Soal:
Bagaimana status hukum debt collector dalam Islam? Bolehkah menagih hutang dengan menggunakan jasa debt collector? Jika tidak, bagaimana caranya menagih hutang kepada orang yang tidak beriktikad baik untuk membayar hutang, menurut pandangan Islam?
Jawab:
Sebelum membahas tentang status hukum debt collector ini ada baiknya kita menelaah lebih jauh faktor yang menyebabkan terjadinya praktik penagihan hutang dengan menggunakan jasa mereka, yang oleh Menkum HAM, Patrialis Akbar (6/4/2011), disebut sebagai tindakan main hakim sendiri. Masih menurut dia, secara hukum penggunaan jasa debt collector ini dianggap ilegal.
Lalu bagaimana dengan status debt collector itu sendiri menurut Islam? Debt collector ini sebenarnya adalah jasa penagihan hutang. Dari aspek bahwa hutang tersebut merupakan hak harta client pengguna jasa debt collector, maka jasa yang diberikan oleh seorang debt collector untuk menagih hutang tersebut sebenarnya mubah; terlepas apakah hutangnya riba atau tidak. Status debt collector sendiri dalam hal ini bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama: wakil dari client-nya, yakni dia mendapatkan wakalah dari client-nya untuk menagih hutang pihak ketiga kepadanya. Kedua: orang yang bekerja untuk client-nya, yakni dia diupah untuk menagihkan piutangnya.
Dengan demikian, status pekerjaan debt collector ini bisa dikategorikan sebagai wakalah bi al-ujrah. Dilihat dari fakta ini sebenarnya tidak ada yang salah dengan pekerjaan ini. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada larangan menagih hutang dengan menggunakan jasa mereka. Karena menagih hutang tersebut merupakan hak harta orang yang menghutangi, maka dia boleh menagih langsung, menggunakan jasa orang lain, atau mengajukannya ke pengadilan. Semuanya berpulang kepada yang mempunyai hak.
Ibn Hajar al-Asqalani, saat mengomentari Bab al-Wakalah fi Qadha’ ad-Dayn (Hukum Mewakilkan Pembayaran Hutang) dengan mengutip pendapat Ibn Munir, menyatakan, “Fikih dari penjelasan ini, seolah-olah bagi orang yang berasumsi, bahwa membayar hutang hukumnya wajib disegerakan, maka mewakilkan pembayaran hutang berarti tidak boleh, karena terjadi penundaan dari pemberi mandat kepada wakilnya. Justru tampak, bahwa itu (mewakilkan pembayaran hutang) boleh, dan tindakan itu tidak termasuk kategori menunda-nunda pembayaran.”1
Jika membayar hutang yang wajib, dan wajib ditunaikan secepatnya saja boleh diwakilkan, maka menagih hutang yang mubah, dan boleh ditangguhkan itu tentu lebih boleh lagi diwakilkan.
Adapun masalah yang timbul akibat cara-cara yang digunakan oleh debt collector dalam melaksanakan tugasnya, maka ini tidak boleh dijadikan argumen untuk melarang pekerjaan tersebut. Yang harus dilarang adalah cara-cara kotor yang digunakan; misalnya menteror, baik secara psikis maupun fisik. Sebab, dengan tegas Nabi saw. telah mengharamkan tindakan tersebut:
لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِماً
Seorang Muslim tidak halal meneror Muslim yang lain (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Hanya saja, harus dicatat, pelanggaran tersebut bisa terjadi karena masing-masing pihak tidak mengerti hak dan kewajibannya terkait dengan hutang-piutang. Bagi seorang debitor, yang mempunyai hutang kepada pihak kreditor, hukum membayar hutang tepat pada waktunya adalah fardhu ‘ain, jika dia mampu bayar. Selain itu, kewajiban tersebut harus ditunaikan secepatnya, dan haram ditunda-tunda. Karena itu, menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu disebut oleh Nabi saw. sebagai zalim:
مَطَلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menangguh-nangguhkan pembayaran hutang bagi orang kaya adalah tindakan zalim (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, jika tidak mampu, maka dia pun wajib menyampaikannya kepada pihak kreditor, dan dia pun berhak mengajukan penjadwalan ulang pembayaran utangnya. Pada saat yang sama, pihak kreditor juga wajib menerima, dan memberikan kelonggaran kepada debitor tersebut. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
Jika dia mempunyai kesulitan maka berilah kemudahan kepadanya (QS al-Baqarah [02]: 280).
Selain itu, juga banyak nas hadis yang mendorong para kreditor untuk bersikap lapang dan memberikan kemudahan kepada orang yang mempunyai tanggungan kepadanya, sementara dia mengalami kesulitan. Dalam situasi seperti ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama: pihak debitor tersebut diminta bersumpah demi Allah, bahwa dia memang benar-benar dalam kesulitan. Kedua: jika debitor tersebut mempunyai harta lain, maka bisa dijual, dan dibayarkan kepada kreditor. Ketiga: jika ternyata hutangnya lebih besar daripada asetnya maka dia dinyatakan sebagai muflis (pailit), maka dia harus dikenai hijr (sanksi larangan melakukan transaksi). Hartanya dihitung, kemudian dibagikan kepada para kreditornya, sesuai dengan prosentase piutangnya. Ketiga tindakan ini bisa dilakukan oleh negara, melalui Mahkamah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab kepada Asfa’ bin Juhainah.2
Ini jika orang yang berhutang tersebut benar-benar tidak mampu bayar, dan dalam kesulitan. Namun, jika ternyata orang tersebut mampu, juga tidak dalam kesulitan, melainkan hanya menunda-nunda pembayaran, maka terhadap mereka, pihak kreditor bisa menagihnya, baik langsung maupun dengan jasa pihak lain; bisa juga mengajukannya ke pengadilan, sehingga dia akan dipaksa oleh negara untuk membayar hutangnya. Negara pun bisa menjatuhkan sanksi ta’zir kepadanya akibat tindakannya itu. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
لَيّ الواجِدِ يُحِلّ عُقوبتَهُ وعِرْضَهُ
Orang yang mampu bayar hutang, namun menunda-nunda, maka dia menghalalkan dirinya dikenai sanksi dan kehormatannya (halal dirampas) (HR al-Bukhari).
Namun, tindakan yang terakhir ini biasanya akan ditempuh oleh para kreditor, jika negara dan aparat penegak hukumnya kredibel. Hal itu hanya ada dalam sistem Khilafah, bukan sistem korup seperti sekarang ini. []
Catatan kaki:
- Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, cet, 1993, V/251.
- Rawwas Qal’ah Jie, Mausu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet V, 1997, hlm. 402.