AL-MUBARAK BIN WADHIH adalah ayahanda dari ulama besar bernama Abdullah bin al-Mubarak, yang lebih dikenal dengan Ibn al-Mubarak.
Al-Mubarak bin Wadhih dulunya hanyalah seorang mawla (pelayan) dari seorang saudagar besar. Ia lama bekerja di perkebunan saudagar itu.
Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al-Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya. Ia kemudian menyerahkan buah itu kepada tuannya.
Setelah tuannya membelah dan memakan delima itu, ternyata rasanya kecut. Tuannya kesal sambil berkata, “Aku minta yang manis. Kamu malah ngasih yang kecut. Ambilkan yang manis!”
Al-Mubarak segera bergegas kembali dan memetik delima dari pohon yang lain. Buah delima itu lalu diberikan kepada tuannya. Namun, lagi-lagi buah itu rasanya kecut. Tuannya makin kesal kepada al-Mubarak. Hal itu berlangsung sampai tiga kali.
Akhirnya, tuannya bertanya, “Sekian lama kamu merawat kebun ini, kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?”
Al-Mubarak menjawab, “Tidak, Tuan.”
Tuannya bertanya lagi, “Mengapa?”
Al-Mubarak menjawab, “Karena saya belum pernah sekalipun mencoba mencicipi buah yang ada di kebun ini.”
Tuannya bertanya lagi, “Mengapa bisa begitu?”
Al-Mubarak menjawab, “Karena selama saya bekerja di sini, Tuan belum pernah mengizinkan saya untuk mencicipi buah di kebun ini.”
Mendengar jawaban itu, tuannya merasa takjub. Ia takjub atas sikap amanah al-Mubarak. Al-Mubarak pun mendapat tempat di hati tuannya. Tuannya lalu menikahkan al-Mubarak dengan putrinya.
Dari pernikahan keduanya lalu lahir seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Dialah yang kelak kemudian menjadi ulama besar dan terkemuka: Abdullah ibn al-Mubarak.
(Lihat: Ibnu Khalikan, Wafayat al-A’yan, 3/32).
Demikianlah. Wajar saja Abdullah bin al-Mubarak menjadi ulama besar. Salah satunya boleh jadi karena beliau lahir dari orangtua yang memiliki akhlak dan kepribadian besar/luhur.
Semoga kita bisa memiliki akhlak dan kepribadian yang luhur. Salah satunya dicirikan dengan selalu memiliki sifat amanah.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. [vm]
KH. Arief B. Iskandar (Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Hikmah Ramadhan:
قال ابن القيـم رحمـه الله : فأفضل الصائمين أكثرهــم ذكراً لله عز وجل في صومهـم (إبن القيم، الوابل الصيب، ص ١٥٣).
Ibnu al-Qayyim rahimahulLaah berkata: Orang yang menunaikan shaum yang paling utama adalah yang paling banyak berzikir (mengingat) Allah ‘Azza wa Jalla dalam shaum-shaum mereka.” (Ibnu al-Qayyim, Al-Waabil ash-Shayb, hlm. 153). []
One comment
Pingback: Penguasa Ruwaibidhah dalam Hadits Nabi - Visi Muslim Media