Soal:
Pertanyaan saya adalah berkaitan dengan shalat Fajar yang dikenal penentuan waktunya di semua negara bersama dengan azan dan itu bersama gelapnya malam yakni sebelum sampainya fajar!!
Pertanyaan saya, kapan shalat Fajar itu sah, bersama dengan azan atau bersama dengan sampainya fajar shadiq?!
Dan apakah menahan diri dari makan dan minum itu bersama dengan azan atau bersama dengan sampainya fajar shadiq?
3- Allah SWT menjelaskan kapan wajibnya menahan diri dari makan dan minum dan mencampuri isteri dengan firman Allah SWT:
﴿حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ﴾
“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (TQS al-Baqarah [2]: 187).
Yakni munculnya fajar shadiq yaitu warna putih di ufuk (cakrawala) dalam bentuk garis (benang) horisontal yang membedakan malam dan siang. Dan sebelum munculnya putih dalam bentuk garis horisontal ini maka tampak putih dalam bentuk menjulang di ufuk (cakrawala) dan itu yang disebut fajru al-kâdzib. Dan makan, minum dan bercampur dengan isteri tidak berakhir dengan fajru al-kâdzib ini tetapi dengan munculnya fajru ash-shâdiq yang telah kami jelaskan.
Dari Adi bin Hatim, ia berkata: “ketika turun ayat ini:
﴿وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ﴾
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (TQS al-Baqarah [2]: 187).
Aku sengaja mengambil dua ikatan, yang satu hitam dan yang lainnya putih, dan aku tempatkan di bawah batalku:. Dia berkata: “dan aku melihat keduanya, ketika menjadi jelas bagiku yang putih dari yang hitam maka aku menahan diri, ketika pagi harinya aku pergi kepada Rasulullah saw dan aku beritahukan apa yang aku lakukan, maka beliau bersabda:
«إِنَّ وِسَادَكَ إِذَنْ لَعَرِيْضٌ إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ»
“Kalau begitu bantulmu sungguh tebal, tidak lain itu adalah putih (trangnya)nya siang dari gelapnya malam”.[1]
Ini apa yang dinyatakan di buku Tafsîr Sûrah al-Bâqarah oleh syaikh Atha’ Abu ar-Rasytah. Jadi saya mohon penjelasan, dan semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.
[Samer Zaen]Jawab:
Wa’alaikumusssalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ya akhiy, azan fajar adalah ketika fajru ash-shâdiq, yakni ketika datang fajru ash-shâdiq, muadzin mengumandangkan azan untuk shalat Shubuh. Ini adalah waktu imsâk (menahan diri) dari makan dan minum. Dan ini dijelaskan di buku-buku fikih.
Dinyatakan di buku Ahkâm ash-Shalâh oleh ‘Ali Raghib yang diterbitkan oleh Hizb – bab waktu-waktu shalat:
[Ahkâm ash-Shalâh halaman 34 – Waktu-waktu shalat…Waktu shalat Shubuh jika fajar yang kedua telah terbit yaitu fajru ash-shâdiq yang dengannya diharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa, dan akhir waktu shubuh adalah jika langit berwarna kuning yakni jika terang. Hal itu karena apa yang diriwayatkan bahwa Jibril as shalat Shubuh ketika fajar terbit dan besoknya Jibril shalat ketika langit berwarna kuning. Kemudian hilanglah waktu pilihan dan tersisa waktu jawâz (waktu boleh) sampai terbit matahari. Dan waktu-waktu itu semuanya dijelaskan dalam apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi dalam topik ini, yaitu:
Dari Jabir bin Abdullah ra: “bahwa Nabi saw, didatangi oleh Jibril as. dan Jibril berkata kepada beliau: “berdirilah dan shalatlah …
Kemudian datang fajar maka Jibril berkata: “berdirilah dan shalatlah”, maka beliau shalat Fajar ketika fajar menyingsing atau dia (perawi) berkata: telah terang fajar. Kemudian Jibril mendatangi beliau besoknya …
Kemudian Jibril mendatangi beliau untuk shalat Fajar (Shubuh) ketika langit berwarna sangat kuning, dan Jibril berkata: “berdirilah dan shalatlah”, maka beliau shalat Fajar. Kemudian dia (perawi) berkata: “ada waktu di antara kedua waktu ini”.
Dan wajib shalat di awal waktu sebagai wajib muwassa’, dengan makna bahwa dia boleh melakukannya di bagian manapun dari bagian-bagian waktu itu, yakni dia boleh memilih melakukannya dari awal waktu sampai akhirnya], selesai. Dan makna “ketika fajar menyingsing” yakni fajru ash-shâdiq.
– Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah juz 28 halaman 325:
[Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fukaha bahwa awal waktu shalat Fajar (Shubuh) adalah terbitnya fajar kedua yakni fajru ash-shâdiq, dan akhir waktunya sampai terbit matahari. Hal itu karena sabda Rasul saw:
«إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلاً وَآخِراً، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ، وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ»
“Sesungguhnya shalat itu ada awal dan akhirnya, dan awal waktu shalat Fajar (Shubuh) ketika terbit fajar dan akhirnya waktunya adalah ketika terbit matahari”]
Selesai.
– Demikian dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah juz 8 halaman 206:
[Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fukaha bahwa awal waktu Shubuh adalah terbitnya fajru ash-shâdiq dan disebut fajar kedua, dan disebut shâdiq (benar) karena jelas dan terangnya wajah shubuh. Dan tandanya adalah warna putih yang menyebar di ufuk (cakrawala) secara horisontal. Adapun fajru al-kâdzib dan disebut fajar pertama, maka itu tidak berkaitan dengan hukum, dan dengannya tidak masuk waktu Shubuh, dan tandanya adalah warna putih menjulang yang mencuat di tengah langit kemudian setelah itu lenyap.
… …
– Dari apa yang telah dipaparkan, maka diketahui bahwa jumhur fukaha berpendapat bahwa akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari. Hal itu karena apa yang diriwayatkan dari Abnu Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
«إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلاً وَآخِراً، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ، وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ»
“Sesungguhnya shalat itu ada awal dan akhirnya, dan awal waktu shalat Fajar (Shubuh) ketika terbit fajar dan akhirnya waktunya adalah ketika terbit matahari”]
Selesai
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara fajru ash-shâdiq dengan azan fajar. Keduanya adalah satu waktu yang sama. Wallâh a’lam wa ahkam. []
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info
[1] Al-Bukhari 4149, 4150; Muslim 1824; Abu7 Dawud 2002; ad-Darimi 1632. Wisâduka ‘arîdhun: kiasan dari banyaknya tidur, sebab siapa yang bantalnya tebal maka tidurnya nyenyak. Atau kiasan dari lebarnya lehernya dan tebalnya kepalanya, hal itu merupakan dalil kebodohan (al-Qâmûs al-Muhîth).