(Tafsir Surat an-Nisa’: 138-139)
}بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ~ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا {~
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (Q.S. An-Nisa’: 138-139)
Tafsir Ayat:
Allah Swt. menyatakan kepada Rasulullah saw. agar beliau memberitahukan “kabar gembira” kepada orang-orang munafik, yaitu azab yang sangat pedih (Basysyir al-munâfiqîn bianna lahum ‘adzâb[an] alîma). Allah sengaja menggunakan kata basysyir (beritahukanlah “kabar gembira”). Hanya saja, “kabar gembira” yang disampaikan kepada mereka bukannya pahala atau surga, melainkan azab. Penggunaan kata basyârah (kabar gembira) dalam konteks seperti ini merupakan uslûb tahakkum (gaya bahasa sarkasme),[1] dengan maksud untuk menghina mereka. Padahal azab yang akan ditimpakan kepada mereka adalah azab yang sangat pedih, sebagaimana yang dinyatakan dengan kata ‘alîm (sangat pedih) yang merupakan bentuk mubâlaghah (klimaks), yang dimaksud tidak lain adalah neraka jahannam. Allah Swt. kemudian menjelaskan ciri kemunafikan mereka, yaitu mereka menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dan teman setia dengan meninggalkan orang-orang Mukmin (al-ladzîna yattakhidzûna al-kâfirîna awliyâ’ min dûni al-mu’minîn). Menurut Ibn al-‘Abbas, orang-orang kafir yang dijadikan pelindung dan teman setia orang-orang munafik—dalam konteks turunnya ayat—ini adalah Yahudi Bani Qaynuqa’.[2] Mereka beranggapan, kemuliaan (kekuatan dan kemenangan) itu akan berpihak kepada orang kafir, sehingga mereka menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dan teman setia. Namun, anggapan tersebut dibantah oleh Allah dengan istifhâm inkâri (pertanyaan retoris): apakah mereka mencari kemuliaan pada mereka (orang-orang kafir itu) (ayabtaghûna ‘indahum al-‘izzah)?[3] Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban, karena jawabannya sudah jelas. Sebab, mustahil mereka bisa menemukan kemuliaan tersebut pada orang-orang kafir. Sesungguhnya kemuliaan itu semuanya hanya milik Allah (fainna al-‘izzata li Allâhi jamî’a). Dalam kalimat tersebut, Allah menggunakan huruf fa at-ta‘qîb (untuk menyatakan sebab), yang mempunyai konotasi “menjelasan alasan” penolakan Allah terhadap kemustahilan mencari kemuliaan pada selain Allah.[4] Dengan begitu, seakan-akan Allah hendak menyatakan, “Mungkinkah mereka mencari kemuliaan pada mereka (orang-orang kafir)?” Jawabannya, “Tentu, tidak mungkin.” Sekalipun jawaban ini tidak dinyatakan secara eksplisit, dengan pertanyaan yang berbentuk penegasian itu orang pasti bertanya, “Mengapa tidak mungkin?” Karena itu, Allah menjelaskan alasan-Nya, “Sebab, sesungguhnya kemuliaan itu semuanya hanya milik Allah (fainna al-‘izzata li Allâhi jamî‘a).” Allah menegaskan alasan-Nya dengan menggunakan huruf ta’kîd (stressing/ penegasan) inna dan lâm li hashr (yang berfungsi untuk mengkhususkan), yaitu li Allâh (hanya milik Allah); ditambah lagi dengan al li al-istighrâq (yang berfungsi menyedot) pada kata al-‘izzah (semua kemuliaan); dan dikuatkan lagi dengan kata jamî‘a (semuanya). Semua itu semakin menguatkan kesan bahwa seluruh kemuliaan—baik yang ada di langit dan bumi maupun di dunia dan akhirat—hanya milik Allah.
Memang disebutkan pula bahwa kemuliaan itu ada pada selain Allah, seperti Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya:
وَِللهِِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ ~
Kemuliaan itu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8).
Akan tetapi, kemuliaan tersebut merupakan pancaran dan anugerah dari Allah.[5] Inilah secara umum tafsir surat an-Nisa’ (4) ayat 138-139 di atas.
Wacana Tafsir: Hakikat Nifâq dan Kemuliaan (al-‘Izzah)
Nifâq diambil dari kata nafiqâ’ bukan dari nafaq. Nafiqâ’ adalah salah satu ruang bagi yarbû’ (jerboa), binatang sejenis tupai, yang sebagian ruangannya ditutupi, sementara sebagian yang lain dibuka. Kata nifâq dengan konotasi seperti ini sangat populer di kalangan orang Arab. Al-Quran memberikan konotasi lain, yaitu “di dalam Islam mempunyai wajah yang berbeda dengan di luar Islam” atau munafik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَاخَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Sebaliknya, bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian; kami hanyalah berolok-olok.” (QS al-Baqarah [2]: 14).
Konotasi kata nifaq tersebut sebelumnya belum pernah dikenal oleh orang Arab. Artinya, istilah dan konotasi tersebut benar-benar merupakan istilah syar‘î yang diperkenalkan oleh Islam.[6] Dengan demikian, nifâq adalah sikap menyembunyikan apa yang ada dalam hati (batin) yang berbeda dengan apa yang ada di permukaan (lahir).[7] Dalam hal ini, taqiyyah—sekalipun ada taqiyyah yang kemudian dibolehkan, sedangkan nifâq tidak—termasuk bentuk nifâq. Orangnya disebut munâfiq. Menurut al-Jurjani, munâfiq adalah orang yang memberikan kesaksiannya sebagai orang yang beriman dan melaksanakan perintah dan larangan Allah, tetapi tidak meyakininya.[8]
Orang munafik memang kata-kata dan janjinya sulit dipercaya. Di samping itu, mereka adalah para pengkhianat yang tidak pernah amanah.[9] Mereka adalah orang-orang oportunis yang menjilat sana-sini untuk mencari peluang demi keuntungan pribadi mereka. Ketika orang lain berjuang dengan mengorbankan harta, darah, dan waktu, mereka hanya duduk di belakang sebagai penonton. Giliran orang lain berhasil, mereka maju ke depan menampilkan dirinya seolah-olah mereka adalah pejuang. Mereka tidak mau menanggung risiko, tetapi ingin untung. Inilah sifat orang-orang munafik. Padahal, keimanan menuntut pengorbanan sebagai bukti kebenaran imannya. Tanpa itu, keimanan tersebut tidak akan pernah tampak. Allah Swt. berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji lagi? (QS al-Ankabut [29]: 2).
Surat an-Nisa’ ayat 138-139 tersebut juga menjelaskan ciri-ciri orang munafik, antara lain, menjadikan orang kafir sebagai pelindung dan teman setia (wâlî). Menjadikan orang kafir sebagai wâlî juga berkonotasi meminta bantuan, berteman dan membangun cinta kasih di antara mereka, dan sebagainya.[10] Surat an-Nisa’ ayat 140 juga menjelaskan, bahwa ikut nimbrung dalam pembicaraan dengan orang kafir juga dilarang. Ini juga merupakan ciri lain orang munafik. Sebab, dengan itulah, mereka akan terlibat dengan orang-orang kafir untuk membuat makar terhadap Islam dan kaum Muslim, sementara sikap nifâq—yang notabene tidak ingin memnaggung risiko—itu cenderung mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang-orang kafir. Ini merupakan sifat nifâq yang—merupakan konsekuensi dari sikap oportunis mereka— paling berbahaya. Tentu karena ada anggapan, bahwa sikap itulah yang akan mendatangkan kemuliaan mereka.
Padahal, tidak ada kemuliaan kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. Allah Swt. sebagai Pemilik segala kemuliaan— akan memberikan kemuliaan kepada Rasul-Nya, juga kepada orang-orang Mukmin, karena mereka menaati-Nya. Dengan kata lain, kemuliaan itu seharusnya dicari dengan jalan menjadikan Allah dan orang-orang Mukmin sebagai wâlî (pelindung dan penolong) mereka, bukan orang kafir.
Wacana Tafsir: Bahaya Sikap Nifâq
Melihat realitas nifâq di atas, jelas bahwa sikap seperti ini sangat berbahaya. Bahaya sangat dahsyat yang akan selalu mengintai sikap hipokrit ini adalah muwâlah al-kuffâr (ber-wâlî kepada orang kafir); menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dan pelindung serta meminta bantuan dan membangun cinta kasih dengan mereka. Bahkan, ketika sikap hipokrit dan muwâlah tersebut sampai pada klimaksnya, pasti akan menjadi ancaman yang mematikan bagi umat, jika mereka hanya berdiam diri, tidak mengubahnya. Akibatnya, mereka akan tertimpa berbagai kenistaan, kehinaan, dan musibah. Contoh terbaik adalah kondisi yang dialami oleh kaum Muslim saat ini. Para penguasa mereka adalah orang-orang oportunis yang sanggup menjual diri mereka untuk menjadi kaki tangan negara-negara kafir agar dapat atau tetap berkuasa. Mereka tidak berani mengucapkn kata “Tidak!” terhadap setiap keinginan dan kemauan negara imperialis kafir. Bahkan, mereka dengan senang hati memata-matai, menangkap, menyiksa, dan membunuh rakyatnya sendiri untuk mendapatkan keridhaan tuan mereka, yakni negara-negara imperialis kafir itu. Mereka terhipnotis oleh propaganda negara-negara imperialis kafir, bahwa kemuliaan ada di pihak mereka.
Mereka tidak sendiri, karena mereka juga didukung oleh agen-agen intelektual; baik yang berbaju ulama, ilmuwan, ataupun pakar. Mereka adalah orang-orang munafik. Mereka beranggapan bahwa dengan ber-muwâlah kepada orang dan negara-negara imperialis kafir itu mereka akan mendapatkan kemuliaan. Padahal, sebenarnya semuanya itu hanya ilusi; persis seperti yang digambarkan oleh Allah dalam al-Quran:
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS al-Ankabut [29]: 41).
Allah mengibaratkan kemuliaan yang dibangun dengan dukungan, bantuan, dan uluran tangan dari orang kafir itu laksana rumah laba-laba yang sangat rapuh dan hina. Akan tetapi, kebanyakan orang munafik itu tidak sadar. Bagaimana Benazir Buttho, yang menjadi presiden Pakistan atas dukungan Amerika, akhirnya dijatuhkan, kemudian digantikan dengan Nawaz Sharif. Nawaz Sharif juga sama, dijatuhkan melalui kudeta militer yang juga didalangi Amerika hingga berhasil menaikkan Musharraf. Hal yang sama juga dialami oleh Soekarno dan Soeharto. Kemuliaan ilusif mereka akhirnya rontok dengan hina, sebagaimana hancurnya rumah laba-laba yang begitu mudah, dan sangat hina. Inilah realitas yang tidak disadari oleh orang-orang munafik. Sebab, mereka sanggup melakukan apa saja untuk meraih tujuan sesaat mereka.
Karena itu, orang-orang munafik itu bukanlah orang Mukmin, sehingga Allah tidak menyebutnya dengan menyatakan: faulâika hum al-mu’minûn (Mereka itulah orang-orang Mukmin). Sebaliknya, Allah menyatakan:
فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ
Mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 146).
Mereka juga layak diganjar dengan siksaan yang amat dahsyat, yakni dengan ditempatkan di bagian neraka yang paling bawah, dan mereka tidak akan pernah menemukan satu penolong pun untuk menolong mereka dari azab Allah itu. Allah Swt. berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS an-Nisa’ [4]: 145).
Wacana Tafsir: Mengubah Kemunafikan menjadi Kemuliaan
Nifâq merupakan dosa besar. Setiap perbuatan dosa bisa ditebus dengan bertobat kepada Allah. Dalam kasus nifâq, Allah telah menetapkan cara bagi orang munafik agar dosanya diampuni oleh Allah dan kemunafikannya berubah menjadi kemuliaan:
Pertama, mereka harus bertobat, yaitu meninggalkan sikap nifâq-nya. Hal itu mengharuskannya bersikap istiqâmah (konsisten) lahir-batin. Bukan lahirnya menyatakan A, sementara batinnya menyatakan B.
Kedua, mereka harus memperbaiki niat dan amal mereka (ishlâh), tidak riya.
Ketiga, mereka harus berpegang teguh pada Allah (i’tshâm bi Allâh), yakni dengan cara berpegang teguh pada Kitab-Nya dan sunah Nabi-Nya, apapun risiko dan konsekuensinya; sekalipun harus mengorbankan harta, darah, dan kedudukan mereka.
Keempat, mereka harus memurnikan agama dan keberagamaannya hanya untuk Allah (ikhlâsh dînihim li Allâh), yaitu tidak mengharapkan yang lain, selain Allah Swt. Semata; sekalipun untuk itu ia harus menuai berbagai cacian dan makian para pencaci maki.
Jika kemunafikan tersebut berhasil diakhiri, sebaliknya empat langkah yang ditetapkan oleh Allah di atas ditempuh, maka pasti Allah akan memuliakan mereka, dan memberikan kemuliaan yang hakiki, bukan kemuliaan semu dan ilusif. Mereka, bersama-sama orang-orang Mukmin, akan mendapatkan pahala dan kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt. [Hafidz Abdurrahman, MA.]
[1] As-Shabûni, Shafwah at-Tafâsîr, juz I, hlm. 314.
[2] Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz V, hlm. 417.
[3] As-Shabûni, Ibid, juz I, hlm. 314.
[4] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, juz I, hlm. 526; al-Baydhawi menyebutnya fâ’ isti’nâf (yang berfungsi memulai kalimat baru), yang berkonotasi ta’lîl atau ta’qîb; untuk menjelaskan alasan mengapa mustahil mencari kemuliaan pada selain Allah, sebab kemuliaan itu hanya milik Allah. Lihat, al-Baydhâwi, Tafsir al-Baydhâwi, juz III, hlm. 207.
[5] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, juz I, hlm. 526.
[6] Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab, juz X, hlm. 358.
[7] Al-Baydhawi, Tafsîr al-Baydhâwi, juz II, hlm. 268; An-Nawâwi, Syarh Shahîh Muslim, juz II, hlm. 47.
[8] Al-Jurjâni, at-Ta’rîfât, juz I, hlm. 60.
[9] An-Nawâwi, Syarh Shahîh Muslim, juz II, hlm. 46.
[10] An-Nabhâni, as-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. III, 1994, juz II, hlm. 264.