Soal:
Banyak pihak mempertanyakan kedudukan Piagam Madinah, apakah merupakan konstitusi negara atau bukan? Jika merupakan konstitusi, mampukah piagam tersebut menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi oleh rakyat yang hidup di bawah Negara Islam pertama tersebut?
Jawab:
Dalam Al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah li al-’Ahdi an-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Rasyîdah (Dokumen Politik era Nabi dan Khilafah Rasyidah) yang ditulis oleh Muhammad Hamidullah, piagam tersebut jelas-jelas beliau nyatakan sebagai konstitusi negara.1 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh as-Sîrah.2 Hanya saja, apakah ini klaim, atau memang kenyataannya demikian, maka fakta piagam tersebut harus dilihat dengan seksama.
Dalam karya Hamidullah, dokumen tersebut berisi 47 poin. Al-Buthi meringkasnya menjadi 13 poin. Adapun Ibn Hisyam tidak mengklasifikasikannya per-poin, sebagaimana dokumen Hamidullah.3 Inti dari poin-poin tersebut adalah mengatur hubungan kaum Muslim dengan sesama Muslim, yaitu antara Muhajirin dan Anshar, serta antara kaum Muslim dan Yahudi. Kaum Yahudi memang perlu diatur tersendiri karena mereka merupakan komunitas tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Adapun kaum musyrik Madinah, karena telah tunduk pada pemerintahan Islam, dan melebur menjadi satu, maka mereka tidak lagi mempunyai pengaruh dalam pembentukan masyarakat baru di Madinah. Ini sangat berbeda dengan kaum Yahudi.4
Dokumen tersebut menyatakan:
هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النّبِيّ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ إنّهُمْ أُمّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ
Ini adalah dokumen dari Muhammad saw. untuk sesama orang Mukmin dan Muslim dari kalangan Quraisy, Yatsrib dan siapa saja yang mengikuti mereka, kemudian menyusul dan berjihad bersama mereka. Mereka dinyatakan sebagai satu umat, yang berbeda dengan umat manusia yang lain.
Dokumen tersebut kemudian menetapkan kewajiban kaum Mukmin dan Muslim dalam interaksi sesama mereka. Mereka adalah kaum Quraisy, kabilah Bani Auf, Bani Saidah, Bani Harits, Bani Jusyam, Bani Najjar, Bani Amru bin Auf dan Bani Aus.5
Ketika mengatur interaksi sesama mereka, dokumen tersebut juga menyebut keberadaan kaum Yahudi:
وَإِنّ ذِمّةَ اللهِ وَاحِدَةٌ يُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَدْنَاهُمْ وَإِنّ الْمُؤْمِنِينَ بَعْضُهُمْ دُونَ النّاسِ وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَاْلأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلاَ مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ
Jaminan Allah adalah satu. Mereka yang kuat wajib menolong yang lemah. Orang Mukmin harus saling melindungi satu sama lain, tanpa kecuali. Siapapun di antara orang Yahudi yang mengikuti kami, dia berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan. Mereka tidak boleh dizalimi dan tidak boleh melakukan tolong-menolong untuk mengalahkan mereka.6
Namun, Yahudi yang disebutkan di sini bukanlah Yahudi secara keseluruhan, melainkan siapa saja yang ingin menjadi rakyat Negara Islam Madinah, yang tunduk padanya, maka dia berhak diperlakukan sama dengan kaum Muslim.
Adapun Yahudi, sebagai komunitas tersendiri, mereka telah diatur dalam dokumen tersebut pada bagian terakhir:
وَإِنّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلاَّ مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لاَ يُوتِغُ إلاَّ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ
Orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum Mukmin. Orang-orang Yahudi tetap bebas menjalankan agama mereka dan kaum Muslim juga tetap bebas menjalankan agama mereka. Mereka harus saling melindungi, kecuali terhadap orang yang berbuat zalim dan durhaka. Sebab, perbuatannya itu tidak bisa membinasakan, kecuali terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.
Mereka terdiri dari berbagai kabilah yaitu Bani Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, Bani Tsa’labah, Bani Syutaiah dan Bani Aus.7 Pada awalnya, Bani Quraidzah, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’ belum meratifikasi perjanjian ini dengan Rasulullah saw. Namun, tidak lama kemudian mereka melakukannya, dengan ketentuan dan syarat yang sama.8
Memang, komunitas Yahudi ini mendiami kawasan di sekitar pusat Madinah. Namun, ketika mereka meratifikasi perjanjian ini dengan Rasulullah saw., mereka telah tunduk pada pemerintahan Islam, kecuali dalam urusan agama mereka. Mungkin karena itulah maka Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyimpulkan, bahwa mereka juga menjadi bagian dari rakyat Negara Islam Madinah.9 Ini diperkuat dengan klausul yang mengatur komunitas Yahudi dalam dokumen tersebut yang menyatakan:
وَإِنّهُ لاَ يَخْرَجُ مِنْهُمْ أَحَدٌ إلاَّ بِإِذْنِ مُحَمّدٍ
Tidak seorang pun di antara mereka dibolehkan keluar, meninggalkan Madinah, kecuali mendapatkan izin dari Muhammad saw.
Klausul ini sekaligus mengatur hubungan mereka dengan pihak lain di luar negeri.
Karena itu, al-Buthi, berkesimpulan bahwa piagam ini layak disebut konstitusi. Sebab, piagam tersebut berisi semua poin yang biasa digunakan oleh konstitusi modern untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam interaksi di antara sesama rakyat sebuah negara. Dengan kata lain, piagam ini telah memuat ketentuan umum tentang sistem negara, baik untuk mengatur urusan domestik maupun luar negeri.10
Hanya saja, tetap harus diakui, bahwa Piagam Madinah ini belum memuat semua pasal dalam sebuah konstitusi negara secara detail. Sebab, hukum Islam belum turun semua pada saat dokumen tersebut ditetapkan. Pada saat itu, masih banyak surah dan ayat al-Quran yang belum turun kepada Nabi. Ini bisa dimaklumi, karena ketika itu proses pewahyuan masih terus berlangsung. Namun demikian, untuk menyelesaikan kasus-perkasus yang terjadi di kemudian hari, baik antara kaum Muslim dan sesama mereka, maupun dengan orang Yahudi, dokumen tersebut menetapkan:
وَإِنّكُمْ مَهْمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَإِنّ مَرَدّهُ إلَى اللهِ عَزّ وَجَلّ وَإِلَى مُحَمّدٍ
Jika kalian berselisih dalam suatu urusan maka tempat kembalinya adalah Allah dan Muhammad.
Dalam klausul lain dinyatakan:
وَإِنّهُ مَا كَانَ بَيْنَ أَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ مِنْ حَدَثٍ أَوْ اشْتِجَارٍ يُخَافُ فَسَادُهُ فَإِنّ مَرَدّهُ إلَى اللهِ عَزّ وَجَلّ وَإِلَى مُحَمّدٍ رَسُولِ الله
Setiap kasus atau perselisihan yang terjadi di antara para pihak dalam dokumen ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah dan Muhammad, Rasulullah.11
Ini artinya, meski secara detail aturan pasal-perpasalnya belum dinyatakan dalam dokumen tersebut, dua klausul yang terakhir ini cukup untuk menyelesaikan setiap kasus yang akan terjadi di kemudian hari; tidak lain dengan kembali pada wahyu yang diturunkan kepada Nabi saw.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi, Piagam Madinah ini merupakan konstitusi sebuah Negara; juga tidak diragukan lagi, bahwa di dalamnya telah memuat aturan pokok dan garis besar sistem yang mengatur hubungan domestik dan luar negeri. Dengan klausul khusus yang menjadikan Allah dan Nabi saw. sebagai rujukan, maka meski dokumen tersebut belum mengatur semua urusan secara detail, tidak diragukan bahwa dokumen tersebut telah mampu menyelesaikan semua problem yang dihadapi oleh Negara Islam Madinah ini. Fakta ini, kata al-Buthi, sekaligus mematahkan klaim semua pihak yang tidak mengakui, bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi Negara; dan Madinah al-Munawwarah adalah Negara Islam pertama—Rasulullah saw. jelas-jelas dibaiat oleh rakyatnya sebagai kepala negara. Wallâhu a‘lam. [Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Muhammad Hamidullah, Al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah li al-’Ahdi an-Nabawi wa al-Khilafah ar-Rasyîdah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. VI, 1987, hlm. 57-64.
- Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh as-Sîrah, Dar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm. 204.
- Lihat, Hamidullah, Op. Cit. hlm. 57-64; al-Buthi, Op. Cit., hal. 204-205; Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, Beirut, cet. II, 1997, II/15-117.
- Lihat, an-Nabhani, ad-Dawlah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VII, 2002, hlm. 52.
- Ibn Hisyam, Op. Cit., II/115-117; Muhammad Hamidullah, Op. Cit., hlm. 57-64; Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Qirâ’ah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabawiyyah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hal. 108-109.
- Muhammad Hamidullah, Op. Cit., hlm. 60; Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Op. Cit., hal. 109.
- Ibid, hlm. 61; Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Op. Cit., hlm. 109.
- An-Nabhani, Op. Cit., hlm. 54.
- Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Op. Cit., hlm. 109.
- Al-Buthi, Op. Cit., hlm. 205-206.
- Muhammad Hamidullah, Op. Cit., hlm. 61-62.
One comment
Pingback: Khilafah dan Jejak Abadi Seorang Sahabat Nabi (1) - Visi Muslim Media