الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Kalimat hikmah adalah barang berharga kaum Mukmin yang hilang. Dimana saja ia menemukannya, ia lebih berhak terhadapnya. (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
At-Tirmidzi meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Umar bin al-Walid al-Kindi, sedangkan Ibn Majah meriwayatkannya dari Abdurrahman bin Abdul Wahab. Keduanya, yakni Muhammad dan Abdurrahman, menerimanya dari Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin al-Fadhli, dari Said al-Maqburi, dari Abu Hurairah. At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadis gharîb (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini.” Ibrahim bin al-Fadhli al-Makhzumi di-dha‘îf-kan hadisnya dari sisi hapalannya.
Al-Qadha’i meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari: Muhammad bin Ahmad al-Ashbahani, Abu Said al-Hasan bin Ali as-Saqathi dan Abu Abad—yaitu Dzu an-Nun bin Muhammad bin Amir ash-Shaighi at-Tastar. Keduanya meriwayatkannya berturut-turut dari: Abu Ahmad al-Hasan bin Said bin Abdullah al-‘Askari, Suhail bin Ya‘qub ash-Shifar, Muhammad bin Muawiyah az-Ziyadi, Isa bin Ibrahim, Afif bin Salim, Ibrahim bin al-Fadhli, Said bin Abi Said al-Maqburi dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
كَلِمَةُ الْحِكْمَةِ ضَالَةُ كُلِّ حَكِيْمٍ وَإِذَا وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا
Kalimat hikmah adalah perhiasan yang hilang dari setiap hakim. Jika ia menemukannya maka ia lebih berhak atasnya.
Semua riwayat di atas di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin al-Fadhli. Dia adalah: perawi dha‘îf (At-Tirmidzi); munkar al-hadîts (Al-Bukhari dalam at-Târîkh al-Kabîr);1 matrûk dan termasuk thabaqat ke delapan;2(Ibn Hajar al-‘Ashqalani); bukan termasuk perawi yang kuat dalam hadis, ia dha‘îf al-hadîts (Ahmad bin Hanbal, Abu Zur‘ah); dha‘îf, hadisnya tidak (boleh) ditulis (Ibn Ma‘in) berkata, Ibrahim bin al-Fadhli adalah dha‘îf; matrûk (An-Nasai dan Jamaah); munkar al-hadîts, tidak tsiqah dan hadisnya tidak boleh ditulis (An-Nasa’i); bukan perawi yang kuat (Al-Hakim); tidak boleh ber-hujjah dengan hadisnya (Al-Mazi); hadisnya kadang diakui dan kadang diingkari (Ya‘qub bin Sufyan); fâkhis al-khatha’/sangat berat kesalahannya (Ibn Hibban); matrûk (Ad-Daruquthni dan al-Azadi).3
Dengan penilaian seperti itu tidak aneh jika al-Albani menilai hadis di atas sebagai dha‘îf jiddan (lemah sekali). Dengan demikian, riwayat ini harus ditinggalkan dan tidak bisa dijadikan dalil.
Al-Qadha’i4 meriwayatkan matan hadis yang senada berturut-turut dari: Abu al-Hasan Abdul Aziz bin Muhammad bin Dawud, Muhammad, Dawud, Qirshafah Muhammad bin Abdul Wahab, Adam bin Abi Iyas, Layts bin Saad, Hisyam bin Saad dan Zaid bin Aslam. Dinyatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
الْحِكْمَةُ ضَالَةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُمَا وَجَدَ الْمُؤْمِنُ ضَالَتَهُ فَلْيَجْمَعَهَا إِلَيْهِ
Hikmah adalah perhiasan seorang Mukmin yang hilang. Dimana saja seorang Mukmin menemukan perhiasannya, hendaklah ia mengumpulkannya kepadanya.
As-Sakhawi mengatakan di dalam Al-Maqâshid, 5″Al-Hikmah dhâlah al-mu’min. Al-Qadha’i dalam Musnad-nya dari al-Laits, dari Hisyam bin Saad, dan dari Zaid bin Aslam secara marfû‘ darinya hadis ini ada tambahan: haytsu mâ wajada al-mu’min dhâlatahu falyajma’hâ ilayhi. Hadis ini mursal.”
Jadi, hadis ini yang berasal dari Nabi adalah lafal: Al-Hikmah dhâlah al-mu’min (Hikmah adalah benda berharga Mukmin yang hilang). Adapun kalimat selanjutnya adalah tambahan dan bukan bagian dari sabda Nabi saw.
Selebihnya riwayat-riwayat lain yang menyatakan lafal di atas atau senada tidak ada yang sampai kepada Nabi saw., dengan kata lain, bukan hadis. Di antara riwayat itu adalah: riwayat al-‘Askari dari ucapan Anas; riwayat al-Baihaqi dalam Al-Madkhal6 dari ucapan Ikrimah, Said bin Abiy Burdah dan Abdullah bin Ubaid bin Umair; riwayat ad-Dailami dari ucapan Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas; dan riawayat ad-Dailami tanpa sanad dari ucapan Ibn Umar.7 Riwayat-riwayat tersebut hanya berhenti pada ucapan Sahabat, artinya riwayat mawqûf. Dalam hal ini, ucapan atau pendapat Sahabat bukanlah dalil syariah.
Meski riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah, sebagian orang seperti kalangan liberal sering menjadikannya sebagai alasan. Dengan alasan riwayat itu, menurut mereka sah-sah saja mengambil pendapat orang-orang kafir, terutama ide-ide Kapitalisme dan turunannya (demokrasi, HAM, pluralisme, dsb) karena dinilai sebagai hikmah, yakni sebagai pendapat dan ide yang bijak. Kata hikmah pun mereka maknai menurut pendapat dan keinginan mereka sendiri. Dengan cara seperti itu, sebagian dari kaum Muslim akhirnya menerima pendapat mereka, karena dianggap memiliki dasar syar‘i. Karena itu makna riwayat di atas perlu dijelaskan.
Kata hikmah tersebut tidak boleh dimaknai kebijaksanaan; apalagi bijak dan tidaknya ditentukan menurut akal semata dan keinginan hawa nafsu. Kata tersebut harus dimaknai dengan merujuk pada nash serta penjelasan para ulama terhadapnya.
Hikmah berasal dari hakama yang arti asalnya menghalangi. Kata ini di dalam al-Quran dinyatakan dua puluh kali dalam sembilan belas ayat yang ada di dua belas surah. Kata hikmah juga dinyatakan dalam sejumlah hadis sahih maupun dha‘îf.
Ar-Razi mengatakan, tafsir kata hikmah di dalam al-Quran berputar pada empat aspek: (1) peringatan-peringatan al-Quran; (2) pemahaman dan ilmu; (3) nubuwwah; (4) al-Quran dan segala rahasia di dalamnya.8
Fayruz Abadi menyatakan, tafsir hikmah dalam al-Quran ada enam: (1) nubuwwah dan risalah; (2) al-Quran, tafsir dan takwilnya serta kebenaran pendapat tentangnya; (3) pemahaman mendalam dan faqîh fî ad-dîn; (4) peringatan dan nasihat; (5) ayat-ayat al-Quran, perintah-perintah dan larangan-parangannya; (6) hujjah akal yang sesuai dengan hukum-hukum syariah.9
Adapun Ibn Abbas memaknai hikmah sebagai pengetahuan tentang al-Quran, nâsikh dan mansûkh-nya, muhkam dan mutasyâbih-nya, yang lebih awal dan lebih akhirnya, halal dan haramnya serta kisah-kisahnya.10
Masih banyak pendapat dari para mufassir lainnya. Semua penafsiran mereka itu bisa diperas menjadi dua: (1) nubuwwah serta pengetahuan akan al-Quran dan as-Sunnah; (2) ilmu dan keyakinan; taufik; kecemerlangan ketajaman dan kedalaman pemikiran; aktivitas yang benar; menghalangi kezaliman dan meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Ibn al-Qayim mengatakan, yang paling baik dari yang dikatakan tentang hikmah adalah pendapat Mujahid dan Malik, yakni bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang al-haq dan beramal dengannya serta benar dalam ucapan dan perbuatan. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan memahami al-Quran, syariah Islam dan hakikat-hakikat keimanan.
Syaikh Rasyid Ridha juga mengatakan, hikmah adalah ilmu yang benar, yang membangkitkan keinginan untuk melaksanakan amal yang bermanfaat, yaitu amal kebaikan.11 Amal kebaikan tidak akan terpenuhi kecuali didasari keimanan, dilakukan secara benar menurut syariah dan dilakukan secara ikhlas.
Kesimpulan
Dengan demikian, menjadikan riwayat di atas sebagai dalil untuk membenarkan upaya mengambil pendapat dan ide-ide di luar—atau bertentangan dengan—Islam adalah bukan hikmah.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Lihat: Al-Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr, I/311, Sayid Hasyim an-Nadwi, Dar al-Fikr, tt.
- Lihat: Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Taqrîb at-Tahdzîb, I/92, ed. Muhamamd ‘Awamah, Dar ar-Rasyid, Suria, cet. i. 1986.
- Lihat: Ibn Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta’dîl, II/122, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. i. 1952; Adz-Dzahabi, Mizân al-I’tidâl fî Naqdi ar-Rijâl, I/176, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1995; Abu Ja’far Muhammad bin Umar bin Musa al-‘Aqili, Dhu’afâ’ al-‘Aqîli, I/60, ed. Abdul Mu’thi Amin Qal’aji, Dar al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1984; Yusuf bin az-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajaj al-Mazi, Tahdzîb al-Kamâl, II/166, ed. Dr. Basyar ‘Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. i. 1980.
- Muhammad bin Salamah bin Ja’far Abu Abdillah al-Qadha’i, Musnad Syihab al-Qadha’i, I/234, ed. Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. ii. 1986-1407.
- Lihat: As-Sakhawi, Al-Maqâshid al-Hasanah, I/105.
- Lihat: Al-Baihaqi, Al-Madkhal ilâ Sunan al-Kubrâ, I/447, ed. Dr. Muhammad Dhiya’u ar-Rahman al-A’zhami, Dar al-Khulafa lil Kitab al-Islami, Kuwait. 1404.
- Lihat: Al-‘Ajluni al-Jiraha, Kasyf al-Khafâ’, I/435-436, ed. Ahmad al-Qalasy, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. iv. 1405; As-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah, I/105.
- Lihat: ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, VII/67.
- Lihat: Bashâir Dzaway at-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, II/490.
- Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, I/322.
- Lihat: Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, III/77.