مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ …
Siapa saja yang memusuhi wali-Ku maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku fardhukan atasnya. Tidaklah hamba-Ku terus-menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amal-amal nawafil hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang dia gunakan untuk menggenggam dengan kuat; dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku lindungi (HR al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis ini dari Muhammad bin Utsman bin Karamah. Ibn Hibban mengeluarkannya dalam Shahîh Ibn Hibbân dari Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim mawla Tsaqif dari Muhammad bin Utsman al-‘Ajali. Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ dari Abu Abdillah al-Hafizh dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya al-Muzakki, dari Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ishaq, dari Muhammad bin Utsman bin Karamah. Selanjutnya Muhammad bin Utsman bin Karamah dari Khalid bin Makhlad, dari Sulaiman bin Bilal, dari Syarik bin Abi Namirin, dari Atha’ dari Abu Hurairah.
Makna dan Faedah
Pertama: menurut Ibn Hubairah, ‘adâ lî waliyan maknanya ittakhadzahu ‘aduwan (menjadikannya musuh). Hadis ini menunjuk-kan bahwa perwalian Allah itu bisa dicapai dengan melaksanakan yang fardhu dan terus-menerus menambahnya dengan yang sunnah.
Kedua: Taqarrub yang paling dicintai Allah adalah melaksanakan yang fardhu, baik fardhu ain atau kifayah. Ath-Thufi mengatakan, “Perintah fardhu itu bersifat tegas dan meninggalkannya akan dijatuhi sanksi. Hal itu berbeda dengan amal nafilah. Meski sama-sama mendatangkan pahala, amal fardhu lebih sempurna karenanya menjadi amal yang paling dicintai Allah dan yang lebih mendekatkan diri kepadaNya. Fardhu itu seperti pokok atau pondasi, sedangkan amal nafilah seperti cabang atau bangunan.
Ketiga: Al-Fakihani berkata, “Makna hadis ini adalah jika seseorang menunaikan berbagai fardhu dan kontinu melaksanakan amal nawâfil baik shalat, puasa dan lainnya, hal itu akan mengantarkannya pada kecintaan Allah.”
Ibn Hubairah berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa amal nâfilah tidak boleh dikedepankan terhadap yang fardhu. Nâfilah disebut nâfilah (tambahan) karena datang sebagai tambahan terhadap yang fardhu. Karena itu, selama yang fardhu belum ditunaikan, tidak terealisasi nâfilah. Siapa yang menunaikan fâridhah, kemudian menambahnya dengan nâfilah dan melanggengkannya maka ia akan meraih maksud taqarrub.”
Dengan demikian, amalan nâfilah tidak boleh lebih dikedepankan atas amalan fardhu. Amalan sunah itu nantinya bisa menjadi pelengkap atas kekurangan fâridhah. Kelak pada Hari Penghisaban Allah berfirman kepada para malaikat:
اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِىْ مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهَا مَا اِنْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah sehingga melengkapi amal fardhu yang kurang, kemudian seluruh amalnya menurut yang demikian (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah).
Keliru jika seseorang lebih memperhatikan amalan sunnah, tetapi abai terhadap amal fardhu. Ibn Hajar al-‘Ashqalani menyatakan di dalam Fath al-Bârî, sebagian ulama besar mengatakan bahwa siapa yang fardhu lebih menyibukkan dia dari nâfilah maka dimaafkan, dan sebaliknya siapa yang nâfilah menyibukkan dia dari amal fardhu maka dia telah tertipu.
Amal fardhu yang merupakan taqarrub paling dicintai Allah itu tidak terbatas pada ibadah saja, melainkan meliputi semua apa yang difardhukan oleh Allah, baik fardhu ain maupun kifayah. Hal itu karena kata mâ dalam mâ iftaradhtu ‘alayh merupakan lafal umum sehingga mencakup semua yang fardhu. Kata an-nawâfil juga merupakan lafal umum sehingga mencakup semua amal sunah baik ibadah maupun di luar ibadah.
Aktivitas mencari nafkah bagi laki-laki, menuntut ilmu, amar makruf nahi mungkar, berpolitik memperhatikan dan memelihara urusan umat, berdakwah, dan amal-amal fardhu lainnya, semuanya merupakan aktivitas taqarrub yang paling dicintai oleh Allah. Tentu saja jika dilandasi kesadaran bahwa semua itu merupakan aktivitas yang difardhukan oleh Allah.
Di antara amal-amal fardhu itu, aktivitas dakwah dan perjuangan agar syariah diterapkan dalam bingkai Khilafah, realisasinya akan menentukan kesempurnaan kewajiban dan amal sunah lainnya; juga menentukan sempurnanya pencegahan dan penghilangan semua keharaman. Maka dari sini, aktivitas dakwah dan perjuangan menerapkan syariah dalam bingkai Khilafah itu merupakan aktivitas taqarrub yang sangat agung dan paling dicintai oleh Allah. Tentu saja sangat merugi orang yang melewatkan atau abai terhadapnya, apalagi yang menentang atau menghambatnya.
Keempat: Dengan menunaikan kewajiban dan terus menambah dengan yang sunnah maka akan mendapatkan kecintaan Allah. Dengan itu seorang Muslim akan menjelma jadi sosok yang ucapan, pendengaran, penglihatan, gerak tangan, langkah kaki, dan pikirannya akan selalu berada dalam koridor apa yang disukai dan diridhai oleh Allah. Dengan kedekatannya kepada Allah dan kecintaan kepda-Nya, maka permintaannya akan dipenuhi, doanya diijabah, dan dilindungi dan diberi pertolongan oleh Allah. Karena itu, para aktivis, pejuang dan pengemban dakwah bagi tegaknya syariah dan khilafah harus senantiasa menjaga pelaksanaan semua kewajiban, terus-menerus menambah-nya dengan amal sunnah dan menghindari segala kemaksiatan. Dengan itulah mereka dapat menjelma menjadi para kekasih Allah dan pertolongan pun segera Allah turunkan [Yahya Abdurrahman]
One comment
Pingback: Perbuatan Baik yang Dilakukan Seseorang ketika Masih Kafir Apakah Dihitung untuknya Jika Dia Masuk Islam? - Visi Muslim Media