Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Syaikhuna yang dimuliakan, semoga Allah senanitasa menjaga Anda dan mendukung Anda dengan ahlu an-nushrah.
Pertanyaan berkaitan dengan topik nilai yang dinyatakan di kitab Mafâhîm:
Apakah perjuangan untuk menegakkan al-Khilafah berupa hadir dalam halqah dan aktifitas dakwah merealisasi nilai kemanusiaan atau nilai ruhiyah?
Dan apakah aktifitas negara juga merealiasasi nilai ruhiyah, kemanusiaan, moral atau materiil?
Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda dan memberi kami manfaat dengan ilmu Anda …
‘Imad az-Zaghl Abu Muhammad
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama: sebagaimana yang ada di pertanyaan Anda, topik nilai itu dinyatakan di kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr. Saya kutipkan sesuatu dari apa yang ada di kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr tersebut untuk membatu menjelaskan pertanyaan dan menjawabnya. Dinyatakan di kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr sebagai berikut:
[… berkaitan dengan maksud dari perbuatan maka setiap orang yang melakukan perbuatan harus memiliki maksud yang menjadi alasan/tujuan dia melakukan perbuatan itu. Maksud ini adalah nilai perbuatan. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan setiap perbuatan memiliki nilai yang diperhatikan manusia untuk diraih ketika melakukan perbuatan. Jika tidak begitu, maka itu menjadi sekedar main-main (sia-sia). Tidak seharusnya manusia melakukan perbuatannya main-main tanpa maksud. Tetapi dia harus memperhatikan perealisasian nilai perbuatan yang karenanya dia sengaja melakukan perbuatan tersebut.
Dan nilai perbuatan ada kalanya nilai materiil, seperti aktifitas perdagangan, pertanian, industri dan semacamnya. Maksud dari perbuatan dengan aktifitas-aktifitas ini adalah mengadakan manfaat-manfaat materiil, yaitu keuntungan. Dan itu merupakan nilai yang memiliki bobot di dalam kehidupan. Dan ada kalanya nilai perbuatan itu merupakan nilai kemanusiaan seperti menyelamatkan orang yang tenggelam dan membantu orang yang kesusahan. Maksud darinya adalah menyelamatkan manusia tanpa peduli warna kulit, jenis kelamin, agamanya atau pertimbangan lainnya selain kemanusiaan. Dan ada kalanya nilai perbuatan itu merupakan nilai moral seperti jujur, amanah, kasing sayang. Maksud darinya adalah aspek moral (akhlak) terlepas dari keuntungan dan terlepas dari aspek kemanusiaan. Sebab kadang kala moral itu terhadap selain manusia seperti lemah lembut kepada hewan dan burung. Dan kadang kala perbuatan bersifat moral itu menghasilkan kerugian materiil. Tetapi perealisasian nilainya adalah wajib yaitu aspek moral. Dan ada kalanya nilai perbuatan itu berupa nilai ruhiyah seperti ibadah. Maksud darinya bukan keuntungan materiil, aspek kemanusiaan dan tidak pula masalah-masalah moral. Tetapi yang dimaksudkan darinya semata ibadah. Oleh karena itu, harus diperhatikan perealisasian nilai ruhiyahya saja terlepas dari nilai-nilai lainnya.
Ini adalah nilai perbuatan seluruhnya. Dan itulah yang manusia berbuat untuk merealisasinya ketika dia melakukan semua perbuatannya].
Kedua: demikian juga dinyatakan di kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr halaman 30-34 file word:
[Dan standar masyarakat manusia di dalam kehidupan duniawinya tidak lain menurut nilai-nilai ini. Dan itu menurut kadar apa yang direalisasi darinya di masyarakat dan apa yang menjamin perealisasiannya berupa kemakmuran dan ketenteraman. Oleh karena itu, setiap Muslim harus mengerahkan daya upayanya untuk merealisasi nilai yang dimaksudkan dari setiap perbuatan yang dia lakukan ketika dia menunaikan dan melangsungkan perbuatan ini, sehingga dia berkontribusi dalam kemakmuran dan ketinggian masyarakat, dan menjamin -pada waktu yang sama- kemakmuran dan ketenteraman dirinya sendiri.
Nilai-nilai ini tidak saling berlebih dan tidak setara karena zatnya sendiri. Sebab tidak ada di antara nilai-nilai itu karakterstik yang bisa dijadikan kaedah untuk kesetaraannya satu sama lain atau kelebihannya satu sama lain. Melainkan itu adalah hasil-hasil yang dimaksudkan oleh manusia ketika dia melakukan perbuatan tersebut …
Seseorang yang pada dirinya lebih dominan perasaan-perasaan ruhiyah dan dikuasai oleh kecenderungan kepadanya dan mengabaikan nilai materiil, mereka mengutamakan nilai ruhiyah terhadap nilai materiil sehingga dia berpaling untuk beribadah dan zuhud pada materi. Oleh karena itu, mereka menelantarkan kehidupan karena itu adalah materi dan menyebabkan kemunduran kehidupan secara materi. Dan disebabkan hal itu, tingkat kehidupan masyarakat yang mereka hidup di dalamnya merosot dikarenakan menyebarluasnya kemalasan dan kelesuan.
Dan orang-orang yang dalam dirinya dominan kecenderungan materiil dan dikuasai oleh syahwat dan menelantarkan nilai ruhiyah, mereka mengutamakan nilai materiil dan berpaling untuk merealisasinya. Oleh karena itu mereka memiliki banyak cita-cita. Dan disebabkan hal itu, masyarakat tempat mereka hidup pun terganggu dan di dalamnya menyebar luas keburukan dan kerusakan.
Oleh karenanya, merupakan kesalahan menyerahkan penentuan nilai-nilai ini kepada manusia. Tetapi, nilai-nilai itu wajib ditentukan oleh Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT. Oleh karena itu menjadi keharusan, syara’ menjadi pihak yang menentukan untuk manusia, nilai-nilai ini dan menentukan waktu pelaksanaannya, yang mana manusia wajib mengambilnya menurut hal itu.
Syara’ telah menjelaskan solusi-solusi problem-problem kehidupan menggunakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Syara’ mengharuskan manusia untuk berjalan di kehidupan ini sesuai perintah dan larangan ini. Sebagaimana, syara’ telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang merealisasi nilai ruhiyah, yaitu ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh syara’. Sebagaimana syara’ telah menjelaskan sifat-sifat yang merealisasi nilai moral. Dan syara’ menyerahkan kepada manusia untuk merealisasi nilai materiil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan-kebutuhannya dan yang lebih dari kebutuhan pokok itu sesuai sistem (aturan) tertentu yang telah dijelaskan syara’ untuknya dan syara’ memerintahkannya agar tidak menyimpang darinya. Yang menjadi kewajiban manusia tidak lain adalah melakukan perbuatan untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT dan menilai nilai-nilai itu sesuai kadar yang telah dijelaskan oleh syara’ …] selesai.
Ketiga: adapun peran negara dalam perealisasian nilai-nilai ini, maka untuk menjawab hal itu kami jelaskan perkara-perkara berikut:
1- Nilai suatu perbuatan adalah maksud yang menjadi alasan seseorang melakukan perbuatan itu. Jadi nilai adalah maksud dari perbuatan. Dan yang memiliki maksud dari perbuatan adalah manusia, yakni individu secara personal seperti Muhammad, Zainab, Fathimah dan Khalid. Dia ketika melakukan suatu perbuatan, dia bermaksud merealisasi nilai tertentu dari perbuatannya. Jika Muhammad melakukan aktifitas perdagangan maka dia bermaksud merealisasi keuntungan materi dan itu merupakan nilai materiil. Jika Zainab menunaikan shalat, maka dia bermaksud untuk merealisasi nilai maknawiyah yaitu nilai ruhiyah. Jika Fathimah jujur maka dia bermaksud merealisasi nilai yaitu nilai moral. Jika Khalid menolong orang yang kesusahan maka dia bermaksud merealisasi nilai yaitu nilai kemanusiaan … Begitulah. Jadi nilai adalah maksud individu secara personal dari perlaksanaannya atas suatu perbuatan, yakni bahwa yang melakukan perbuatan dengan maksud merealisasi nilai adalah manusia (individu). Hal itu sebagaimana yang dinyatakan di dalam pembahasan nilai di kitab Mafâhîm bahwa nilai yang dilakukan oleh individu dengan person Fulan dan Fulan dan bukan oleh negara.
2- Dengan merujuk kepada apa yang dinyatakan di akhir apa yang disebutkan dari kitab Mafâhîm poin kedua:
(Oleh karenanya, merupakan kesalahan menyerahkan penentuan nilai-nilai ini kepada manusia. Tetapi, nilai-nilai itu wajib ditentukan oleh Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT. Oleh karena itu menjadi keharusan, syara’ menjadi pihak yang menentukan untuk manusia nilai-nilai ini dan menentukan waktu pelaksanaannya, yang mana manusia wajib mengambilnya menurut hal itu.
Syara’ telah menjelaskan solusi-solusi problem-problem kehidupan menggunakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Syara’ mengharuskan manusia untuk berjalan di kehidupan ini sesuai perintah dan larangan ini. Sebagaimana, syara’ telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang merealisasi nilai ruhiyah, yaitu ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh syara’. Sebagaimana syara’ telah menjelaskan sifat-sifat yang merealisasi nilai moral. Dan syara’ menyerahkan kepada manusia untuk merealisasi nilai materiil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan-kebutuhannya dan yang lebih dari kebutuhan pokok itu sesuai sistem (aturan) tertentu yang telah dijelaskan syara’ untuknya dan syara’ memerintahkannya agar tidak menyimpang darinya. Yang menjadi kewajiban manusia tidak lain adalah melakukan perbuatan untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT dan menilai nilai-nilai itu sesuai kadar yang telah dijelaskan oleh syara’ …) selesai.
3- Di sini tampak menonjol tugas negara dengan mengontrol nilai-nilai ini sesuai hukum-hukum syara’ dan yang menjadi kewajiban manusia tidak lain berbuat untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah … di semua jenis nilai baik ruhiyah, moral, kemanusiaan dan meteriil.
Inilah tugas dan peran negara dalam mengontrol pelaksanaan individu untuk merealisasi nilai-nilai tersebut sesuai hukum-hukum syara’, baik nilai ruhiyah, moral, kemanusiaan atau materiil… Negara menggunakan cara-cara yang diperlukan dalam mengontrolnya berupa arahan atau penjelasan sesuai hukum-hukum syara’. Dan jika arahan dan penjelasan tidak bermanfaat untuk meluruskan pelanggaran syar’iy dalam pelaksanaan oleh individu untuk nilai-nilai ini dan diperlukan dijatuhkan sanksi maka negara melakukannya. Hal itu untuk menjamin implementasi individu untuk nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT …
Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.
———————–
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
26 Jumada al-Akhirah 1443 H/29 Januari 2022 M
Sumber : htinfo
One comment
Pingback: Teladan Amanah Al-Mubarak Bin Wadhih - Visi Muslim Media