Zuhud berasal dari zahida-yazhadu–zuhd[an] wa zahâdah. Bentuk pluralnya zuhâd. Menurut Ibn Darid, al-Jawhari, Ibn Manzhur, Abu al-Baqa’ al-Kafwami dan Zainuddin ar-Razi, secara bahasa artinya lawan dari menyukai (khilâf/dhiddu ar-raghbah).1 Menurut al-Jurjani, zuhud artinya meninggalkan kecenderungan pada sesuatu. Jika dikatakan zahada fî asy-syai’ menurut az-Zamakhsyari artinya berpaling darinya. Menurut al-Munawi, zuhud artinya minimnya kesukaan terhadap sesuatu atau tidak menyukainya. Murtadha az-Zabidi berkata, di dalam Al-Mishbâh artinya adalah meninggalkan sesuatu dan berpaling darinya. Di dalam Mu’jam al-Wasîth zuhud artinya berpaling darinya dan meninggalkannya untuk meghinakannya atau menjauhinya atau meminimalkannya.2 Menurut al-Khalil ibn Ahmad, az-zuhdu digunakan dalam konteks agama saja, sedangkan az-zahâdah dalam segala hal.
Al-Quran menyatakan kata zuhud hanya satu kali dengan makna bahasanya itu, yaitu dalam QS Yusuf [12]: 20.
Al-Jurjani dan al-Munawi menyatakan, “Dalam istilah ahli hakikat, zuhud adalah membenci (yakni tidak menyukai) dunia dan berpaling darinya. Dikatakan, zuhud adalah meninggalkan kelegaan dunia demi mencari kelegaan akhirat. Juga dikatakan, zuhud adalah mengosongkan hatimu dari apa-apa yang kosong dari tanganmu.”
Murtadha az-Zabidi menyatakan, “Guru kami menukil dari beberapa imam: yang paling shawâb tentang zuhud adalah mengambil kecukupan minimal dari apa yang diyakini kehalalannya dan meninggalkan yang lebih dari itu karena Allah SWT.”
Menurut Dr. M. Rawas Qal’aji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, zuhud adalah meninggalkan apa yang ada di dunia demi mengharapkan pahala di sisi Allah; atau hendaknya seseorang lebih mengharap apa yang ada di sisi Allah dari apa yang ada di tangannya.3
Mula al-Qari mengartikan zuhud di dunia dengan: meninggalkan keinginan terhadap dunia dan qanâ’ah dengan apa yang diberikan, tawaduk, tidak takabur dan tidak sombong. Hasilnya adalah meninggalkan pertemanan harta dan kemewahan.
Sikap zuhud di dunia itu disyariatkan. Namun, zuhud jangan sampai dipahami keliru. Pemahaman zuhud yang keliru dinilai turut berkontribusi terhadap kemunduran umat Islam, yaitu ketika zuhud dipahami sebagai sikap meninggalkan dunia dalam arti tidak mau terlibat dalam urusan duniawi, lebih memilih mengasingkan diri dan abai dengan pengaturan dan apa yang terjadi di masyarakat; atau dipahami sebagai sikap untuk meninggalkan atau menjauhi dunia dalam arti tidak perlu bekerja, berusaha atau berbuat demi urusan dunia. Akibatnya, kegiatan produktif dan inovatif pun lenyap. Akhirnya, kejumudan pun melanda masyarakat. Tentu zuhud keliru ini justru membahayakan masyarakat dan membuatnya mundur dan terpuruk.
Zuhud itu bukannya tidak mau makan makanan enak, makan daging, kue lezat, buah yang enak, atau tidak mau memakai pakaian baru, pakaian yang bagus, atau tidak berkendaraan dan tidak mau merasakan kemudahan duniawi lainnya. Allah sendiri menyukai hamba-Nya yang menampakkan atsar rezeki dan kenikmatan yang Dia berikan. Zuhud juga bukan menyia-nyiakan harta seperti dengan membiarkan harta rusak begitu saja, membuang ke sungai, membakarnya, atau membelanjakannnya secara tidak benar. Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi saw.:
Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia itu hendaknya apa yang ada ditanganmu tidak lebih engkau percayai (jadikan sandaran) dari apa yang ada di tangan Allah, dan hendaknya pahala musibah jika sedang menimpamu lebih engkau sukai daripada jika musibah itu tidak ditimpakan kepadamu (HR Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam riwayat lain dinyatakan, “Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan dengan menyia-nyiakan harta, tetapi hendaknya apa yang ada di tangan Allah lebih engkau jadikan sandaran daripada apa yang ada di tanganmu, dan hendaklah kondisimu sedang di timpa musibah dan ketika tidak ditimpa musibah adalah sama saja bagimu, dan hendaklah pujian orang yang memujimu dan yang mencelamu di dalam kebenaran adalah sama saja bagimu.” (HR al-Baihaqi).
Artinya, zuhud di dunia itu tercermin dalam tiga perkara4: Pertama, hendaknya seorang hamba lebih bersandar pada apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Ini tumbuh dari benar dan kuatnya keyakinan bahwa Allah menjamin rezeki hamba dan yang menjadi Penanggungnya. Dengan itu, ia tidak akan merasa berat hati melepaskan harta yang ada di tangannya. Dia tidak akan merasa sedih dan kehilangan dengan lepasnya harta dari tangannya. Harta dan dunia yang dia miliki baginya adalah sesuatu yang remeh dan kecil.
Dunia ini adalah perjalanan munuju Allah. Harta dan dunia tidak selayaknya menghambat perjalanan itu. Harta dan dunia itu adalah untuk memperbanyak bekal menemui Allah. Karena itu, selayaknya dunia hanya diambil untuk kepentingan diri sendiri seperti makan, minum, pakaian, kendaraan, kesenangan, dsb, dalam kadar sekadarnya saja; karena waspada agar tidak melenakan dan menyelewengkan dari tujuan. Karena itu, seorang zuhud akan sangat ringan bahkan dengan riang mengeluarkan harta di jalan kebaikan. Di sinilah para ulama menggambarkan ciri zuhud adalah ikhrâj (mengeluarkan), sedangkan ciri cinta dunia adalah imsâk (menahan). Karena itu, bagi orang zuhud akan sangat mudah, bahkan senang, menginfakkan harta yang banyak, separuh bahkan seluruh harta, dalam semua macam kebajikan, untuk kemajuan dakwah dan kemajuan Islam. Hal itu seperti yang dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf serta para Sahabat dan generasi umat dulu yang tidak lagi hitung-hitungan saat berinfak di jalan Islam. Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang punya harta, apakah ia orang yang zuhud? Beliau menjawab, “Jika dia tidak gembira karena bertambahnya harta dan tidak bersedih karena berkurangnya, ia seorang yang zuhud.”
Di sinilah Syaikh Abul Harits at-Tamimi mengatakan, “Seorang yang zuhud itu hendaknya dia menempatkan harta dan dunia di tangannya bukan di hatinya dan hendaknya dia mampu seketika kapan saja melepaskan perhiasan, harta, kedudukan atau apapun di antara bentuk perhiasan dan kelezatan dunia itu. Jadi, hatinya tidak terikat dengan sesuatu dari dunia. Jika Anda mempunyai sesuatu yang berharga, maka belajarlah untuk melepaskannya seketika itu tanpa penyesalan, berat hati atau rasa rugi. Begitulah zuhud terhadap apa yang Anda miliki.”
Jadi, zuhud itu dengan meninggalkan atau meminimalkan menikmati harta dan bentuk perhiasan dunia yang dimiliki atau yang mungkin dan bisa dimiliki, serta lebih banyak menggunakannya untuk menuju Allah, mendapatkan pahala dan meraih ridhaNya.
Kedua: bagi seorang zuhud kondisi sedang ditimpa musibah atau tidak, baginya sama. Ia akan tetap bersyukur dan bersabar; bersyukur karena terhindar dari musibah atau mendapat pahala saat ditimpa musibah; bersabar untuk tetap bersyukur, tak terlena dengan kemudahan dan bersabar saat terkena musibah. Bahkan ia lebih suka musibah itu tetap ada selama ia mendapat pahala dan keridhaan Allah. Az-Zuhri berkata, “Zuhud adalah bila yang halal tidak menghalanginya bersyukur dan yang haram tidak mengalahkan kesabarannya.”
Abu Said berkata, maksudnya adalah “bersabar atas yang haram (tetap meninggalkannya) dan bersyukur atas apa yang halal, mengakui hak Allah dan menggunakan kenikmatan di dalam ketaatan.”
Ketiga: pujian dan celaan tidak mempengaruhinya untuk tetap berada di atas kebenaran. Artinya, ia telah bisa menjauhkan hasrat akan pujian, prestise, kebanggaan, dsb, dari hatinya. Dengan itu, ia tak akan lupa diri karena pujian ataupun tambah semangat karenanya. Ia pun tidak kendor karena celaan atau tambah giat untuk membuktikan diri. Akan tetapi, ia berbuat semata karena pahala dan ridha Allah, giat dan bersemangat karena mengharap pahala dan ridha yang lebih banyak.
Zuhud yang demikian akan berpengaruh besar pada kebaikan dan kemajuan masyarakat. Sikap zuhud inilah yang harus dimiliki oleh para aktivis dan pejuang Islam. Di tangan seperti merekalah insya Allah pertolongan akan diturunkan oleh Allah. Niscaya dengan itu mereka akan dicintai Allah dan dicintai manusia. Nabi saw. bersabda:
Zuhudlah di dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya manusia mencintaimu (HR Ibn Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Allâhumma ij’alnâ min az-zâhidîn. [Yahya Abdurrahman] [vm]
Catatan kaki::
1 Lihat, Ibn Darid, Jumhurah al-Lughah; al-Jawhari, ash-Shihâh fi al-Lughah; Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab; Abu al-Baqa’ al-Kafwami, Kitâb al-Kulliyât; Zainuddin ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh. Semuanya pada bagian zahada.
2 Lihat, al-Jurjani, at-Ta’rifât; az-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah; al-Manawi, at-Ta’ârif; Murtadha az-Zabidi, Tâj al-‘Urûs; Ibrahim Mushthafa, dkk, Mu’jam al-Wasîth. Semuanya pada bagian zahada.
3 Lihat, al-Jurjani, at-Ta’rifât; al-Manawi, ; Dr. M. Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, 1/234
4 Lihat, Ibn Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1/289-dst, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Cet.1. 1408