu sebagai majaz. Artinya, penukilan ke makna syar’i-nya oleh syariah terjadi secara majazi.
Faktanya, isim-isim syar’i itu ada di dalam lafal-lafal syariah. Isim-isim syar’i itu terjadi dengan sifatnya sebagai hakikat spesifik yang berbeda dari hakikat lughawiyah. Isim-isim syar’i itu merupakan lafal yang ditetapkan oleh orang Arab. Lalu syariah datang dengan mengalihkan maknanya ke makna lain. Makna lain itulah yang menjadi terkenal.
Penukilan atau pengalihan oleh syariah atas lafal itu dari maknanya secara bahasa bukanlah dari sisi majaz, tetapi dari sisi penukilan hakikat ‘urfiyah. Sebab syariah tidak menukilkan maknanya ke makna kedua karena adanya hubungan di antara kedua makna itu sebagaimana yang menjadi syarat majaz. Apalagi kemudian menjadi terkenal dengan makna kedua.
Ini berbeda dengan majaz. Majaz merupakan lafal yang ditetapkan oleh orang Arab, kemudian maknanya dialihkan ke makna kedua karena adanya hubungan antara makna kedua dengan makna asalnya. Namun, makna kedua ini tidak menjadi lebih terkenal dari makna asal. Artinya, makna kedua atau makna baru yang dinukilkan itu tidak dominan atas makna asal. Karena itu penukilan oleh syariah atas isim syar’i ke makna kedua yang ditetapkan oleh syariah itu bukanlah majaz, melainkan hakikat syar’iyyah. Dalilnya, syariah mengalihkan makna asal—yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah—ke makna lain tanpa memperhatikan hubungan apapun di antara makna asal dengan makna baru sebagai hasil pengalihan tersebut. Artinya, syariah mengalihkan maknanya ke makna kedua baik di situ ada hubungan atau tidak ada hubungan.
Misalnya, kata ash-shalâh (shalat). Lafal shalâh ditetapkan oleh orang Arab dengan makna doa. Lalu syariah datang dan mengalihkan maknanya ke makna lain, yaitu perbuatan dan perkataan khusus yang dimulai dengan niat/takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, yang dilakukan secara tertib. Lafal ash-shalâh (shalah) itu juga digunakan untuk menyebut perbuatan yang di dalamnya tidak ada doa, yakni permintaan verbal, seperti shalatnya orang yang bisu yang tidak memahami doa di dalam shalat.
Contoh lain, lafal az-zakâh (zakat). Lafal az-zakâh ditetapkan oleh orang Arab untuk makna tumbuh dan bertambah. Lalu syariah datang dan mengalihkan maknanya ke makna lain, yaitu hak atau kewajiban yang telah ditetapkan kadarnya pada harta-harta tertentu. Lafal az-zakâh itu tetap digunakan pada harta yang berkurang dan tidak bertambah. Hal itu seperti penunaian zakat atas harta anak yatim yang dibekukan dan tidak dibisniskan. Tak diragukan lagi, harta anak yatim itu berkurang karena zakat.
Memang, ada kalanya antara makna asal dan makna yang dialihkan oleh syariah itu terdapat hubungan. Contohnya, lafal al-hajj (haji). Makna asalnya al-qashdu (tujuan), yakni perjalanan yang disengaja. Lalu syariah datang dan mengalihkan maknanya ke makna kedua, yakni tujuan khusus untuk tempat-tempat khusus pula. Contoh lain, lafafal ash-shiyâm (puasa). Makna asalnya adalah al-imsâk (menahan diri) secara mutlak. Lalu syariah datang dan mengalihkan maknanya ke makna lain, yaitu al-imsâk yang khusus.
Hanya saja, meskipun ada hubungan antara makna yang dinukilkan dan makna asalnya, hubungan itu tidak diperhatikan oleh syariah dalam pengalihan maknanya itu. Syariah juga tidak mengalihkan maknanya dari makna asal ke makna lain karena adanya hubungan itu. Orang yang mendengar isim-isim syar’i ini, yakni mendengar lafal ash-shiyâm atau al-hajj dsb, sama sekali tidak memahami hubungan itu dalam makna syar’i-nya. Apalagi hubungan itu tidak selalu ada.
Semua ini menunjukkan bahwa pengalihan makna oleh syariah atas suatu lafal dari makna asal bahasanya ke makna lain sehingga menjadi isim syar’i itu bukan dari sisi majaz, melainkan dari sisi hakikat.
Apalagi ada isim-isim syar’i yang dikenal oleh orang Arab, tetapi mereka tidak mengetahui maknanya yang ditetapkan oleh Asy-Syâri’. Misalnya, lafal ar-Rahmân untuk Allah SWT. Orang Arab tidak pernah menetapkan lafal ar-rahmân untuk Allah. Oleh karena itu, ketika diturunkan firman Allah SWT:
قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ
Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.” (QS al-Isra’ [17]: 110).
Ketika itu mereka berkata, “Kami tidak mengenal ar-rahmân kecuali rahmân al-yamâmah.”
Semua itu menunjukkan bahwa ada isim-isim yang ditetapkan oleh orang Arab untuk makna tertentu sebagai makna asalnya, lalu syariah datang mengalihkan makna asalnya itu ke makna lain, kadang ada hubungan antara makna hasil pengalihan tersebut dan makna asalnya dan kadang tanpa ada hubungan sama sekali. Dalam dua kondisi itu syariah tidak memperhatikan hubungan itu dalam pengalihan maknanya.
Ada pula isim yang ditetapkan oleh orang Arab untuk makna-makna secara mutlak. Lalu syariah datang dan mengalihkan makna asalnya ke makna tertentu. Juga ada isim yang lafalnya dikenal oleh orang Arab, tetapi tidak mereka ketahui dari sisi maknanya.
Semua ini menunjukkan bahwa isim syar’i itu ada dan terjadi di dalam lafal-lafal syariah. Pengalihan makna dari makna asal menjadi makna syar’i itu bukan secara majaz, melainkan merupakan hakikat. Dengan demikian hakikat syar’iyyah itu ada dan terjadi di dalam lafal-lafal syariah.
Hanya saja, suatu lafal, agar menjadi al-haqîqah asy-syar’iyiah, bergantung kpada pengalihan maknanya dari makna asal bahasanya ke makna baru oleh syariah. Artinya, penetapannya harus diambil dari Asy-Syâri’, yakni dari wahyu Allah SWT. Artinya, dari al-Kitab dan as-Sunnah, yakni dari penjelasan Rasul saw. untuk makna-makna yang dialihkan itu.
Isim-isim syar’i itu tetap merupakan bahasa Arab. Lafal-lafal syar’i itu asalnya dibuat oleh orang Arab, bukan dibuat oleh Asy-Syâri’. Hanya saja, orang-orang Arab menetapkannya untuk makna tertentu. Lalu syariah datang menggunakan lafal-lafal itu dalam makna lain yang berbeda dari makna asal yang ditetapkan oleh orang Arab itu. Berikutnya, orang-orang Arab pun menggunakan lafal-lafal yang maknanya telah dialihkan oleh syariah itu menjadi makna-makna syar’i itu. Dengan demikian lafal-lafal syar’i itu tetap merupakan bahasa Arab, sekaligus membuatnya menjadi hakikat syar’iyyah. Itu merupakan lafal yang maknanya dialihkan (al-manqûl), bagian dari klasifikasi lafal dari sisi ad-dâl wa al-madlûl. Artinya, ia termasuk jenis lafal yang ditetapkan asalnya untuk makna tertentu, lalu dialihkan maknanya ke makna lain, kemudian makna lain itu menjadi terkenal melalui penggunaan orang-orang Arab atas lafal itu dengan mengikuti penggunaannya oleh syariah.
Hakikat syar’iyyah itu merupakan hakikat lughawiyah, sama persis seperti hakikat ‘urfiyyah lughawiyah. Hakikat ‘urfiyyah merupakan lafal yang digunakan oleh orang Arab dalam makna lain selain makna asal yang ditetapkan. Lalu maknanya dialihkan melalui penggunaan mereka ke makna lain dan menjadi terkenal dan dominan dengan makna lain itu, sementara makna asalnya terhalang.
Demikian juga dengan hakikat syar’iyyah. Ia merupakan lafal yang digunakan oleh syariah pada makna yang berbeda dari makna asalnya. Setelah penggunaan oleh syariah, orang-orang Arab pun menggunakan lafal tersebut dengan makna yang digunakan oleh syariah itu.
Jadi lafal itu maknanya dialihkan melalui penggunaan oleh syariah, kemudian melalui penggunaan oleh orang-orang Arab, ke makna lain dan menjadi terkenal dan dominan dengan makna lain itu, sementara makna asalnya terhalang. Penggunaan orang-orang Arab itu untuk lafal syar’i berdasarkan penggunaan syariah itu, seperti penggunaan mereka untuk lafal itu secaa genuine (asli) dari mereka sendiri.
Hakikat syar’iyyah itu mencakup isim-isim yang telah dijelaskan di atas seperti lafal ash-shalâh (shalat), ash-shiyâm (puasa), al-hajj (haji), al-îmân (iman), dan sebagainya. Juga mencakup kata kerja (fi’l), sesuai dengan mashdar (gerund)-nya. Jika mashdar-nya merupakan hakikat syar’iyyah maka kata kerjanya juga merupakan hakikat syar’iyyah. Misalnya, kata kerja shallâ, hajja, shâma, âmana, dsb.
Hakikat syar’iyyah juga mencakupi ism fi’l, ism fâ’il (kata benda pelaku), ism maf’ûl (kata benda obyek) dan ism tafdhîl (kata benda superlatif).
Dalam memaknai suatu lafal maka pertama-tama harus dimaknai menggunakan hakikat syar’iyyah. Sebab hakikat syar’iyyah itulah yang langsung terlintas di dalam benak ketika mendengar lafal itu. Lafal itu tidak boleh dipahami menurut hakikat lughawiyyah wad’iyyah, atau makna asal bahasanya. Sebab makna itu sudah terhalang dan didominasi oleh hakikat syar’iyyah-nya. Lain halnya jika hakikat syar’iyyah tidak bisa digunakan karena adanya indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah hakikat lughawiyyah wadh’iyyah-nya. Berarti, makna lafal itu menurut hakikat lughawiyyah wadh’iyyahnya itu. Misalnya lafal yushallûna dan shallû di dalam QS al-Ahzab ayat 56. Maknanya adalah makna lughawinya, yakni doa.
WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]