(Tafsir QS al-A’la [87]: 6-8)
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسَى *إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى * وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى *
Kami akan membacakan (al-Quran) kepada kamu (Muhammad) hingga kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Kami pun akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah (QS al-A’la [87]: 6-8)
Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang perintah untuk menyucikan asma Allah SWT. Sebab, Dialah Yang menciptakan dan menyempurnakan seluruh makhluk-Nya; menetapkan kadar masing-masing dan memberi mereka petunjuk mereka. Dia pula Yang menumbuhkan rerumputan yang hijau, lalu membuat rerumputan itu berubah menjadi kering dan kehitam-hitaman.
Setelah pemberitaan tentang pemberian petunjuk kepada makhluk-Nya secara umum, ayat selanjutnya menerangkan petunjuk yang bersifat khusus yang diberikan kepada Rasulullah saw.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Sanuqri‘uka falâ tansâ (Kami akan membacakan [al-Quran] kepada kamu [Muhammad] hingga kamu tidak akan lupa). Sebagaimana ayat sebelumnya, seruan ayat ini juga ditujukan kepada Rasulullah saw. Kâf al-khithâb (kata pengganti orang kedua: kamu) menunjuk kepada beliau.
Kata nuqri‘uka berarti nu’allimuka qirâ‘ah (Kami mengajari kamu membaca). Bacaan yang dibacakan kepada beliau tak lain adalah al-Quran. Sebagaimana diterangkan as-Samarqandi, frasa sanuqri‘uka berarti sanu’allimuka al-Qur‘ân wa yanzilu ‘alayka (Kami akan mengajari kamu al-Quran dan turun kepada kamu).1 Fakhruddin ar-Razi juga menafsirkan frasa ini dengan: sanu’allimuka hadzâ al-Qur‘ân hattâ tahfazhu (Kami akan mengajarkan al-Quran ini hingga kamu hafal).2
Dalam frasa nuqri‘u (Kami membaca) terkandung dhamîr al-mutakallim yang berarti nahnu (Kami). Ini bisa memberikan makna li ta’zhîm (untuk mengagungkan); bisa juga menunjukkan adanya pelibatan pihak lain selain Allah SWT. Pihak lain tersebut adalah Malaikat Jibril. Sebab, telah maklum bahwa Allah SWT mengutus Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ * عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ *
Sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (QS asy-Syu’ara [26]: 192-194).
Huruf as-sîn menjadi tanda untuk menunjukkan istiqbâl (waktu yang akan datang) bagi perbuatan yang disebutkan sesudahnya. Huruf tersebut juga berguna sebagai ta’kîd (mengukuhkan) perbuatan. Jika digunakan untuk perbuatan yang sudah terjadi ketika tengah dibicarakan, maka perbuatan itu terus berlangsung dan akan terjadi lagi.3 Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini. Ketika ayat ini turun, sebelumnya sudah banyak ayat diturunkan dan dibacakan kepada beliau. Dengan demikia huruf as-sîn tersebut menunjukkan bahwa pembacaan tersebut terus berlangsung dan akan terjadi lagi.4
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa al-Quran yang telah dibacakan kepada Nabi saw. itu tidak akan dilupakan oleh beliau. Disebutkan: Falâ tansâ (hingga kamu tidak akan lupa). Kata tansâ berasal dari kata an-nisyân. Kata tersebut bermakna tidak ingat terhadap pengetahuan sebelumnya pada ingatan manusia, baik sebentar maupun lama.5 Hal itu bisa terjadi karena lemahnya hati, kelalaian, maupun karena kesengajaan sehingga ingat itu bisa hilang dari dirinya.6
Imam al-Qurthubi menerangkan, ini merupakan berita gembira dari Allah SWT, bahwa Dia memberikan ayat yang jelas kepada Rasulullah saw., yakni dibacakan oleh Jibril. Padahal beliau adalah seorang yang ummi (buta huruf), yang tidak menulis dan tidak membaca. Beliau menghapal dan tidak lupa dengan hapalannya.7 Tidak jauh berbeda, Abu Hayyan al-Andalusi juga menerangkan ayat ini dengan ungkapan: Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan al-Quran dan memberitahu bahwa baliau tidak akan lupa. Ini merupakan salah satu ayat yang ditujukan kepada Rasulullah saw., bahwa beliau adalah buta huruf, lalu Allah SWT menjaga wahyu-Nya dan memelihara beliau dari lupa terhadapnya.8
Dikatakan oleh Mujahid, Muqatil dan al-Kalbi, bahwa jika turun kepada Rasulullah saw. al-Quran, beliau cepat-cepat menggerakkan lisannya (untuk menirukannya) karena takut lupa. Padahal Jibril belum berhenti membaca hingga akhir wahyu. Itu dilakukan karena beliau takut lupa. Lalu turunlah ayat ini: Sanuqri‘uka falâ tansâ. Artinya, Kami akan mengajarkan al-Quran kepadamu hingga kamu menghafalnya.9 Perhatikan firman Allah SWT:
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآَنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ
Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum disempurnakan pewahyuan-nya kepada kamu (QS Thaha [20]: 114).
Menurut al-Hasan, Qatadh dan Malik, pengertian tersebut juga sejalan dengan firman Allah SWT (yang artinya): Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya (TQS al-Qiyamah [75]: 16).10
Kemudian disebutkan: illâ mâ syâ‘al-Lâh (kecuali kalau Allah menghendaki). Huruf illâ memberikan makna istitsnâ‘ (perkecualian). Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw. tidak akan lupa sedikit pun ayat al-Quran yang telah dibacakan kepada beliau kecuali apa dikehandaki Allah untuk dilupakan. Meskipun demikian, menurut para ulama, Allah SWT tidak menghendaki Nabi saw. melupakan sedikit pun ayat yang telah dibacakan kepada beliau. Dengan demikian istitsnâ‘ dalam ayat ini ghayru hâshil fî al-haqîqah (tidak terjadi dalam realitas). Al-Kalbi berkata, “Sesungguhnya Nabi saw. tidak lupa sedikit pun setelah turunnya ayat.”11
Maksud penyebutan istitsnâ‘ tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa seandainya Allah SWT menghendaki beliau lupa terhadap sesuatu yang telah diajarkan, niscaya Dia mampu. Ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
Sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami melenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepada kamu (QS al-Isra‘ [17: 86)
Kemudian Allah SWT memastikan bahwa Dia tidak menghendaki hal itu. Demikian pula firman Allah SWT:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi (QS az-Zumar [39]: 65).
Padahal beliau sekali-kali tidak pernah menyekutukan Allah SWT. Dengan demikian, kalimat perkecualian dalam ayat ini memberikan makna bahwa Allah SWT memberitahukan kepada Nabi saw. tentang kekuasaan-Nya hingga beliau mengetahui bahwa tidak lupanya beliau itu merupakan karunia dan kebaikan dari Allah SWT, bukan berasal dari kekuatannya.13
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Innahu ya’lamu al-jahra wamâ yakhfâ (Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi). Kata al-jahr digunakan untuk menyebut tampaknya sesuatu yang dapat ditangkap indera penglihatan dan pendengaran.14 Kata yakhfâ berarti istatara (tertutup). Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT mengetahui al-jahr, yakni al-i’lân (yang ditampakkan), baik ucapan maupun perbuatan; sedangkan mâ yakhfâ, apa yang disembunyikan. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Apa yang ada dalam hatimu dan jiwamu.”15 Ibnu Jarir ath-Thabari, memaknai kalimat, “Innahu ya’lamu al-jahr,” dengan, “Dia mengetahui apa yang tampak pada perbuatanmu, wahai Muhammad, apa yang kamu lahirkan dan kamu perlihatkan; yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.” Adapun frasa “wa mâ yakhfâ,” yakni dan apa yang tidak kamu tampakkan dari apa yang kamu sembunyikan. Dia berfirman: Dia mengetahui seluruh perbuatanmu, yang tersembunyi maupun yang tampak.16
Menurut at-Tunisi, kalimat Innahu ya’lamu al-jahr wa mâ yakhfâ merupakan jumlah mu’taradhah (kalimat sisipan), yang merupakan ta’lîl (alasan) bagi kalimat sebelumnya: Falâ tansâ illâ mâ syâ‘al-Lâh. Sebab, kalimat tersebut merupakan jaminan Allah SWT terhadap Rasul-Nya untuk menjaga al-Quran dari kekurangan sementara.17
Kemudian Allah SWT berfirman: wa nuyassiruka li al-yusrâ (Kami pun akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah). Kalimat ini ma’thûf dengan kalimat: sanuqri‘uka. Adapun kalimat Innahu ya’lamu al-jahr wa mâ yakhfâ merupakan i’tirâdh (kalimat sisipan).18
Kata nuyassir berasal dari kata al-yusr. Demikian pula dengan al-yusrâ. Kata tersebut merupakan bentuk al-fu’lâ dari kata al-yusr. Menurut ar-Raghib, kata tersebut berarti dhid al-‘usr (kebalikan dari kata kesulitan).19
Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan para ulama. Menurut as-Samarqandi, Allah SWT akan memudahkan Nabi saw. untuk menghapal al-Quran dan menyampaikan wahyu.20 Dikatakan al-Qurthubi, li al-yusrâ berarti li ath-tharîqah al-yusrâ (ke jalan yang mudah), yakni perbuatan baik. Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini sebagai nuyassirka li an ta’mala khayr[an] (Kami memudahkan bagi kamu untuk mengamalkan kebaikan). Adapun Ibnu Mas’ud memaknai li al-yusrâ sebagai li al-jannah (ke surga).21
Diterangkan pula oleh Ibnu Katsir bahwa pengertian wa nuyassiruka li al-yusrâ adalah, “Kami memudahkan bagi kamu perbuatan dan perkataan baik; Kami mensyariahkan kepada kamu syariah yang mudah, gampang, lurus dan adil yang di dalamnya tidak ada kebengkokan, keberatan, dan kesulitan.”22
Menurut asy-Syaukani, pendapat yang tepat adalah yang memaknai kalimat ini secara umum, yakni: Kami memberikan taufik kepada kamu ke jalan yang mudah dalam agama dan dunia dalam semua urusan yang engkau tuju.23
Berita Gembira bagi Rasulullah SAW
Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mendapatkan dua kabar gembira. Pertama: beliau tidak akan lupa terhadap semua ayat yang dibacakan kepada beliau. Beliau dapat menghapalnya, kecuali apa yang dikehendaki Allah SWT. Akan tetapi, Allah SWT tidak menghendaki beliau lupa sedikit pun setelah turunnya ayat ini. Tentu saja ini merupakan berita gembira bagi beliau. Sebab, sebagaimana telah dipaparkan, beliau amat takut lupa terhadap ayat-ayat yang telah dibacakan kepada beliau.
Realitas ini sekaligus memberikan jaminan otentitas al-Quran. Tidak ada penambahan, pengurangan, apalagi perubahan. Jaminan tersebut juga disebutkan dalam firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS al-Hijr [15]: 9).
Kedua: beliau diberi taufik ke jalan yang mudah. Sebagaimana telah diterangkan, ada beberapa penafsiran tentang maksud al-yusrâ (kemudian). Ada yang menafsirkannya sebagai perbuatan yang baik. Ada juga yang menafsirkannya sebagai surga. Ayat ini memberikan kabar gembira kepada beliau bahwa beliau akan diberi taufik dan kemudahan untuk itu. Beliau akan diberi taufik dan kemudahan dalam melakukan perbuatan baik dan mendapatkan surga.
Perkara penting lainnya dalam ayat ini adalah tentang pengetahuan Allah SWT. Dia mengetahui dengan sempurna semua perbuatan dan perkataan yang ditampakkan oleh manusia. Dia juga mengetahui dengan sempurnan semua yang disembunyikan oleh manusia. Tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya meskipun manusia berupaya keras untuk merahasiakannya.
Pemahaman ini amat penting dimiliki oleh setiap manusia. Dengan pemahaman ini, pelakunya akan menjadi hati-hati dalam melangkah. Dalam keadaan apa pun, ringan bagi dia melakukan amal salih. Sebaliknya, dia tidak akan berani melakukan perbuatan yang mendatangkan murka-Nya.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 470.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 142 H), 130.
3 At-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 30 (Tunisia: Dar at-Tunisiyyah, 1984), 280.
4 At-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 30, 280.
5 At-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 30, 280.
6 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 803.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 18.
8 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420), 456,
9 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 130.
10 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 456.
11 Menurut sebagian pendapa sebagaimana dikutip ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 130.
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 130.
13 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 130.
14 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 208.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 19.
16 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassah ar-Risalah, 2000), 371-372.
17 At-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 30, 281.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 739; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 515; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 457.
19 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 892.
20 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 471.
21 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 19.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiiyyah, 1999), 372.
23 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5.