Satu dari empat jenis ‘illat syar’iyyah adalah ‘illat mustanbathah. Itulah ‘illat yang dinyatakan di dalam nas syariah berdasarkan instinbâth. Maknanya, nas atau susunannya memberi faedah berupa di-istinbâth-nya ‘illat untuk suatu hukum. ‘Illat ini tidak disebutkan oleh nas baik secara sharâhah (jelas/gamblang) maupun secara dalâlah.
‘Illat mustanbathah ini di-istinbâth dari satu nas atau dari sejumlah nas tertentu. Penjelasannya, Asy-Syâri’ memerintahkan atau melarang sesuatu dalam satu kondisi, baik disebutkan bersama di dalam nas bersama perintah atau larangan itu, atau dipahami di dalamnya dari indikasi-indikasi faktual yang menentukan adanya kondisi itu secara riil. Kemudian Asy-Syâri’ melarang apa yang diperintahkan itu atau sebaliknya memerintahkan apa yang dilarang itu karena hilangnya kondisi itu. Ketika itu bisa dipahami bahwa hukum itu disertai ‘illat dengan kondisi itu atau apa yang ditunjukkan olehnya.
Setiap nas yang di dalamnya dinyatakan suatu hukum karena satu kondisi atau sifat, kemudian dinyatakan nas lain dalam perkara yang sama, yang menghukumi berbeda dengan hukum tersebut, maka dari dua nas itu atau dari kondisi tersebut di-istinbâth ‘illat atau dia menunjukkan ‘illat hukum itu. Di antaranya, Asy-Syâri’ melarang suatu perkara dengan larangan yang bersifat umum dan Asy-Syâri’ memperbolehkannya pada salah satu kondisi di antara kondisi-kondisi perkara itu. Dari kebolehannya dalam salah satu kondisinya itu bersama dengan adanya larangan atasnya yang bersifat umum, bisa di-istinbâth bahwa ‘illat larangan itu adalah kondisi yang berlawanan dengan kondisi yang di situ perkara tersebut dibolehkan.
Contoh ‘illat mustanbathah, firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩
Hai orang-orang beriman, jika diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui (TQS al-Jumuah [62]: 9).
Ayat ini dinyatakan untuk menjelaskan hukum-hukum Shalat Jumat, bukan untuk menjelaskan hukum-hukum jual-beli. Larangan atas jual beli itu terjadi pada saat diserukan azan Shalat Jumat. Larangan ini merupakan larangan yang bersifat tegas. Meski menggunakan redaksi perintah untuk meninggalkan, yakni larangan, larangan itu disertai qarînah (indikasi), yakni tuntutan itu dikaitkan dengan larangan atas sesuatu yang mubah. Di tambah lagi topik seruannya adalah menunaikan shalat Jumat yang merupakan wajib. Dengan demikian larangan itu merupakan larangan tegas atas jual-beli ketika terdengar azan shalat Jumat.
Setelah itu kemudian datang nas, yakni ayat berikutnya menyatakan:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ ١٠
Jika telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah (QS al-Jumuah [62]: 10).
Ayat ini memerintahkan untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah dalam kondisi ketika kondisi larangan pada ayat sebelumnya telah hilang, yaitu “Jika telah ditunaikan shalat Jumat”. Artinya, ketika shalat Jumat telah selesai maka boleh melakukan jual-beli kembali. Maka dari hal itu bisa di-istinbâth ‘illat larangan jual-beli dalam kondisi ketika diserukan azan shalat Jumat, yaitu melalaikan shalat Jumat. ‘Illat itu ditunjukkan oleh kondisi jual-beli dibolehkan ketika kondisi jual-beli dilarang telah hilang, yakni ketika sudah selesai ditunaikan shalat Jumat.
Melalaikan shalat Jumat itu disebut ‘illat mustanbathah untuk larangan jual-beli ketika terdengar azan shalat Jumat. ‘Illat ini beredar bersama hukum larangan itu dari sisi ada dan tidak adanya. Artinya, apa saja, baik jual-beli, ijârah, bercakap-cakap, bermain dan lainnya haram dilakukan ketika terdengar azan shalat Jumat. Sebab hal itu jika terus dilakukan akan bisa melalaikan dari penunaian shalat Jumat.
Contoh yang lain ‘illat mustanbathah: Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa ia menuturkan: Aku sedang bergembira suatu hari lalu aku mencium istriku, sementara aku sedang puasa. Lalu aku datang kepada Nabi saw. dan aku katakan, “Aku telah melakukan perkara yang besar hari ini. Aku mencium istriku, sementara aku sedang berpuasa.” Nabi saw. bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟ قُلْتُ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ؟
“Bagaimana pendapatmu andai engkau berkumur-kumur dengan air dan engkau sedang berpuasa?” Aku katakana, “Tidak apa-apa hal itu.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Lalu mengapa?” (HR Ahmad, an-Nasai, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi).
Dari hadis ini bisa di-istinbâth bahwa mencium istri tidak merusak puasa seperti halnya berkumur-kumur dengan air tidak membatalkan puasa kecuali jika airnya turun masuk ke kerongkongan. Dengan demikian mencium istri tidak merusak atau tidak membatalkan puasa kecuali jika hal itu menyebabkan keluarnya mani. Maka dari situ bisa di-istinbâth ‘illat rusaknya puasa karena mencium istri adalah keluarnya mani.
Contoh ‘illat mustanbathah yang di-istinbâth dari pengaitan hukum dengan sifat tertentu yang bisa dipahami dari nas lain dengan dikaitkan dengan nas yang menyatakan hukum itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاء فِي ثَلَاثٍ : الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan dan api (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Di sisi lain, terdapat berbagai riwayat di mana Rasul saw. diam atas kepemilikan sumur secara pribadi di Madinah, Thaif, Khaibar untuk mengairi kebun mereka Rasul saw. juga diam atas kepemilikan air secara pribadi di Madinah dan Thaif. Namun demikian, kepemilikan sumur secara pribadi yang didiamkan, yakni disetujui oleh Rasul saw. yang maknanya hukumnya adalah boleh, itu disertai sifat atau keadaan tertentu; yaitu sumur itu untuk mengairi kebun pemiliknya dan keperluan lainnya, sementara jamaah atau komunitas masyarakat tidak memiliki keperluan bersama di dalamnya. Keadaan atau sifat itu menunjukkan bahwa perserikatan dalam hal air adalah dalam air yang di situ jamaah atau komunitas masyarakat memiliki keperluan bersama, yakni air itu dibutuhkan bersama oleh jamaah atau komunitas masyarakat. Maka dari situ di-istinbâth bahwa adanya kebutuhan bersama suatu jamaah/komunitas masyarakat pada air, yakni keberadaan air itu menjadi fasilitas bersama yang dibutuhkan komunitas masyarakat, menjadi ‘illat perserikatan masyarakat pada air itu, yakni menjadi ‘illat keberadaan air itu sebagai milik umum. Jika ‘illat ini tidak ada maka perserikatan itupun tidak ada. Artinya, jika tidak ada kebutuhan bersama atas air maka maka masyarakat tidak berserikat dalam air itu. Dengan kata lain, air itu tidak menjadi milik umum, namun boleh dimiliki secara pribadi oleh idividu-individu. ‘Illat dan hukum yang sama juga berlaku atas padang gembalaan dan api.
Contoh ‘illat mustanbathah yang lain: sabda Rasul saw.:
لاَ حِمَى اِلاَّ لِلَّهِ وَرَسُوْلِهِ
Tidak ada hak proteksi kecuali milik Allah dan Rasul-Nya” (HR al-Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud).
Himâ adalah proteksi atas suatu harta milik umum baik untuk keperluan tertentu saja, tidak untuk yang lain. Hadis tersebut bermakna: tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk memproteksi apa yang menjadi milik masyarakat secara umum. Yang memiliki hak untuk itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya saw., yakni hanya khalifah atau negara. Dalilnya riwayat Imam al-Bukhari bahwa Nabi saw. meng-himâ an-Naqi’ dan Umar bin al-Khaththab ra. ketika menjadi khalifah meng-himâ as-Sarafa dan az-Zabadah.
Dari hadis ini bisa di-istinbâth ‘illat larangan seseorang mengkhususkan atau mengokupasi sesuatu yang termasuk milik umum secara permanen. ‘Illat itu adalah pengokupasian atau pengkhususan secara permanen atau kontinu.
Berdasarkan ‘illat ini, sarana transportasi yang mengokupasi jalan yang merupakan milik umum secara permanen seperti trem, kereta, busway, dsb yang mengambil bagian dari jalan menjadi track atau jalur khusus untuknya, maka tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta. Demikian juga jaringan kabel atau pipa, termasuk pipa air dan semacamnya, yang mengambil sebagian dari jalan secara permanen, juga tidak boleh dimiliki oleh individu atau sawasta. Sebab itu telah mengokupasi bagian dari jalan secara permanen dan itu termasuk aktivitas himâ yang hanya menjadi wewenang khalifah/negara. Adapun alat transportasi yang tidak mengokupasi jalan atau milik umum secara permanen seperti kendaraan, sepeda motor, perahu, kapal, pesawat, dsb maka boleh dimiliki secara pribadi.
Demikianlah contoh ‘illat mustanbathah.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]