Tafsir QS Al-Ikhlas [112] Ayat 1-4
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS al-Ikhlas [112]: 1-4).
Sabab an-Nuzûl
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, dari Ubay bin Kaab ra., bahwa kaum musyrik pernah berkata kepada Nabi saw, “Wahai Muhammad, sebutkanlah nasab Tuhanmu kepada kami!” Lalu Allah SWT menurunkan surat ini. Riwayat senada juga disampaikan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Abu Ya’la meriwayatkannya dari Jabir ra.1
Keutamaan Surat al-Ikhlas
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang dikirim dalam sebuah sariyah (ekspedisi perang). Dia membaca al-Quran dalam shalat dengan teman-temannya, lalu dia menutupnya dengan surat ini. Setelah kembali, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia mengerjakan itu.” Mereka pun bertanya kepada orang itu, lalu dia menjawab, “Karena itu sifat Ar-Rahmân dan aku senang membacanya.” Kemudian beliau bersabda, “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah SWT mencintainya.”
Dari Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari Anas ra., pernah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya saya mencintai surat ini (Qul huwal-Lâh Ahad dst).” Rasulullah saw. bersabda, “Kecintaanmu terhadapnya memasukkanmu ke dalam surga (lafal hadis dari Imam Ahmad).”
Imam al-Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlas) itu setara dengan sepertiga al-Quran.”
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qul huwal-Lâh Ahad (Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”). Perintah Qul dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Apabila dikaitkan dengan sabab nuzûl-nya, perkataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai sifat Tuhan yang beliau dakwahkan. Perintah itu juga berlaku bagi seluruh umatnya, sebab khithâb al-Rasûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasul, juga seruan kepada umatnya).
Dalam ayat ini, beliau dan umatnya diperintahkan untuk mengatakan: Huwal-Lâh Ahad; bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah dan Allah itu hanya satu. Sebab, kata ahad bermakna wâhid (satu).2 Bahkan ditegaskan al-Baghawi, tidak ada perbedaan makna antara ahad dengan wâhid.3
Kendati sama-sama menunjuk pada jumlah satu, menurut sebagian mufassir ada perbedaan di antara keduanya. Dinyatakan oleh al-Azhari bahwa sifat ahadiyyah hanya digunakan untuk Allah. Sebagai buktinya, tidak dikatakan rajul ahad wa dirhâm ahad, tetapi dikatakan rajul wâhid wa dirhâm wâhid.4 Pendapat senada juga dikemukakan Tsa’lab.5
Mengenai pengertian ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Katsir memaparkan, “Dialah al-Wâhid al-Ahad; tidak ada yang setara dan pembantu; tidak ada sekutu, yang serupa dan sepadan dengan-Nya. Ungkapan ini tidak diucapkan kepada siapa pun kecuali Allah Azza wa Jalla. Sebab, Dia Mahasempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.”6
Dalam ayat berikutnya kemudian ditegaskan: Allâh ash-Shamad (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dijelaskan az-Zamkhsyari dan asy-Syaukani, kata ash-shamad merupakan fi’l yang bermakna maf’ûl.7 Menurut asy-Syaukani, kata tersebut seperti halnya kata al-qabdh yang bermakna al-maqbûdh (yang digenggam). Kata ash-shamad pun demikian, bermakna al-mashmûd ilayhi, yakni al-maqshûd ilayhi (yang dituju). Jadi, makna ash-shamad adalah al-ladzî yushmadu ilayhi fî al-hâjat (pihak yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai kebutuhan). Hal itu disebabkan karena keberadaan-Nya yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan.8Penjelasan yang sama dikemukakan al-Qurthubi, al-Sa’di, dan al-Zuhaili.9
Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga berpendapat demikian. Menurutnya, pengertian ini sejalan dengan QS an-Nahl [16]: 53. 10
Selain makna itu, ada beberapa makna ash-shamad yang disampaikan oleh para mufassir. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam riwayat lain, Said bin Jubair, Mujahid, al-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan al-Hasan, kata ash-shamad berarti Zat yang tidak lapar. asy-Sya’bi juga memaknainya sebagai Zat yang tidak makan dan tidak minum.11
Abu Aliyah memaknai ash-shamad sebagai Zat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sebab, tidak ada yang beranak kecuali dia diwarisi; dan tidak ada yang diperanakkan kecuali dia akan mati. Allah SWT pun memberitakan kepada kita bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak beranak.12 Ubay bin Kaab juga berpendapat bahwa makna ash-shamad dijelaskan oleh ayat sesudahnya: Lam yalid walam yûlad; walam yakun lahu kufuw[an] ahad.13 Penafsiran lain diberikan Qatadah dan al-Hasan. Keduanya mengatakan bahwa ash-shamad bermakna al-bâqi (yang kekal).
Kendati demikian, sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, penafsiran yang lebih tepat adalah yang sesuai dengan makna yang telah dikenal oleh orang yang bahasanya digunakan al-Quran. Menurut orang Arab, makna ash-shamad adalah as-sayyid yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran; dan tidak ada seorang pun yang di atasnya.14
Dikatakan juga oleh Ibnu Anbari bahwa tidak terdapat perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa ash-shamad adalah as-sayyid yang tidak ada lagi seorang pun di atasnya, yang semua manusia bersandar kepada-Nya dalam semua urusan dan kebutuhan mereka.15
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Lam yalid walam yûlad (Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan). Ayat ini memberikan pengertian bahwa tidak lahir dari-Nya anak; Dia juga tidak lahir dari sesuatu apa pun.16 Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa disebutkan lam yalid karena tidak ada yang sejenis dengan-Nya sehingga bisa dijadikan oleh-Nya sebagai istri, kemudian dari mereka lahirlah anak. Makna ini juga ditunjukkan oleh QS al-An’am [6]: 101.17
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata lam, bukan berarti hanya menafikan masa lampau. Sebab, ayat tersebut berlaku abadi. Demikian pula nafiy dalam ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi, digunakannya kata lam karena merupakan jawaban atas ucapan mereka mengenai anak Allah SWT (QS ash-Shaffat [37]: 151-152).
Kemudian surat ini diakhiri dengan firman-Nya: walam yakun lahu kufuw[an] ahad (dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya). Maknanya, Allah Yang Maha Esa itu tidak ada yang menandingi atau menyamai-Nya. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kata al-kufu’ wa al-kufâ wa al-kifâ’ dalam bahasa Arab memiliki satu makna, yakni al-mitsl wa asy-syibh (semisal dan serupa).18 Itu berarti, tidak ada satu pun yang setara, sepadan, semisal atau sebanding dengan-Nya.
Gambaran Tentang Tauhid
Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong singkat, hanya terdiri empat ayat. Kendati begitu, kandungan isinya amat padat. Keimanan kepada Allah SWT yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan amat gamblang. Tidak mengherankan jika Rasulullah saw. menyebut surat ini setara dengan tsuluts al-Quran (sepertiga al-Quran).
Dalam surat ini terdapat pelajaran penting. Setidaknya ada tiga perkara penting yang perlu ditandaskan kembali. Pertama: asmâ’ (nama) Tuhan yang patut disembah. Sebagaimana telah diungkap, surat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai Tuhan yang disembah Rasulullah saw. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Huwal-Lâh (Dia adalah Allah). Allah adalah nama Zat Pencipta alam semesta ini. Menurut al-Biqa’, nama ini—yakni Allah—menunjuk semua sifat kesempurnaan: al-Jalâl wa al-Jamâl. Nama ini juga mencakup seluruh makna al-asmâ’ al-husnâ.19 Bahwa nama Rabb al-‘âlamîn adalah Allah, amat banyak disebut dalam al-Quran. Dengan nama itu pula manusia diperintahkan untuk memanggil dan berdoa kepada-Nya (QS al-Isra’ [17]: 110).
Oleh karena itu, manusia hanya boleh menyebut-Nya dengan nama yang telah diberitakan-Nya, yakni: Allah, Ar-Rahmân, atau al-asmâ’ al-husnâ lainnya. Manusia tidak boleh memanggil-Nya dengan nama lain yang dibuat sendiri (QS Yusuf [12]: 40).
Kedua: tawhîdul-Lâh atau (pengesaan terhadap Allah). Secara tegas dalam surat ini disebutkan bahwa Allah SWT itu Ahad. Dia hanya satu, bukan dua, tiga, atau lebih sebagaimana yang lazim diklaim oleh kaum kafir. Perkara ini amat banyak diberitakan dalam ayat al-Quran. Bahkan perkara ini didakwahkan oleh semua nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengajak pada tauhid (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 25; asy-Syura [42]: 13).
Keesaan Allah juga ditegaskan dalam ayat: lam yalid walam yûlad; bahwa Allah tidak memiliki anak; tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya; tidak ada pula yang diangkat dan dijadikan sebagai anak-Nya (lihat QS al-Isra’ [17]: 111; Yunus [10]: 68).
Keesaan Allah disebutkan dalam firman-Nya: walam yakun lahu kuffuw[an] ahad; bahwa tidak ada yang sama, serupa, sejenis, setara atau sebanding dengan-Nya. Dia berbeda dengan semua makhluk-Nya (QS al-Syura [42]: 11).
Perkara tauhid ini merupakan perkara paling mendasar yang harus diimani oleh setiap manusia. Siapa pun yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak atau ada yang setara dengan-Nya, maka dia telah terjatuh dalam kekufuran dan kesyirikan. Jika dicermati, semua agama selain Islam dalam konsep ketuhanannya telah terjatuh dalam kesalahan mendasar ini. Di antara agama itu ada yang menganggap selain Allah sebagai tuhan, tuhan lebih dari satu, atau ada makhluk yang setara dengan-Nya; tidak terkecuali agama yang sebelumnya dibawa oleh para nabi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama itu pun dikotori hawa nafsu manusia sehingga terjatuh dalam kesyirikan. Yahudi menyebut Uzair sebagai anak Allah. Nasrani menyebut Isa sebagai anak Allah (lihat QS at-Taubah [9]: 30; al-Maidah [5]: 72). Isa sendiri tidak pernah mengatakan perkataan batil itu (lihat QS al-Maidah [5]: 116).
Dalam al-Quran cukup banyak ayat memberikan bantahan atas kebatilan anggapan Tuhan lebih dari satu. Dalam QS al-Anbiya’ [21]: 22 ditegaskan, seandainya ada banyak tuhan selain Allah, maka langit dan bumi akan binasa.
Orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak, atau menyekutukan-Nya dengan yang lain telah diancam dengan hukuman yang amat keras. Apabila mati dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni (lihat QS al-Nisa [4]: 48, 111). Surga diharamkan atas mereka. Neraka adalah tempat kembali mereka di akhirat; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (lihat QS al-Maidah [5]: 72-73).
Ketiga: kesempurnaan sifât Allah. Dalam surat ini disebutkan bahwa Allah itu ash-shamad. Dalam al-Quran, kata ini hanya disebut dalam surat ini. Jika dicermati, sifat ini memiliki cakupan makna yang amat luas sekaligus meniscayakan adanya sifat-sifat lainnya. Sebagaimana telah dipaparkan, kata ini mengandung pengertian bahwa Dia adalah as-sayyid tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi. Artinya, Dia memang Mahatinggi (Al-‘Aliyy), Mahaagung (Al-‘Azhîm) dan semua sifat lainnya yang menunjukkan ketinggian-Nya.
Kata ash-shamad juga mengandung makna bahwa Dia tidak memerlukan yang lain. Itu berarti, sebagaimana diterangkan az-Zamakhsyari, Dia adalah Al-Ghaniyy (Mahakaya, tidak butuh terhadap yang lain).20 Karena tidak membutuhkan yang lain, berarti Dia juga Al-Qadîr (Mahakuasa), Al-Qawiyy (Mahakuat), Al-‘Azîz (Mahaperkasa), Al-Hayy (Mahahidup) dan semua sifat yang menunjukkan kekuatan-Nya.
Allah juga menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi semua makhluk-Nya. Dialah yang menciptakan semua makhluk-Nya (Al-Khâliq), menghidupkan mereka (Al-Muhyî), memberikan rezeki kepada mereka (Ar-Razzâq, Ar-Razîq) dan menolong hamba-Nya (An-Nâshir) serta semua semua sifat lainnya yang menunjukkan bahwa Dia menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi seluruh hamba-Nya. Dengan demikian, hanya kepada-Nyalah manusia beribadah dan bermohon.
Walhasil, surat ini memberikan gambaran amat jelas mengenai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana disimpulkan Abdurrahman as-Sa’di, surat ini mencakup tawhîd al-asmâ’ wa al-shifât.21 Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/527 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, VI/460 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998); al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/244 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003); Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/529 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX//464 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
3 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992).
4 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/515-516 (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/529.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/527-528.
7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/460; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
8 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516
9 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245, al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Riyad: Muassasah al-Risalah, 2000), 504; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/465 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (Makkah: al-Risalah, 2000), 691; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/691.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 692
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
17 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/ 461.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/694.
19 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar.
20 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/461.
21 Az-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 504.