Satu dari empat jenis ‘illat adalah al-‘illat al-qiyâsiyah, yakni ‘illat yang diambil melalui qiyas. ‘Illat qiyâsiyah ini tidak dinyatakan langsung oleh dalil syar’i. Akan tetapi, nas syariah menyatakan ‘illat semisalnya dari jenis dan substansinya. ‘Illat yang tidak dinyatakan oleh dalil syariah itu di-qiyas-kan pada ‘illat yang dinyatakan oleh nas syariah sebab aspek at-ta’lîl (penjelasan alasan) di dalamnya telah dinyatakan oleh nas syariah.
‘Illat yang padanya ‘illat qiyâsiyah itu di-qiyas-kan harus diambil dari nas yang memberikan konotasi at-ta’lîl (penjelasan alasan) dan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas, hubungan sebab-akibat). Artinya, wajhu al-‘illiyah yang menjadi dasar peng-qiyas-an di situ telah dinyatakan oleh nas syariah. Dengan begitu ‘illat tersebut bisa dinilai sebagai bagian dari wahyu. Jadi wahyu menyatakan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) itu.
Inilah kondisi yang membolehkan qiyas ‘illat terhadap ‘illat yang lain. Selain kondisi seperti itu tidak boleh. Sebabnya, peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat lainnya itu seperti peng-qiyas-an hukum yang tidak dinyatakan oleh dalil syariah terhadap hukum yang dinyatakan oleh dalil syariah. Peng-qiyas-an hukum terhadap hukum yang lain hanya boleh jika hukum pokok yang menjadi sandaran peng-qiyas-an itu disertai ‘illat syar’iyyah yang ditunjukkan oleh nas syariah. Tidak boleh meng-qiyas-kan hukum terhadap hukum lain hanya karena adanya kemiripan di antara keduanya.
Demikian juga peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat yang lain. Ia hanya boleh jika ‘illat pokok yang menjadi sandaran peng-qiyas-an itu disertai penjelasan sebab keberadaannya sebagai ‘illat dan penjelasan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas)-nya oleh syariah. Oleh karena itu, tidak boleh meng-qiyas-kan ‘illat terhadap ‘illat lain hanya karena adanya kemiripan di antara kedua ‘illat itu.
Jadi tidak boleh peng-qiyas-an ‘illat kecuali pada sifat yang mengandung konotasi at-ta’lîl (penjelasan alasan) dan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) di dalamnya. Hal itu karena peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat lainnya harus mengandung penjelasan wajhu al-‘illiyah dalam ‘illat pokok itu yang berasal dari Asy-Syâri’ atau dari madlûl secara bahasa dari nas syariah. Jika ada penjelasan itu maka di dalam ‘illat itu ada sesuatu yang membolehkan peng-qiyas-an terhadapnya, yaitu wajhu at-ta’lîl (aspek penjelasan alasan). Hal itu sama persis dengan adanya ‘illat pada hukum pokok yang terjadi peng-qiyas-an padanya. Jika di dalam ‘illat pokok itu ada penjelasan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) oleh syariah, yakni nas yang menjadi dalil ‘illat itu menjelaskan wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) di dalamnya, maka boleh dilakukan peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat tersebut. Jika tidak ada penjelasan maka tidak boleh dilakukan peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat itu.
Jadi agar bisa dilakukan peng-qiyas-an suatu ‘illat cabang (‘illat qiyâsiyah) pada ‘illat pokok, di dalam ‘illat pokok itu harus ada penjelasan dari nas Syariah—baik secara gamblang atau dipahami dari madlûl nas syariah itu—sebab ‘illat pokok itu ditetapkan menjadi ‘illat. Jika sebab itu juga ada pada ‘illat cabang maka ‘illat cabang itu secara syar’i bisa dinilai sebagai ‘illat sebagaimana ‘illat pokok. ‘Illat cabang itulah yang disebut ‘illat qiyâsiyah.
‘Illat qiyâsiyah ditetapkan sebagai ‘illat dengan di-qiyas-kan pada ‘illat yang oleh nas syariah ditetapkan sebagai ‘illat dan pada keduanya ada penghimpun syar’i, yakni sebab ‘illat pokok itu menjadi ‘illat syar’i. Dengan begitu ‘illat qiyâsiyah itu merupakan ‘illat syar’i dan hukum yang beredar bersama ‘illat qiyâsiyah itu juga merupakan hukum syariah.
Dari hasil pengelaborasian, tidak ada penjelasan hal itu kecuali pada satu kondisi, yaitu ‘illat pokok itu diambil dari sifat yang mengandung konotasi untuk penjelasan alasan (washf[un] mufhim[un] li at-ta’lîl) dan mengandung konotasi aspek kausalitas di dalamnya (mufhim[un] wajha al-‘illiyyah fîhi). Selain hal demikian tidak boleh dilakukan peng-qiyas-an dalam ‘illat sama sekali. Jadi tidak boleh dilakukan peng-qiyas-an terhadap ‘illat mustanbathah. Juga tidak boleh dilakukan peng-qiyas-an terhadap ‘illat yang diambil dari sifat yang tidak mengandung konotasi. Tidak boleh juga dilakukan peng-qiyas-an terhadap isim jamid karena itu bukan sifat dan tidak mengandung makna al-‘illiyah (kausalitas).
Jadi untuk bisa dilakukan peng-qiyas-an ‘illat terhadap ‘illat lain (‘illat pokok), maka ‘illat pokok itu harus dinyatakan dalam bentuk: 1. Washfun mufhimun li at-ta’lîl (sifat yang mengandung konotasi untuk penjelasan alasan/sebab). 2. Mufhimun wajha al-‘illiyah (mengandung konotasi aspek kausalitas). 3. Lafalnya merupakan isim musytâqq[un], yaitu kata derivatif yang dibentuk dari kata dasarnya menurut pola (wazan) tertentu. Lafalnya tidak boleh berupa isim jâmid (isim non derivatif).
Contoh sifat yang disebutkan oleh nas syariah bersamaan dengan hukum dan lafalnya yang mengandung konotasi wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) menurut bahasa adalah sabda Rasul saw.:
لَا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Janganlah seorang qâdhi memutuskan perkara di antara dua orang, sementara dia sedang marah (HR Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, asy-Syafii, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Sabda Rasul saw. ini menyatakan bahwa marah itu menjadi sebab ketidakbolehan qâdhi menetapkan keputusan. Jadi marah itu menjadi ‘illat yang menghalangi penetapan keputusan. Lafal ghadhbânu merupakan isim musytâqq dari kata dasar ghadhiba menurut wazan (pola) fa’lân. Dari sifat al-ghadhab itu bisa dipahami keberadaannya sebagai ‘illat atau wajhu at-ta’lîl (aspek penjelasan alasan) untuk larangan menetapkan keputusan. Dapat dipahami pula, wajhu al-‘illiyah (aspek kausalitas) yang membuat kata itu menjadi ‘illat adalah adanya kerancuan pikiran dan kekacauan keadaan. Karena itu apa saja yang bisa menimbulkan kerancuan pikiran dan kekacauan keadaan seperti kelaparan, sakit kepala, pusing, demam tinggi, menggigil kedinginan atau lainnya, bisa di-qiyas-kan terhadap ‘illat, yakni al-ghadhab (marah) ini. Dengan demikian seorang qâdhi dilarang menjatuhkan keputusan dalam keadaan kelaparan, demam tinggi, menggigil kedinginan dan keadaan lainnya yang menyebabkan kerancuan pikiran dan kekacauan keadaannya. Semua itu merupakan ‘illat qiyâsiyah.
Contoh sifat yang disebutkan oleh Asy-Syâri’ bersama dengan hukum dan ada nas syariah yang menjelaskan aspek peng-’illat-an di dalamnya adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ، فَإِنْ تَلَقَّاهُ إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوقَ
Nabi saw. melarang barang yang datang dicegat (di tengah jalan). Jika seseorang mencegat barang yang datang, lalu dia beli, maka pemilik barang memiliki pilihan jika ia telah masuk (sampai) ke pasar (HR at-Tirmidzi, Abu Ya’la, Abu ‘Awanah dan al-Baghawi).
Talaqqiy al-jalbi (mencegat orang yang mendatangkan barang) itu menjadi ‘illat ketidakbolehan jual-belinya. Aspek keberadaannya sebagai ‘illat adalah ketidaktahuan pemilik barang atas harga pasar, sebagaimana yang dijelaskan di dalam nas itu sendiri, “idzâ warada as-sûqa” yakni jika dia mengetahui harga pasar. Jadi yang menyebabkan pencegatan orang yang mendatangkan barang itu menjadi ‘illat adalah tidak adanya pengetahuan atas harga pasar. Karena itu kondisi lainnya yang di situ ada ketidaktahuan atas harga pasar bisa di-qiyas-kan pada talaqqiy al-jalbi dan membuat orang yang ada dalam kondisi itu tidak boleh berjual-beli. Misalnya, orang yang baru keluar dari penjara atau pulang dari bepergian dalam waktu lama, meski dia tinggal di kota itu. Begitu pula orang yang datang dari kampung meski tidak membawa barang, dia dilarang berjual-beli. Orang-orang seperti ini, jika terlanjur melakukan jual-beli, maka ketika dia mengetahui harga pasar, dia memiliki khiyâr antara membatalkan jual-belinya atau menerima dan melanjutkannya.
Adapun ketentuan pertukaran enam jenis harta: adz-dzahab (emas), al-fidhdhah (perak), at-tamru (kurma), asy-sya’îru (jewawut), al-khinthah (gandum), al-milhu (garam), jika sama jenisnya harus sama, dan jika saling berlebih maka riba, hal itu hanya berlaku pada enam jenis itu. Sebabnya, keenamnya merupakan isim jâmid, bukan sifat, tidak mengandung konotasi makna kausalitas, dan tidak menyatakan at-ta’lîl secara bahasa maupun syar’i.
Demikian juga ketentuan kewajiban zakat pada adz-dzahab (emas), al-fidhdhah (perak), at-tamru (kurma), al-khinthah (gandum), asy-sya’îr (jewawut), az-zabîb (kismis), al-ibil (unta), al-baqaru (sapi) dan al-ghanam (domba/kambing), hanya berlaku pada jenis itu saja. Jenis yang lain tidak bisa di-qiyas-kan padanya. Sebabnya, semuanya merupakan isim jâmid, tidak mengandung konotasi at-ta’lîl maupun penjelasan kausalitas (al-‘illiyah).
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]