Tafsir Surat Ali Imran (3) Ayat 63
}قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّّ اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ{
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahlul Kitab (orang-orang Yahudi dan Nasrani), marilah kita (berpegang) pada kalimat yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah selain Allah dan hendaknya di antara kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, (Muhammad dan orang-orang Mukmin) kepada mereka, ‘Kami adalah orang-orang yang berserah diri.’” (QS ‘Ali Imran [3]: 3).
Tafsir Ayat:
Surat ‘Ali Imran adalah surat Madaniyah yang diturunkan pasca Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Menurut pendapat al-Hasan, as-Suddi dan Ibn Zayd, ayat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen Najran. Sementara iut, menurut Ibn Jurayj dan Qatadah, ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi Madinah.[i] Jika dilihat dari konteks frasa Qul yâ Ahl al-Kitâb (Katakanlah [Muhammad], “Wahai Ahli Kitab),” berarti ayat ini mencakup keseluruhan Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Jika Ibn Jurayj dan Qatadah menyandarkan ayat ini kepada Yahudi Madinah, pertimbangannya karena merekalah yang menjadikan ulama mereka sebagai tuhan, sebagaimana yang disinggung dalam ayat tersebut: yattakhidza ba‘dhuna ba‘dha arbâb[an] (sebagian di antara kami menjadikan sebagian yang lain [ulama’] sebagai tuhan). Namun, ayat di atas, sama sekali tidak menyinggung apakah yang dijadikan sebagai tuhan itu ulama (al-ahbâr) atau rahib (ar-ruhbân), selain frasa ba‘dhuna ba‘dha. Karena itu, dengan menganalisis berbagai indikasi yang ada, lebih tepat jika dikatakan bahwa ayat ini ditujukan untuk Ahli Kitab secara umum.
Ayat ini menyerukan kepada Ahli Kitab: Ta‘âlaw ilâ kalimat[in] sawâ’[in] baynanâ wa baynakum (Marilah kita [berpegang] pada kalimat yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dan kalian). Menurut Ibn Katsir, kata kalimat[in] dalam konteks ayat ini digunakan untuk menyatakan kalimat sempurna, yang dapat dipahami. Apakah bentuk kalimat sempurna tersebut? Jawabannya: sawâ’[in] baynanâ wa baynakum (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dan kalian). Frasa ini merupakan sifat, yang menjelaskan kata kalimat[in] yang sebenarnya mempunyai konotasi tertentu. Lalu apa konotasi kalimat[in] sawâ’[in] baynanâ wa baynakum?Tidak lain adalah kalimat tauhid, yaitu: Allâ na‘buda illâ Allâh (Hendaknya, kita tidak menyembah selain Allah). Inilah kalimat sawâ’ yang sesungguhnya, yaitu kalimat tauhid, yang menyatakan bahwa tiada zat yang berhak disembah kecuali Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain: wa lâ nusyriku bihi syay[an] (hendaknya kita tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun), baik berhala, salib, patung, thâghût, api ataupun sesuatu yang lain; dan sebaliknya hanya menyembah-Nya. Ini merupakan ajaran seluruh nabi dan rasul sebelumnya. Allah Swt. berfirman:
}وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ{
Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku. Karena itu, sembahlah Aku oleh kalian. (QS al-Anbiya’ [21]: 25).
}وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ{
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thâghût itu.” (QS an-Nahl [16]: 36).[ii]
Kemudian diteruskan dengan penjelasan berikutnya: wa lâ yatakhida ba‘dhunâ ba‘dha arbâb[an] min dûni Allâh (Hendaknya di antara kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah). Ini karena orang-orang Yahudi biasa menjadikan ulama (ahbâr) mereka sebagai tuhan. Hal yang sama juga dilakukan orang-orang Nasrani terhadap rahib-rahib (ruhbân) mereka. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:
}اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ{
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS at-Taubah [9]: 31).
Sekalipun surat at-Taubah (9) ayat 31 ini tidak menyebutkan bahwa ahbâr itu khusus untuk orang Yahudi, sedangkan ruhbân untuk orang Nasrani, menurut konvensi orang Arab, penggunaan kedua istilah tersebut memang spesifik untuk mereka.[iii] Menjadikan ulama dan rahib sebagai tuhan tidak berarti menyembahnya melainkan cukup dengan meminta mereka menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang halal, lalu mereka pun menaatinya. Ini sebagaimana riwayat at-Tirmîdzi:
«أَنَّ عَدِيْ بنِ حَاتِمٍ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَبِدُوْهُمْ قَالَ بَلَى إِنَّهُمْ أَحَلُّوْا لَهُمْ الحْرَامَ وَحَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الحْلاَلَ فَاتَّبَعُوْهُمْ فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ»
Sesungguhnya ‘Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah, bahwa mereka tidak menyembahnya. Nabi menjawab, “Benar. Namun, mereka (ulama dan rahib) itu telah menghalalkan untuk mereka (umatnya) hal-hal yang haram dan mengharamkan untuk mereka hal-hal yang halal, kemudian mereka mengikutinya. Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepadanya.[iv]
Allah Swt. kemudian melanjutkan, bahwa kalau mereka berpaling (fain tawallaw) dari kalimat tauhid tersebut, atau tidak mau mengakui bahwa tiada zat yang berhak disembah kecuali Allah, maka faqûlû isyhadû biannâ muslimûn (katakanlah [Muhammad dan orang-orang Mukmin]) kepada mereka, “Kami adalah orang-orang yang berserah diri).
At-Thabari menjelaskan bahwa kalimat fain tawallaw faqûlû isyhadû biannâ muslimûn maknanya adalah, jika orang-orang yang kamu seru pada kalimat sawâ’ itu berpaling dan mengingkarinya, maka kamu, wahai orang-orang yang beriman, katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah kami, bahwa kami—terhadap apa yang kalian ingkari, yaitu mengesakan Allah, menjernihkan ibadah hanya kepada-Nya, dan bahwa Dialah Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya—adalah orang-orang yang berserah diri (Muslimûn), atau tunduk dan patuh kepada-Nya dalam perkara tersebut dengan mengakui semua itu dengan hati dan lisan kami.”[v]
Inilah secara umum tafsir dari surat ‘Ali Imran (3) ayat 63 di atas.
Wacana Tafsir: Dialog Antaragama
Ayat di atas sering dijadikan argumentasi oleh kalangan tertentu yang berusaha untuk menjustifikasi Dialog Antaragama, dengan asumsi, bahwa ketiga agama tersebut—Islam, Kristen, dan Yahudi—mempunyai persamaan; sama-sama merupakan agama samawi. Padahal, tidak ada satu kata atau frasa pun dalam nash di atas yang bisa dijadikan argumentasi gagasan tersebut, baik frasa kalimat[in] sawâ’[in] baynanâ wa baynakum maupun frasa faqûlu isyhadû biannâ muslimûn, sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir ayat di atas.
Di samping itu, al-Quran dengan tegas telah menyatakan kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani:
}لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ{
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. (QS al-Maidah [5]: 73).
}وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ{
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah,” dan orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah.” Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka; mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS at-Taubah [9]: 30).
Alasannya, orang-orang Nasrani telah meyakini bahwa Allah adalah tiga oknum tuhan (Bapak, Anak, dan Ruh Kudus) dalam satu substansi (Allah), sementara orang Yahudi juga menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Justru dalam konteks keyakinan inilah, al-Quran menyerukan mereka agar kembali pada kalimat sawâ’, kalimat tauhid, yang hanya meyakini bahwa tiada zat yang berhak disembah kecuali Allah, dan Dialah Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya; termasuk tidak menjadikan ulama maupun rahib mereka sebagai tuhan, dengan menaati mereka dalam perkara yang menyimpang dari perintah dan larangan Allah Swt.
Rasulullah saw. juga pernah mengirim surat kepada Heraklius, Raja Romawi, yang isinya:
«بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى هِرَقَّلْ عَظِيْمِ الرُّوْمِ، سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى. أمَّا بَعْدُ: فَإِنيِّ أدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ الإسْلاَمِ أسْلِمْ تَسْلَمْ، وَأسْلِمْ يُؤْتِكَ اللهُ أجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فإنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إثمَ الأرِيْسِيِّيْنَ. و}يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّّ اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ{»
Dengan menyebut asma Allah, Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad, hamba dan Rasul Allah, kepada Heraklius, pembesar Romawi. Selamat kepada siapa saja yang mengikuti hidayah (Allah), amma ba‘da: Sesungguhnya saya mengajak Anda dengan ajakan Islam. Masuk Islamlah Anda, pasti Anda akan selamat. Masuk Islamlah Anda, pasti Anda akan diberi oleh Allah pahala dua kali. Jika Anda berpaling, Anda harus menanggung dosa para petani (rakyatmu). Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”[vi]
Dengan demikian, baik al-Quran maupun as-Sunnah dengan tegas menyatakan bahwa ajakan Islam kepada Ahli Kitab di atas jelas bukan untuk mendialogkan berbagai aspek yang bisa mendamaikan ketegangan antar ketiga agama tersebut. Sebaliknya, dengan tegas al-Quran menyeru mereka untuk kembali pada kalimat tauhid, tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, termasuk dengan ulama dan rahib mereka; yang berarti mereka harus memeluk Islam atau tunduk di bawah naungan sistem Islam dengan tetap sebagai orang non-Muslim (ahl ad-dzimmah). Jika alternatif pertama dan kedua tidak dipenuhi, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain diperangi, jihâd fî sabîlillâh.
Wacana Tafsir: Di Balik Ide Dialog Antaragama
Gagasan Dialog Antaragama ini muncul secara mendunia sejak Prancis mengirim delegasi ke al-Azhar, Kairo, pada tahun 1932 mengenai penyatuan ketiga agama: Islam, Kristen dan Yahudi. Kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris (1933) yang dihadiri para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Pada tahun 1936, diadakan Konferensi Agama-agama yang terakhir, sebelum Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1964, Paus Paulus VI menulis risalah yang menyerukan diadakannya Dialog Antaragama. Selama dasawarsa 70-an hingga 80-an telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi yang serupa. Pada tahun 1974, diadakan Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia dan Konferensi Cordoba di Spanyol yang dihadiri delegasi Muslim dan Kristen dari 23 negara. Dua konferensi yang terakhir inilah yang paling menonjol.[vii]
Gagasan Dialog Antaragama ini sepintas menyiratkan, bahwa agama merupakan sumber ancaman dan konflik. Ini berangkat dalam pengalaman historis yang menimpa Dunia Barat. Sebagaimana ditegaskan Huntington, selama 150 tahun, politik intersivilasi Barat memang telah didominasi oleh adanya perang antaragama (Kristen-Kristen).[viii] Peperangan yang justru terjadi setelah Perang Salib (1097-1219 M), yang berlangsung selama hampir kurang dua abad ketika Islam dan umatnya benar-benar menjadi common enemy bagi mereka. Artinya, Dunia Barat yang notabene Kristen—merujuk terma Huntington—itu terus diwarnai konflik antaragama, dan lebih spesifik lagi antarsesama pemeluk Kristiani, yang kemudian baru berakhir setelah adanya Konferensi Westphalia pada tahun 1648. Huntington juga mencatat, bahwa selama kurun tahun 1820 hingga 1929, dari 50 persen peperangan yang terjadi merupakan perang antaragama, Islam-Barat Kristen.[ix]
Namun demikian, pada kenyataannya, apa yang dianggap sebagai peperangan antaragama, Islam-Barat Kristen, selama kurun tahun 1820 hingga 1929, justru dipicu oleh nafsu imperialisme Barat-Kristen untuk menguasai wilayah-wilayah Islam. Ini karena menjelang pertengahan abad ke-19, Dunia Islam benar-benar mengalami kemerosotan yang luar biasa, sementara berbagai manuver politik Barat-Kristen di Dunia Islam telah mulai mengakar. Di sisi lain, Islam yang direpresentasikan oleh Khilafah Utsmaniah, sebelum terjadinya Konferensi Westphalia pada abad ke-17, telah menjelma menjadi military force yang menakutkan dan mengancam eksistensi Barat-Kristen. Citra yang menakutkan ini mendorong mereka bersatu sehingga diselenggarakanlah konferensi tersebut. Ini memang merupakan era kemunduran intelektual Muslim; intellectual leadership Islam yang diemban oleh negara telah digantikan oleh military force.
Citra Islam yang buruk di mata Barat ini benar-benar telah menjadi mainstream pemikiran orang-orang Barat-Kristen. Menurut Edward Said, selama hampir sepanjang Abad Pertengahan dan selama awal Zaman Renaisans di Eropa, Islam dipercaya sebagai agama yang kejam, ingkar, busuk, dan kabur. Bagi orang Kristen, Muhammad adalah nabi palsu; seorang yang menanamkan benih-benih perpecahan, pengumbar nafsu, munafik, dan kaki tangan setan. Barat kemudian menyebut dirinya sebagai kaum Occident (Barat), yang identik dengan bangsa maju yang civilized, sedangkan yang lain disebut kaum Orient (Timur), yang identik dengan bangsa mundur dan terbelakang yang uncivilized.[x] Di sisi lain, “Bagi Barat, yang menjadi ‘ganjalan’ utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan merekam yang diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.”
Demikian tutur Huntington. Alasannya, masih menurut Huntington, Islam melebihi Kristen, yakni merupakan agama yang absolut: tidak memisahkan antara agama dan politik (ideologi) serta membagi masyarakat dalam wilayah Dâr al-Harb dan Dâr al-Islâm. Akibatnya, masyarakat Konfusian, Budhis, Hindu, Kristen Barat, dan Kristen Ortodoks merasa sulit berdampingan satu sama lain, dan sebaliknya merasa lebih mudah melakukan adaptasi serta hidup berdampingan dengan kaum Muslim.[xi]
Sejarah Islam benar-benar membuktikan, bahwa sepanjang pemerintahan Islam, berbagai agama bisa menyatu dalam satu negara. Karena itu, tidak aneh, jika sejarawan Barat non-Muslim, seperti Max I Dimon, telah melukiskan kerukunan hidup antar umat beragama di Spanyol selama 500 tahun di bawah naungan Negara Islam. Karena itu, gagasan Dialog Antaragama dengan tujuan mendamaikan konflik antar umat beragama itu, dalam pandangan Islam, sejatinya adalah ahistoris. Gagasan ini muncul ketika Islam tidak lagi menjadi ideologi yang memerintah setelah digantikan oleh Kapitalisme Barat. Karena itu, gagasan tersebut sekaligus meniscayakan kegagalan Kapitalisme dalam mengharmonisasikan hubungan antaragama, karena ketiadaan format yang dimiliki oleh ideologi tersebut. Tentu, ini sangat berbeda dengan Islam yang mengajarkan konsep dzimmah (jaminan perlindungan untuk umat non-Islam yang hidup dalam naungan Khilafah Islam). Bahkan, konflik antarumat beragama di berbagai wilayah di dunia saat ini merupakan hasil rekayasa imperialis Barat untuk merebut atau mempertahankan cengkeramannya atas wilayah tersebut. Ini seperti yang terjadi di Filipina, yang melibatkan Amerika (pemerintah-Kristen) dan Inggris (MNLF-Muslim); di Lebanon, yang melibatkan Amerika (Patriac Elias-Kristen) dan Inggris (Muslim); di Ambon, Maluku, yang melibatkan kepentingan Amerika (pemerintah-Muslim) dan Eropa (RMS-Kristen).
Dengan demikian, gagasan Dialog Antaragama tidak lain merupakan covering action negara-negara Barat kapitalis dan kakitangannya untuk mempertahkan cengkeramannya terhadap Dunia Ketiga, khususnya Islam. Melalui gagasan tersebut, mereka bisa meng-cover kebobrokan ideologi yang memayungi hubungan antarummat beragama tersebut. Di samping itu, gagasan tersebut juga berusaha membendung tampilnya Islam sebagai ideologi alternatif.
Di sisi lain, upaya mempertemukan atau mengkompromikan ajaran agama (sinkritisme) melalui Dialog Antaragama ini adalah sia-sia karena adanya sejumlah perbedaan substansial yang mustahil disatukan. Karena itu, kembali pada kalimat sawâ’ baynanâ wa baynakum, atau kalimat tauhid, atau memeluk Islam adalah solusi Islam. Jika tidak (fain tawallaw), kita berserah diri kepada Allah terhadap apa yang telah mereka lakukan (faqulû isyhadû biannâ muslimûn), dalam arti, membiarkan mereka tetap memeluk agama mereka dan memberikan perlindungan kepada mereka sebagai ahl ad-dzimmah, dengan syarat, mereka bersedia tunduk dalam naungan sistem Islam. Ini juga merupakan solusi yang ditawarkan oleh Islam.
Dengan kedua alternatif tersebut, di dalam wilayah Islam tidak akan terjadi konflik antarumat beragama. Sebaliknya, konflik antara Muslim dan non-Muslim hanya akan terjadi di luar wilayah Islam, yang notabene merupakan Dâr al-Kufr atau Dâr al-Harb; bukan di dalam wilayah Islam. Karena itu, gagasan Dialog Antaragama tidak layak diambil, dikonsumsi, dan diperjuangkan oleh umat Islam. Alsannya, di samping karena ahistoris, juga akan memberikan peluang kepada orang-orang kapitalis kafir untuk menjajah negeri mereka. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Hafidz Abdurrahman, MA]
Catatan kaki:
[i] Lihat: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Muassasah ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus, cet. II, 1404, juz IV, hlm. 105.
[ii] Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Dâr al-Fikr, Beirut, 1401, juz I, hlm. 372.
[iii] Lihat penjelasan Ibn Manzhur mengenai kedua kata tersebut. Kata ahbâr adalah bentuk plural dari habr atau hibr, yang berarti orang alim, atau bentuk tunggal dari ahbâr (ulama) Yahudi. Sedangkan ruhbân adalah bentuk plural dari râhib (pendeta) Nasrani. Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t. juz I, hlm. 437 dan juz IV, hlm. 157.
[iv] At-Tirmîdzi, Sunan at-Tirmîdzi, hadis no. 3020. Kata di atas, sebagaimana dinukil Ibn Katsir dalam tafsirnya. Lihat, Ibn Katsir, Tafsîr, juz I, hlm. 378.
[v] At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz III, hlm. 303.
[vi] QS ‘Ali Imran ayat 63. Lihat: Muhammad Hamidullah, al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah, Dâr an-Nafâ’is, Beirut, cet. VI, 1987, hlh. 108-109.
[vii] Lihat: Abdul Qadim Zallum, Persepsi-persepsi Berbahaya untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 1998, hlm. 16-17.
[viii] Samuel P. Huntington, Benturan Antar peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, Pustaka Pemikiran, Yogyakarta, cet. II, 2001, hlm. 60.
[ix] Ibid, hlm. 392.
[x] Edward Said, Covering Islam, Bias Liputan Barat atas Dunia Islam, Ikon Teralitera, Yogyakarta, cet. I, 2002, hlm. 4 dan 5.
[xi] Samuel P. Huntington, op. cit., hlm. 408 dan 510.