Sejak dahulu kala, media telah memainkan peran penting dalam membentuk dan mengarahkan kesadaran publik ke arah yang disukai oleh negara, serta dalam membentuk opini umum masyarakat terhadap suatu isu atau gagasan yang ingin ditonjolkan atau dilawan. Di kalangan Arab dahulu, syair merupakan media yang sangat berpengaruh dan memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat. Para penyair besar mendapat tempat istimewa dalam struktur sosial karena pengaruh mereka yang diidamkan oleh sebagian orang dan ditakuti oleh yang lain.
“Berapa banyak orang yang tak dikenal ditinggikan ke puncak kemuliaan oleh bait pujian dari penyair fasih—
Seperti Bani Anf dan Hurm, atau yang dikenal sebagai pemilik topi (al-Muhallaq).
Dan berapa banyak pula yang direndahkan oleh syair satir—orang-orang mulia dengan kedudukan tinggi—
Seperti al-Rabi’ dan Bani al-‘Ajlan, bersama Bani Namir yang tercela.”
Orang Arab sangat menjunjung tinggi fanatisme kesukuan. Jarang sekali ada orang yang tidak bangga terhadap kabilahnya, kecuali karena cela atau aib yang menodai mereka, seperti Bani Anf al-Naqah (Anf unta) yang hina, namun mereka terangkat martabatnya karena syair:
“Kaum yang menjadi kepala, sementara yang lain hanyalah ekor—
Siapa yang bisa menyamakan kepala unta dengan ekornya?”
Atau seperti bagaimana penyair Jarir menjatuhkan Bani Namir—yang dahulu merupakan kebanggaan banyak orang:
“Palingkan pandanganmu, karena engkau berasal dari Namir—
Engkau tidak sampai derajat K’ab, bahkan tidak juga kepada Kilab.”
Para pemimpin Arab sebelum Islam memiliki para penyair yang memuji kekuasaan dan kejayaan mereka, serta mencela musuh-musuh mereka. Syair mereka menyebar luas di tengah masyarakat, dan inilah yang diinginkan para raja. Maka para penyair tersebut mendapat penghormatan besar dari para raja dan pemimpin.
Hassan bin Tsabit termasuk di antara mereka. Ia biasa datang ke istana para raja Ghassan dan mendapatkan keuntungan dari syairnya. Ketika Islam datang, ia mengabdikan syairnya untuk membela dan menyebarkan Islam, serta menyerang musuh-musuhnya dengan lisan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Hujatlah Quraisy, karena itu lebih menyakitkan bagi mereka daripada tusukan panah.”
Lalu beliau memanggil Ibnu Rawahah, kemudian Ka’ab bin Malik, hingga akhirnya Hassan bin Tsabit dipanggil. Ketika Hassan datang, ia berkata, “Sudah waktunya kalian memanggil singa ini yang mengayunkan ekornya,” lalu menjulurkan lidahnya dan menggerakkannya, seraya berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh akan kululuh-lantakkan mereka dengan lisanku sebagaimana kulit diluluh-lantakkan dengan pisau.”
Rasulullah SAW berkata:
“Jangan tergesa-gesa. Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang paling tahu tentang nasab-nasab Quraisy, dan aku memiliki hubungan nasab dengan mereka. Biarkan Abu Bakar menjelaskan kepadamu.”
Hassan lalu datang kembali dan berkata:
“Wahai Rasulullah, nasabmu telah aku pahami. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku akan mencabut mereka darimu sebagaimana rambut dicabut dari adonan.”
Aisyah berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Hassan: ‘Ruhul Qudus akan senantiasa mendukungmu selama engkau membela Allah dan Rasul-Nya.’”
Beliau juga bersabda: “Hassan telah menyerang mereka, dan ia menyembuhkan serta menyenangkan hati kita.” (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga memerintahkan pembunuhan terhadap sejumlah penyair kafir karena dampak pengaruh mereka terhadap umat Islam, seperti Ka’ab bin Asyraf dan dua penyanyi wanita di Mekah saat penaklukan, yang juga diperintahkan untuk dibunuh.
Media Masa Kini dan Perubahan Teknologi
Kini, kita hidup di era percepatan teknologi. Pada awal zaman teknologi modern, media adalah milik negara: radio, televisi, dan surat kabar milik pemerintah, baik resmi maupun semi-resmi. Namun, seiring waktu, muncul kebutuhan akan media “independen” yang justru didukung negara, lalu muncullah media sosial—media yang kuat dan bebas dari segala kendali, bahkan terkadang diarahkan untuk kepentingan tertentu.
Negara-negara kini menghadapi tantangan besar dalam mengendalikan beragam jenis media ini. Negara-negara di kawasan Muslim cenderung memiliki pendekatan seragam: mempertahankan media pemerintah meskipun kalah bersaing dengan media swasta dan media sosial. Kekuatan media pemerintah merosot drastis karena dulu hanya mereka satu-satunya sumber informasi, sementara kini, publik memiliki banyak pilihan.
Negara sadar bahwa media pemerintah memiliki batas pengaruh yang rendah, karena dibelenggu oleh birokrasi, korupsi, serta rendahnya penerimaan publik terhadap para penguasanya. Maka, lahirlah langkah selanjutnya: melahirkan media “independen” melalui regulasi baru, dengan tokoh-tokoh dari kalangan politisi dan lainnya, yang sejatinya masih terikat pada negara namun tidak terlihat publik.
Media ini tampil berbeda: berita-beritanya tidak terlalu menyoroti pemimpin dan pemerintah, programnya lebih berani, narasumbernya beragam, dan jurnalisnya lebih “profesional” dan terbuka. Jika berbentuk hiburan, maka acaranya lebih bebas secara moral, dengan tokoh-tokoh yang kontroversial, film, lagu, hingga iklan yang mencolok. Bila berbentuk religi, maka menampilkan sisi agamis dari pembawa acara atau konten, meskipun telah dikemas untuk segmen tertentu.
Media-media ini membangun popularitas bagi individu-individunya, yang sering diundang ke acara internasional, seminar, atau wawancara, agar mendapat kepercayaan publik lebih luas.
Namun tetap saja, orang-orang di balik media ini adalah pendukung sistem pemerintahan. Jika pun mengkritik, mereka tetap tidak keluar dari bingkai sistem. Tak mengejutkan jika semua media ini diawasi oleh lembaga negara untuk memastikan arah kerjanya sejalan dengan kebijakan negara.
Jika ada negara yang berhasil membawa medianya menembus kawasan regional, hingga mendapat pemirsa di luar negerinya, maka ia telah mencetak prestasi besar di hadapan para tuannya di Barat.
Media Sosial: Ancaman dan Peluang
Media sosial kini hadir di setiap rumah dan menarik perhatian seluruh kalangan. Maka, semua pihak yang ingin mempengaruhi publik berlomba membuat kanal, influencer, youtuber, dan sebagainya—termasuk rezim penguasa. Mereka tidak hanya membuat kanal resmi, tetapi juga merangkul kanal lain untuk memastikan semua konten tetap dalam garis kebijakan sistem.
Namun, media sosial memiliki celah keamanan yang sulit dikendalikan rezim, dalam dua bentuk:
- Kelompok Anti-Sistem: Mereka bukan hanya oposan, tapi menolak keberadaan sistem. Mereka membentuk opini baru dan menggoyang narasi kolektif buatan penguasa. Maka negara menyikapinya dengan pemblokiran, meski dampaknya kecil.
- Akun Rakyat Biasa: Orang-orang kini lebih berani mengungkapkan isi hati di media sosial. Bahkan ada yang diam-diam mendukung perubahan sistem. Ini menjadi tantangan berat, sehingga negara menciptakan hukum siber dan melakukan intimidasi agar rakyat takut bersuara.
Dengan segala itu, negara-negara membentuk sistem media yang “kokoh”, untuk mengontrol kesadaran publik, mengatur perasaan mereka agar tidak melukai negara saat krisis, serta menanamkan budaya dan narasi yang mendukung keberlangsungan kekuasaan mereka.
Contoh Nyata: Perang Gaza (Operasi Badai al-Aqsha)
Dalam perang Gaza, sistem media terbagi dua: satu mendukung perlawanan, dan satu lagi secara tersirat mendukung narasi sebaliknya. Rakyat lari dari media yang tidak mendukung Gaza, dan terpaut dengan media yang membela Gaza, baik lokal maupun regional.
Media jenis pertama menggambarkan kekuatan militer mujahidin di Gaza sebagai sangat tangguh, mampu menghadapi Israel sendirian, cukup dengan sedikit bantuan logistik dari luar. Padahal, Israel sudah mengerahkan kekuatan militer besar dan mendapat dukungan penuh dari Amerika, Eropa, dan rezim Arab.
Media kemudian mengalihkan perhatian publik ke isu kemanusiaan: kehancuran, pengungsian, kelaparan, dan jenazah di jalanan. Media berhasil mengarahkan publik untuk hanya mengirim bantuan dan doa, bukan bantuan militer atau tekanan kepada militer negeri-negeri Muslim untuk bergerak.
Media menyesatkan publik dengan mendorong solusi politik dan negosiasi, hingga para pemimpin yang sebenarnya pengkhianat justru dipuja seolah penyelamat. Rakyat dilupakan bahwa tak ada solusi hakiki kecuali dengan menegakkan hukum Allah.
Pelajaran Bagi Masa Depan
Ketertarikan rakyat terhadap media selama perang Gaza sangat tinggi, terutama pada aplikasi yang menyediakan siaran langsung dan berita cepat. Kelemahan media pemerintah sangat terlihat.
Ini pelajaran berharga bagi para pejuang perubahan: bahwa media memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran publik. Maka, di negara Islam kelak, wajib memberikan kebebasan kepada lembaga media resmi untuk bekerja, dengan struktur baru di bawah para politisi yang memahami media, dan direstrukturisasi untuk mendukung tujuan Islam.
Semua media harus disesuaikan dengan sistem Islam—tanpa pengawasan ketat—namun tetap tunduk pada kebijakan negara Islam dan aturan umumnya, serta tetap dalam kerangka penyebaran dakwah dan hukum Islam.
Penutup
Timur Tengah sedang mengalami gejolak besar. Kita memohon kepada Allah agar krisis ini berakhir dengan tegaknya negara Islam yang agung—Khilafah Rasyidah—dan Allah memberi pertolongan kepada para pengembannya. Karena setiap aspek kehidupan—termasuk media—perlu dikembalikan ke jalur yang benar. [Abu Salim Al-Hasan – Palestina]
Sumber : Al-Wa’ie