Tanya :
Ustadz, bolehkah wakaf tunai? (Adi, Padang)
Jawab :
Wakaf tunai (waqf al nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah yang keuntungannya disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh). (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 20-21; Fiqh Al Waqf fi Al Syari’ah Al Islamiyyah, 2/239).
Di Indonesia wakaf tunai telah difatwakan kebolehannya oleh Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 dan telah mendapat legalitas berdasar UU No 41/2004 tentang Wakaf. (Agustianto, Wakaf Tunai dalam Hukum Positif, hlm. 5-6).
Sebenarnya ada khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukum wakaf tunai.
Pertama, tak membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafi’i, dan pendapat yang sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah.
Kedua, membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu’ul Fatawa, 31/234) dan juga satu pendapat (qaul) di kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 10/298; Al ‘Ayyasyi Faddad, Masa`il fi Fiqh Al Waqf, hlm. 8-9).
Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Pendapat yang tak membolehkan beralasan, sebagaimana kata Imam Ibnu Qudamah,”Karena wakaf itu adalah menahan harta pokok (al ashl) dan memanfaatkan buahnya, dan sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/229).
Sedang pendapat yang membolehkan, mengatakan uang yang diwakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan gantinya (badal), yaitu uang yang senilai. (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 31; Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 11-12; Ali Muhammadi, Waqf Al Nuqud Fiqhuhu wa Anwa’uhu, hlm. 159-163; Ahmad Al Haddad, Waqf Al Nuqud wa Istitsmaruha, hlm. 30-40).
Yang lebih kuat (rajih) menurut kami pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai, dengan 3 (tiga) alasan sbb;
pertama, pendapat yang tak membolehkan lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf (ma’a baqaa`i ‘ainihi). Sebab definisi wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan benda/zat harta itu (ma’a baqaa`i ‘ainihi), dengan tidak melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap benda itu (menjual, menghibahkan, dst), untuk disalurkan kepada sesuatu yang mubah. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/87; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/231; Imam Syairazi, Al Muhadzdzab, 1/575).
Wakaf uang tak memenuhi syarat ini, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujjah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya adalah berhujjah dengan nash syar’i, karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang diistinbath dari nash-nash syar’i. (Taqiyuddin Nabhani, Izalatul Atribah ‘Anil Judzur, hlm. 1-2; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/443).
Kedua, pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai berarti berpegang dengan hukum asal (al ashl), yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Sedang pendapat yang membolehkan berarti menyalahi hukum asal (khilaful ashl), yaitu benda wakaf boleh lenyap zatnya asalkan diganti yang senilai. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin, sedang menyalahi hukum asal masih diragukan, kecuali ada dalilnya. Kaidah fiqih menyebutkan : al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan). (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).
Ketiga, pendapat yang membolehkan wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah). (Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 13-14). Padahal Mashalih Mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/441). Wallahu a’lam. [vm]
Dijawab Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi