Dalam kitab, al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, al-Hakim mengeluarkan hadits,
» سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
[رواه الحاكم في المستدرك، ج 5/465]
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, ‘Siapa ruwaibidhah itu?’ Nabi menjawab, ‘Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.’” (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465).
Mengenai hadits ini, al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadits dengan isnad sahih, meski al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Imam ad-Dzahabi menyetujuinya.” Jadi, hadits ini adalah hadits sahih, yang dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan ad-Dzahabi. Hadits ini juga mempunyai syawahid (pendukung), antara lain:
Pertama, hadits al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.,
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَماَنَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: وَكَيْفَ إِضَاعَتِهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” Dia (sahabat) bertanya, “Bagaimana yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Nabi menjawab, “Ketika urusan itu diserahkan kepada orang yang tidak ahlinya, maka tunggulah kiamat.” Maksudnya, “Ketika urusan itu diserahkan kepada mereka… Karena Allah (Swt.) memberi amanah kepada para imam dan penguasa untuk mengurus hamba-Nya. Mewajibkan mereka memberikan nasihat kepada para penguasa. Mestinya, mereka mengangkat ahli agama dan orang yang amanah untuk mengurusi urusan umat. Jika mereka menyerahkan kepada yang bukan ahli agama, berarti mereka benar-benar menyia-nyiakan amanah yang Allah fardukan kepada mereka.”(al-Qurthubi, Mukhtashar at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa al-Akhirah, 498).
Kedua, Muslim meriwayatkan hadits Jibril yang panjang, intinya,
إِذَا رَأَيْتَ الْمَرْأَةَ تَلِدُ رَبَّهَا فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا، وَإِذَا رَأَيْتَ الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الصُّمَّ الْبُكْمَ مُلُوْكَ الأَرْضِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا
“Jika kamu melihat wanita melahirkan tuannya, itulah di antara tanda-tanda kiamat. Jika kamu melihat orang yang telanjang kaki, telanjang badan, tuli, dan buta menjadi penguasa di muka bumi, maka itulah di antara tanda-tandanya.”
Maksud “Summu” (tuli) dan “Bukmu” (buta) bukan secara fisik, tetapi dia tidak tidak mau mendengar dan melihat kebenaran Islam, sehingga memerintah bukan dengan Islam. Meski boleh jadi seorang muslim, tetapi jauh dari Islam. Hadits di atas menggambarkan tentang tanda-tanda akhir zaman.
Makna “Sanawat Khadda’at”
Hadits ini menjelaskan akan datangnya sanawat (tahun-tahun), jamak dari sanah (tahun), yang disifati dengan sifat khadda’at (penuh kebohongan), jamak dari khadda’. Namun yang menarik, Nabi menggunakan sifat khadda’at, dengan syiddah pada huruf Dal, yang merupakan bentuk Mubalaghah (klimaks). Bukan khada’, tanpa syiddah. Ini berbeda maknanya.
Khada’, tanpa syiddah pada huruf Dal, maknanya bohong sekali. Tetapi, khadda’ dengan syiddah pada huruf Dal, yang merupakan bentuk Mubalaghah, maknanya bukan hanya bohong sekali, tetapi berkali-kali. Karena itu bisa diartikan dengan penuh kebohongan.
Jadi, yang dimaksud oleh hadits Nabi di atas adalah, “Akan datang tahun-tahun penuh kebohongan”. Kebohongan pada tahun-tahun itu terlalu banyak. Inilah yang dimaksud oleh hadits ini. Dalam riwayat lain, Nabi menyatakan,
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ سِنِينَ خَدَّاعَةً» [رواه البزار، في مسنده، ج 174/7]
“Sebelum Hari Kiamat, akan ada tahun-tahun penuh kebohongan.” (HR al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, VII/174)
Dalam riwayat lain, Nabi menyatakan,
يَكُونُ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنُونَ خَوَادِعٌ» [رواه الطبراني في الكبير، ج 438/12]
“Sebelum datangnya Dajjal akan ada tahun-tahun kebohongan.” (HR Ath-Thabari, al-Mu’jam al-Kabir, XII/438)
Jika hadits ini diterapkan dalam konteks sekarang sangat pas, ketika kapitalisme, sekularisme, dan demokrasi berkuasa di muka bumi.
Tahun-tahun penuh kebohongan tersebut tampak dengan jelas dalam sistem demokrasi. Bagaimana tidak? Ketika demokrasi mengklaim Vox Populi, Vox Dei (Suara rakyat, suara Tuhan), maka klaim itu nyata bohong. Ketika demokrasi diklaim sebagai “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”, nyata bahwa klaim ini juga bohong. Karena rakyat tidak benar-benar memerintah, begitu juga pemerintahannya bukan untuk rakyat. Tetapi, untuk memenuhi kepentingan cukong.
Ketika demokrasi mengklaim kedaulatan di tangan rakyat, nyatanya rakyat tidak berdaulat. Karena hukum yang dibuat tidak untuk kepentingan mereka, melainkan untuk kepentingan pemodal/asing. Contoh mutakhir, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, dengan dalih mencabut subsidi BBM, juga nyata bohong. Karena, pemerintah nyatanya tidak pernah menyubsidi BBM.
Ketika dikatakan, bahwa subsidi BBM dialihkan kepada orang miskin, karena yang mengonsumsi BBM mayoritas orang kaya, juga bohong. Karena lebih dari 60% konsumsi BBM justru untuk transportasi umum. Ketika dikatakan, bahwa dengan kenaikan BBM, angka kemiskinan akan turun, juga bohong.
Karena, jelas harga sembako naik, transportasi naik, jasa naik, inflasi naik, bagaimana mungkin logikanya jumlah orang miskin berkurang? Jelas bohong.
Banyak lagi kebohongan-kebohongan lain, yang tidak kasat mata. Ini menunjukkan, bahwa “Sanawat Khadda’at” yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas saat ini benar-benar nyata, dan faktanya bisa ditunjuk dengan jari. Ini tentang “Sanawat Khadda’at”.
Makna “Ruwaibidhah”
Lafaz “ruwaibidhah” merupakan bentuk lafaz mujmal, yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam redaksi berikutnya, ketika ditanya oleh para sahabat,
وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ» [رواه الحاكم في المستدرك، ج 465/5]
“Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Al-Hakim)
Lafaz “ruwaibidhah” telah ditafsirkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan, bahwa lafaz ini merupakan bentuk tashghir dari lafaz “rabidhah”, yang berkonotasi penggembala rabidh (kambing). Adapun huruf Ta’ di belakang lafaz rabidhah berkonotasi Mubalaghah (klimaks). Ada yang mengatakan, “ruwaibidhah” merupakan bentuk tashghir dari lafaz “rabidhah”, yang berkonotasi orang yang tidak mampu meraih urusan (perkara) yang luar biasa, dan berdiam diri untuk meraihnya.
Sedangkan tambahan huruf Ta’ di belakang lafaz rabidhah berkonotasi Mubalaghah (klimaks). Abu ‘Ubaidah berkomentar, “Ruwaibidhah” maknanya at-tafih, yaitu al-khasis al-haqir (tidak bernilai dan hina). (al-Qurthubi, Mukhtashar at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa al-Akhirah, 499).
Sedangkan Imam as-Syathibi menjelaskan, “Mereka mengatakan, bahwa dia adalah orang bodoh yang lemah, yang membicarakan urusan umum. Dia bukan ahlinya untuk berbicara tentang urusan khalayak ramai, tetapi tetap saja dia menyatakannya.” (As-Syathibi, al-I’tisham, II/681)
Dari berbagai gambaran di atas, bisa disimpulkan bahwa hadits ini menjelaskan tentang kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera jahiliah. Menyeru kepada ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti kapitalisme, sosialisme, sekularisme, liberalisme, demokrasi.
Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik, dan hina. Mereka bukanlah orang yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur, tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai mengklaim.
Bagi orang yang mempunyai kepekaan dan nurani, tentu tidak sulit mengetahui kondisi mereka. Meski mereka mengklaim membela dan menolong kebenaran.
Mereka adalah dedengkot kesesatan, pengikut hawa nafsu dan syahwat. Mereka didukung orang-orang munafik, ekstrem, jahil tentang Islam, dan lalai. Kadang mereka tampak berilmu dan benar, tetapi mereka menjual agama mereka untuk secuil dunia. Mereka menggunakan ilmunya untuk menjustifikasi kerusakan dan sistem kufur. Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Akibatnya, halal dan haram, makruf dan mungkar menjadi kabur di mata umat. Inilah makna “ruwaibidhah” yang dimaksud oleh hadits di atas. [vm]
Ditulis Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman