LAGI viral kembali beberapa cuplikan video Ustadz Yusuf Mansur yang memotivasi bahkan “memaksa” jamaahnya untuk bersedekah. Tentu dengan jurus khasnya, yaitu “matematika sedekah”.
Ringkasnya, kata Ustadz Yusuf Mansur: Jika Anda bersedekah Rp 1 juta, misalnya, maka Allah SWT akan ganti dengan minimal Rp 10 juta (10 kali lipat). Sedekah 10 juta akan Allah SWT ganti dengan minimal Rp 100 juta. Sedekah Rp 100 juta akan Allah SWT ganti minimal dengan Rp 1 Miliar. Sedekah sepeda motor akan Allah SWT ganti dengan mobil. Sedekah mobil Avanza akan Allah SWT ganti dengan Alphard. Begitu seterusnya.
Betulkah selalu begitu?
Lepas dari logika “matematika sedekah” ala Ustadz Yusuf Mansur, tentu benar bahwa Allah SWT akan membalas amal sedekah dengan berlipat ganda (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 261). Demikian juga yang dijelaskan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam banyak hadisnya.
Lalu salahkah kita bersedekah dengan mengharap apa yang telah Allah SWT dan Rasul-Nya janjikan? Tentu saja tidak.
Namun demikian, hendaknya juga dipahami. Bersedekah tidak seharusnya didasarkan pada logika “matematika sedekah”. Sebabnya, jika itu yang dilakukan, biasanya: Pertama, sedekah dikeluarkan hanya sebatas untuk mendapatkan “balasan” yang kita inginkan. Kedua, tak selalu Allah SWT membalas sedekah kita dengan balasan duniawi ala “matematika sedekah”. Pasalnya, bisa jadi Allah SWT mengganti sedekah kita dengan bentuk yang lain, misalnya dihindarkan dari musibah, atau dibalas di akhirat dalam wujud pahala yang berlipat ganda. (Lihat: Al-Haitsami, Majma ‘az-Zawaa’id, V/282). Ketiga, mungkin kita akan kecewa jika sedekah kita tidak berbuah balasan duniawi yang kita inginkan, seperti rumus “matematika sedekah”.
Jadi bagaimana seharusnya?
Bersedekahlah ikhlas semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah SWT. Masalah balasan atas sedekah kita, serahkan semuanya kepada Allah SWT. Allah SWT pasti akan memberikan balasan terbaik atas sedekah kita. Tidak di dunia, pasti balasan sedekah itu akan kita dapatkan di akhirat.
Inilah juga yang dilakukan oleh generasi shalafus-shalih terdahulu. Salah satunya Imam Laits bin Sa’ad rahimahulLaah. Beliau senantiasa jor-joran bersedekah tanpa pernah berpikir tentang balasan sedekah yang bersifat duniawi.
Sebagaimana diketahui, Imam Laits bin Sa’ad dikenal sebagai salah satu ulama besar sekaligus seorang mujtahid terkemuka di bidang fikih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang fakih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam al-Laits. “Ilmu para Tâbi’în yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh al-Laits,” kata Ibnu Hajar. Imam asy-Syafii bahkan menilai Imam al-Laits lebih fakih daripada Imam Malik (Lihat: An-Nawawi, Tahdziib al-Asmaa’ wa al-Lughaat, 2/73).
Selain seorang ulama besar, Imam al-Laits juga termasuk pengusaha sukses yang amat dermawan. Pendapatan Imam Laits bin Sa’ad–dari bisnisnya–setiap tahun tidak kurang dari 80.000 Dinar (sekitar Rp 280 Miliar/tahun). Namun, ia sering tidak membayar zakat yang telah Allah SWT wajibkan meski cuma 1 dirham. Sebabnya, karena begitu jor-jorannya beliau bersedekah dan berinfak di jalan Allah SWT, hartanya setiap tahun nyaris habis sehingga kadang tidak pernah mencapai nishab zakat (Lihat: Ibnu ‘Asakir, Taariikh Dimasq, 50/377; Al-Khathib al-Baghdadi, Taarikh Baghdaad, 14/524; Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyaa’, 7/319; Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa’, 7/213).
Lalu bagaimana cara Imam Laits “menghabiskan” hartanya dalam bersedekah?
Pertama: Sebagaimana kata Qutaibah bin Said, Imam al-Laits selalu bersedekah setiap hari untuk 300 fakir miskin dengan sedekah yang amat banyak. Setiap hari pula ia biasa memberi ratusan santri (para pencari ilmu) sejumlah keping Dinar emas (1 Dinar emas saat ini setara kira-kira Rp 3,5 juta).
Kedua: Imam Laits juga banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Suatu ketika, misalnya, ada seorang wanita miskin meminta madu alakadarnya kepada sang Imam untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Segera Imam al-Laits memberi wanita itu 120 liter madu.
Suatu saat, misalnya, Imam Malik menulis surat kepada Imam Laits bahwa ia memiliki utang yang harus dilunasi. Segera Imam Laits membalas surat Imam Malik sambil memberikan secara cuma-cuma uang sebanyak 500 dinar atau sekitar Rp 1,75 miliar (Al-Jaami’ fî Rasaa’il ad-Da’wiyyah,_ 128-129).
Ketiga: Imam Laits juga rajin memberikan hadiah kepada orang-yang yang layak diberi hadiah. Salah satunya adalah Imam Malik, ulama besar sejawat beliau. Imam Malik bahkan di antara yang paling sering mendapatkan hadiah dari Imam Laits bin Sa’ad.
Yahya bin Bakr, berkata: Aku pernah mendengar ayahku berkata, “Al-Laits pernah mengutus tiga orang untuk menghadiahkan hartanya sebanyak 3000 dinar (sekitar Rp 10,5 miliar) kepada tiga orang. Masing-masing mendapatkan 1000 dinar (sekitar Rp 3,5 miliar), yaitu: Ibnu Luhai’ah, Malik bin Anas dan Qadhi Manshur bin Ammar.”
Saat pergi haji, Imam al-Laits singgah di Madinah. Saat itu Imam Malik, melalui utusan beliau, mengirim beberapa lembar roti basah dari gandum di atas nampan. Untuk membalas kebaikan Imam Malik, Imam al-Laits lalu mengembalikan nampan tersebut–yang dibawa oleh utusan Imam Malik–dengan menaruh uang di atasnya sebanyak 1000 dinar (sekitar Rp 3,5 miliar) sebagai hadiah untuk Imam Malik.
Pada suatu ketika, Khalifah Harun ar-Rasyid memberi Imam Malik uang sebanyak 500 dinar (sekitar Rp 1,75 miliar). Mengetahui itu, Imam Laits tidak mau kalah. Beliau pun memberikan hadiah kepada Imam Malik berupa uang dengan jumlah dua kali lipat, yakni 1.000 dinar (sekitar Rp 3,5 miliar) (Al-Irbili, Wafiyât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 4/10).
Imam al-Laits wafat sekitar tahun 175 H. Terkait wafatnya Imam al-Laits, Imam Syafii pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan.” (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Taarikh al-Baghdaad, 13/3; Adz-Dzahabi, Tadzkiraat al-Huffaazh, 1/207).
Begitulah seharusnya bersedekah. Semoga kita pun bisa melakukannya, seperti yang dilakukan Imam Laits bin Sa’ad rahimahulLaah.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []
Oleh: Arief B. Iskandar (Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
Hikmah Ramadhan:
قال رسول الله ﷺ : تصدقوا ؛ فإنه يأتي عليكم زمان يمشي الرجل بصدقته، فلا يجد من يقبلها (رواه البخاري)
Rasulullah saw. bersabda: “Bersedekahlah kalian. Sebab sesungguhnya kelak akan datang suatu zaman kepada kalian saat seseorang menyusuri jalan dengan membawa harta yang hendak ia sedekahkan. Namun, ia tidak menemukan seorang pun yang mau menerima sedekahnya.” (HR al-Bukhari). []
2 comments
Pingback: Lâ Tabi’ Mâ Laysa ‘Indaka -Jangan Engkau Jual Apa yang Bukan Milikmu- Visi Muslim Media
Pingback: Zakat Fitrah dan Kaffarat Menggunakan Nilai Uang - Visi Muslim Media