Kata al-bay’ berasal dari kata bâ’a–yabi’u–bay’[an]. Artinya, adalah dhiddu isytarâ (lawan dari membeli). Al-Bay’ secara bahasa juga berarti pertukaran (mubâdalah) secara mutlak. Kata al-bay’ dalam penggunaan sering dipertukarkan dengan lawan katanya yaitu asy-syirâ‘. Ar-Razi di dalam Mukhtâr ash-Shihâh menyatakan, dikatakan bâ’a asy-syay’a wa mabî’[an], artinya menjual sesuatu dan bâ’ahu syay’an artinya membeli sesuatu. Karena itu secara bahasa al-bay’ bisa diartikan jual-beli. Jadi kata al-bay’ dan asy-syirâ‘ merupakan lafal musytarak yang saling berlawanan.
Kata al-bay’ secara bahasa juga punya makna lain. Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hushni di dalam bukunya, Kifâyah al-Akhyâr fi Halli Ghâyah al-Ikhtishâr fi al-Fiqh asy-Syâfi’î, menyebutkan, al-bay’ secara bahasa artinya i’tha‘u syay‘i muqâbalah syay’i (memberi sesuatu sebagai kompensasi atas sesuatu yang lain).
Muhammad bin Ahmad al-Hanafi di dalam Al-‘Inâyah Syarh al-Hidâyah dan ash-Shan’ani di Subul as-Salâm menyebutkan bahwa secara bahasa, al-bay’ artinya tamlîk al-mâl bi al-mâl (pemilikan harta dengan harta).
Ibnu Qudamah menjelaskan kata al-bay’ dibentuk dari al-bâ’a (tangan) sebab masing-masing dari dua orang yang berakad mengulurkan tangannya untuk mengambil dan memberi. Dimungkinkan juga bahwa masing-masing dari keduanya menjabat tangan partnernya ketika berjual-beli. Oleh karena itu al-bay’ disebut shafqah.
Adapun secara syar’i, di dalam Kifâyah al-Akhyâr, Taqiyuddin Abu Bakar menyebutkan, secara syar’I, al-bay’ adalah muqâbalatu mâl[in] bi mâl[in] qâbilayn li at-tasharufi bi îjâb[in] wa qabûl[in] ‘alâ al-wajhi al-ma`dzûni bihi (pertukaran harta dengan harta yang bisa di-tasharruf dengan ijab dan qabul menurut cara yang diijinkan).
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menyebutkan, al-bay’ secara syar’i adalah pemilikan harta dengan harta dengan jalan suka sama suka. Dikatakan pula al-bay’ adalah ijab dan qabul pada dua harta yang di dalamnya tidak ada makna derma (tabarru’). Namun, pengertian ini masih kurang karena tidak mencakup al-mu’âthâh. Dikatakan juga, al-bay’ adalah pertukaran harta dengan harta tidak dalam bentuk tabarru’ sehingga pengertian ini mencakup al-mu’âthâh.
Muhammad bin Ahmad al-Hanafi di dalam ‘Inâyah Syarh al-Hidâyah menyebutkan, al-bay’ secara syar’i adalah pertukaran harta dengan harta secara sama-sama ridha dengan jalan al-iktisâb (perolehan).
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan, al-bay’ secara syar’i adalah mubâdalatu al-mâli bi al-mâli tamlîkan wa tamalluk[an] (pertukaran harta dengan harta sebagai tamlik dan tamalluk).
Dari definisi dan penjelasan dari para ulama, jual-beli itu memiliki setidaknya tiga sifat. Pertama: Al-Bay’ itu adalah pertukaran harta dengan harta. Tidak diungkapkan dengan istilah ijab dan qabul sehingga bisa mencakup bay’ al-mu’âthâh. Sifat ini juga membedakan dengan ijarah yang merupakan pertukaran harta dengan jasa atau manfaat.
Kedua: Pertukaran dalam al-bay’ itu merupakan tamlîk[an] dan tamalluk[an]. Tamlîk[an], artinya dengan pertukaran maka harta itu menjadi milik kedua pihak. Makna tamlîk[an] di sini lebih ditekankan bahwa setelah pertukaran harta itu menjadi miliknya. Dia sah menggunakan dan mengkonsumsinya.
Adapun tamalluk[an] maknanya bahwa pemilikan itu juga mencakup kekuasaan untuk memindahkan pemilikan manfaat harta itu melalui ijârah dan pemilikan zat dan manfaatnya melalui al-bay’, hibah, hadiah, wakaf dsb. Sifat tamalluk[an] ini membedakan dari akad nikah. Di dalam akad nikah, suami dengan akad nikah itu berhak atas manfaat dari istri artinya dia halal mendapatkan manfaat, pelayanan, kenikmatan dan lainnya dari istri. Ini lebih dekat pada sifat tamlîk. Namun, suami itu tidak memiliki hak tamalluk, yakni dia tidak bisa memindahkan pemilikan atas manfaat dari istrinya itu kepada orang lain.
Ketiga: Di dalam al-bay’ itu harus ada at-tarâdhiy, saling ridha. Sifat at-tarâdhiy itu secara gamblang disebutkan di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:
لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Janganlah kalian saling memakan harta sesame kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).
Oleh karena itu definisi al-bay’ harus mencakup tiga sifat tersebut. Dengan demikian al-bay’ itu bisa didefinisikan sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (Juz II) pada bab al-Bay’, bahwa al-bay’ secara syar’i adalah mubâdalatu mâl[in] bi mâl[in] tamlîk[an] wa tamalluk[an] ‘alâ sabîli at-tarâdhiy (pertukaran harta dengan harta secara tamlîk[an]—yakni pemilikan untuk menggunakan, mengkonsumsi dan membelanjakan sesuatu—dan tamalluk[an] —yakni pemilikan yang mencakup kekuasaan dan wewenang untuk memindahkan manfaat dan zat sesuatu kepada pihak lain—yang berlangsung secara suka sama suka/saling ridha).
Hukum al-Bay’
Al-Bay’ atau jual-beli adalah aktivitas yang masyru’ (disyariatkan). Hal itu berdasarkan dalil dari al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Di dalam al-Quran secara gamblang Allah SWT menghalalkan jual-beli.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).
Dalil dari as-Sunnah banyak sekali. Di antaranya, Rasul saw. bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Penjual dan pembeli memiliki pilihan selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan transparan maka keduanya diberkahi dalam jual-belinya. Sebaliknya, jika keduanya menutup-nutupi (cacat barang) dan berbohong maka keberkahan dihapus dari jual beli keduanya (HR al-Bukhari).
Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî mengatakan, “Kaum Muslim sepakat atas kebolehan jual-beli, dan hikmah pun mengharuskannya. Sebabnya, kebutuhan manusia terkait dengan apa yang ada di tangan temannya dan pada galibnya temannya itu kadang tidak akan menyerahkannya kecuali dengan kompensasi. Di dalam pensyariatan jual-beli itu, tujuan akan bisa diraih tanpa ada keberatan.”
Ketentuan Umum Jual-Beli
Al-Bay’ (jual-beli) sah jika memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukun jual-beli terdiri dari: 1. ijab dan qabul; 2. dua pihak yang berakad; 3. Barang yang dijual (al-mabî’).
Tentang ijab dan qabul, Imam Malik seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (IV/4) menyatakan: “Akad-akad itu sah dengan setiap hal yang menunjukkan maksudnya, baik berupa ucapan atau perbuatan, dan tidak disyaratkan teks tertentu di dalam ijab dan qabul. Hal itu karena yang dimaksud adalah konotasi yang menunjukkan keridhaan timbal-balik keduanya dan itu bisa terjadi dengan al-mu’âthâh (saling memberi yang menunjukkan deal) atau semacamnya.”
Ijab dan qabul bisa dengan lafal baik ucapan atau tulisan atau sesuatu yang bisa diposisikan sama dengan lafal, seperti isyarat. Adapun bay’ al-mu’âthâh, jual-beli melalui perbuatan, seperti seseorang mengambil air minum gelas, atau roti lalu membayar harganya dan pembeli menerima harganya itu, maka hanya sah untuk barang yang harganya sudah makruf, fix dan jelas, dan tidak perlu adanya tawar-menawar. Jika perlu ada tawar-menawar maka tidak sah.
Syariah tidak mengatur dan tidak membatasi tatacara ijab dan qabul. Jadi, boleh saja dengan jabat tangan atau tidak. Boleh menggunakan tulisan, isyarat dan cara lainnya.
Penjual dan pembeli secara syar’i harus layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz (bisa membedakan). Dia juga tidak sedang di-hijr (dilarang untuk melakukan transaksi). Anak-anak yang belum balig tetapi sudah mumayyiz akadnya sah, tetapi implementasinya bergantung pada izin walinya atau orang yang bertanggung jawab terhadap anak itu. Untuk transaksi yang skalanya kecil apalagi tidak perlu tawar-menawar, misalnya jual beli makanan kecil, mainan yang relatif tidak mahal dan barang yang harganya fix, diketahui khalayak, dan tidak perlu tawar-menawar, maka ‘urf masyarakat membenarkan jual-belinya dilakukan oleh anak kecil dan tidak perlu mengkonfirmasi kepada walinya.
Ketika ijab-qabul jual-beli itu terjadi dan sah sehingga hukum hasil akad jual beli itu berlaku maka jual-beli itu harus berlangsung sempurna. Sempurnanya jual-beli itu untuk barang yang ditimbang, ditakar atau dihitung (al-mawzûn, al-makîl, al-ma’dûd) harus terjadi serah-terima fisik barang. Untuk selain barang demikian, seperti hewan, maka jual-belinya sempurna begitu akadnya selesai, tanpa harus serah terima fisik barang.
Selain itu ada beberapa syarat yang harus terpenuhi pada barang yang dijual. Barang itu harus barang yang halal zatnya, bukan najis, bisa dimanfaatkan, milik penjual (kecuali pada as-salam dan al-istishnâ’), bisa diserahkan, jelas dan tidak gharar. Masing-masing ada ketentuan rincinya.
Selain itu, secara lebih spesifik syariah juga menjelaskan rincian hukum jenis-jenis jual-beli tertentu, di antaranya jual-beli secara kredit (utang) dan angsuran, as-salam, al-istishna’, jual-beli buah yang masih di pohonnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
One comment
Pingback: Hukum Perpanjangan Garansi (Extended Warranty) - Visi Muslim Media