Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, ekonomi secara istilah adalah:
تدبير شؤون المال، إمّا بتكثيره وتأمينِ إيجاده، ويبحث فيه علم الاقتصاد، وإمّا بكيفية توزيعه، ويبحث فيه النظام الاقتصادي
Kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjamin pengadaannya, yang biasanya dibahas dalam ilmu ekonomi; maupun berhubungan dengan mekanisme pendistribusian harta kekayaan, yang biasanya dibahas dalam sistem ekonomi.
Dari definisi ini nampak jelas perbedaan antara ilmu ekonomi dan sistem ekonomi, meski dua-duanya membahas topik yang serupa, yakni tentang ekonomi. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang membicarakan produksi dan peningkatan kualitas produksi, atau penciptaan sarana produksi dan peningkatan kualitasnya, yang artinya ilmu ekonomi bersifat universal, sebagaimana sains dan teknologi, tidak terpengaruh pandangan hidup tertentu.
Sedangkan, sistem ekonomi adalah pandangan, hukum atau paradigma yang membahas seputar distribusi kekayaan, pemilikan, serta bagaimana pengelolaannya; artinya sistem ekonomi bersifat spesifik, sebagai mana sebuah tsaqafah, dia tidak bebas nilai, karena terpengaruh akidah atau pandangan hidup tertentu.
Konsekuensinya, ilmu ekonomi bisa diambil oleh kaum muslim atau diserahkan kepada inovasi manusia, sedangkan untuk sistem ekonomi, kaum muslim hanya boleh menggunakan sistem ekonomi Islam, yang dibanguan berdasarkan akidah Islam. Adapun sistem ekonomi yang lain, misal: Kapitalisme dan Sosialisme, tidak bisa diambil dan diamalkan karena bertentangan dengan akidah Islam secara fundamental.
Akidah Islam Landasan Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi Islam dibangun berdasarkan akidah Islam, seorang muslim meyakini bahwa Allah swt pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, beserta hubungan semuanya itu dengan kehidupan sekarang maupun dengan kehidupan yang akan datang (akhirat dan hisab). Dengan keyakinannya ini, seorang muslim menyadari dia mesti terikat dengan hukum Allah swt, karena dia memahami segala perbuatannya, termasuk aktivitas dan kebijakannya dalam bidang ekonomi, pasti akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah swt (lihat: QS. Al-Hijr: 92-93; QS. Yunûs: 61).
Dengan demikian, seorang muslim sebelum melakukan sebuah perbuatan atau tindakan, baik dalam bidang ekonomi maupun yang lainnya, mesti mengetahui terlebih dahulu hukum syara’ terkait perbuatan yang akan dikerjakannya, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram; hukum-hukum tersebut semuanya muncul berdasarkan dalil syariah.
Masalah Ekonomi Prespektif Islam
Islam memandang masalah ekonomi yang dihadapi manusia, bersumber dari kesalahan distribusi kekayaan ditengah masyarakat, bukan karena kelangkaan (scarcity) barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Sebab, akidah Islam mengajarkan bahwa setiap makhluk di bumi ini rezekinya sudah dijamin Allah swt (artinya): “Tiada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Hûd [11]: 6). Karena itu termasuk penyesatan intelektual, jika berasumsi bahwa masalah ekonomi diakibatkan kelangkaan barang dan jasa. Justru faktanya, barang dan jasa sebenarnya cukup, hanya saja masalahnya ada pada mekanisme pendistribusiannya.
Kita melihat secara empiris, kekayaan terkadang menumpuk pada suatu keluarga, rezim, atau elit kelas tertentu, sedangkan mayoritas rakyat mengalami kekurangan kekayaan, padahal jika harta kekayaan tersebut didistribusikan secara syar’i maka kemiskinan tersebut bisa saja hilang. Allah swt berfirman (artinya): “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Disisi lain, kebutuhan manusia sepanjang zaman tetap sama, yaitu hanya membutuhkan sandang, papan, dan pangan. Yang berbeda sebenarnya hanya pada kualitas sandang, papan, dan pangannya. Bukan pada jumlahnya.
Asas Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi Islam dibangun diatas tiga asas penting: (1) Kepemilikan; (2) Pengelolaan kepemilikan; dan (3) Distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Dengan ketiga perkara ini, sisten ekonomi Islam menyelesaikan problem ekonomi yang terjadi di dunia.
Asas Pertama: Kepemilikan
Kepemilikan harta dalam Islam pada prinsipnya adalah di tangan Allah, artinya Allah adalah pemilik segala sesuatu (QS. An-Nûr [24]: 33). Namun Allah swt telah memberikan kepada manusia hak untuk menguasai, memperbanyak, serta memiliki harta tersebut (QS. Al-Hadîd [57]: 7). Karena itu kepemilikan (al-milkiyyah) adalah izin pembuat Syariat untuk memanfaatkan zat tertentu. Yang dimaksud izin adalah hukum syara’, pembuat syariat adalah Allah swt, sedangkan zat adalah barang yang bisa dimanfaatkan. Perlu dipahami, dalam Islam hukum kepemilikan harta kekayaan tidak dibatasi ukuran kuantitas, tetapi dibatasi tatacara atau mekanisme tertentu. Hal ini sesuai fitrah manusia dan sangat proporsional. Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yakni: (1) kepemilikan individu (private ownership), (2) kepemilikan umum (public property), dan (3) kepemilikan negara (state property).
Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah hukum syariah yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memastikan adanya kesempatan bagi pemiliknya –sesuai hukum tersebut– memanfaatkan sesuatu, serta memperoleh kompensasi darinya. Atau izin pembuat syariat (Allah swt) bagi individu untuk memanfaatkan benda.
Hak kepemilikan individu merupakan hak syar’i bagi individu. Seorang individu berhak memiliki harta bergerak maupun tidak bergerak, misal: mobil, motor, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur syariah Islam. Perlindungan kepemilikan individu adalah kewajiban negara. Karena itu, hukum syara’ menetapkan adanya sanksi sebagai tindakan preventif bagi siapa saja yang menyalahgunakan hak tersebut.
Harta yang boleh dimiliki oleh individu bukanlah harta milik negara, maupun milik umum, atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Syariat Islam membatasi sebab-sebab kepemilikan harta bagi individu dengan lima sebab, yaitu:
(1) Bekerja, dalam perdagangan, perindustrian, maupun pertanian. Syariah menentukan secara rinci masalah ini dalam beragam kitab fikih muktabar, dalam konteks ini meliputi: a) Menghidupkan tanah mati; b) Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun udara, yang kuantitasnya terbatas, misal rikaz; c) Berburu; d) Samsarah (makelar) dan dalalah (pemandu); e) Mudharabah (kerjasama bisnis); f) Musaqat (mengairi pertanian); dan g) Ijarah (kontrak kerja).
(2) Warisan, sebagaimana penjelasan dalam kitab fikih.
(3) Kebutuhan akan harta demi menyambung hidup; Misal, terpaksa mencuri saat masa kelaparan atau krisis. Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada hukum potong tangan (bagi pencuri) pada masa-masa kelaparan. (HR. Al-Khatib al-Baghdadi dari Abu Umamah, Kanzul Ummal, no. 13333).
(4) Pemberian harta negara kepada rakyat (subsidi); Misal: Khalifah Umar ra. pernah memberi para petani Irak harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa mesti dikembalikan kepada Negara.
(5) Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga. Misal: a) hadiah, hibah, dan wasiat; b) Ganti rugi kemadharatan yang menimpa seseorang, seperti: Diyat (tebusan/denda) pembunuhan atau luka fisik; c) Mendapat mahar dan harta lainnya dalam akad nikah bagi istri; d) Barang temuan (luqathah); e) Santunan bagi Khalifah dan pejabat pemerintahannya, seperti yang terjadi pada Khalifah Abu Bakar ra. Beliau memperoleh santunan, karena menahan dirinya dari berbisnis ketika beliau diminta fokus pada urusan seluruh kaum muslim, sahabat pun mendiamkan alias menyepakatinya.
Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah) adalah izin pembuat Syariat (Allah swt) kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda atau barang. Berbagai benda yang termasuk kategori kepemilikan umum, adalah benda-benda yang dinyatakan pembuat syariat memang diperuntukan bagi suatu komunitas masyarakat, dan Allah swt melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja (privatisasi). Benda-benda tersebut terwujud dalam tiga hal berikut:
(1) Sesuatu yang termasuk fasilitas umum, ketika tidak tersedia di suatu negeri atau suatu masyarakat, maka bisa menimbulkan kekacauan dan sengketa dalam mencarinya. Seperti: air, padang rumput, dan api. Rasul saw, bersabda (artinya): “Kaum Muslim mempuyai kepentingan bersama dalam tiga perkara, yaitu: Padang, Air dan Api.” (HR. Abu Dawud, no. 3479).
(2) Termasuk kepemilikan umum adalah setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, misal: alat pengebor air yang dibutuhkan masyarakat umum, serta pipa-pipa yang digunakan untuk mengalirkannya. Demikian juga peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya.
(3) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas. Misalnya: tambang emas, perak, minyak bumi, fosfat dan sebagainya. Dalilnya, adalah riwayat Abyadh bin Hamal al-Maziniy, bahwa Abyadh meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang yang berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasul kemudian berkata (artinya), “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1301). Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya. Adapun bila sebuah komoditi jumlahnya sedikit dan terbatas maka dapat saja menjadi kepemilikan individu, artinya boleh dimiliki pribadi.
(4) Segala fasilitas yang secara alami tidak bisa dimiliki dan didominasi individu. Seperti: jalan umum, sungai, teluk, laut, danau, mesjid, sekolah negeri, dan lapangan umum, Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada proteksi (terhadap fasilitas umum) kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim). Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun untuk memberikan batasan (proteksi) atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang memang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Kepemilikan Negara (milkiyyah ad-daulah) adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan (diserahkan) kepada Khalifah selaku kepala negara. Atau, seluruh harta kekayaan yang penggunaannya tergantung pada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Karena itu, harta milik negara merupakan harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik pribadi, karena sifat harta tersebut yang memang bisa dimiliki secara personal. Namun, harta tersebut terkadang tekait sekali dengan hak atau kebutuhan kaum muslim secara umum. Sehingga pengelolaannya menjadi milik negara, dalam hal ini pengelolaannya berdasarkan pandangan dan ijtihad Kepala Negara. Yang termasuk kepemilikan negara adalah: (1) Ghanimah; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) Harta orang-orang murtad; (5) Harta orang yang tidak memiliki ahli waris; (6) Gedung dan kompleks pejabat negara, yang dibangun oleh Negara; (7) Tanah-tanah yang dimiliki oleh negara; dan (8) Dharibah.
Asas Kedua: Pengelolaan Kepemilikan
Pengeloaan kepemilikan adalah cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Artinya, setelah manusia memiliki harta melalui sebab-sebab kepemilikan yang disebutkan sebelumnya, maka manusia tentu akan mengelola kepemilikan harta yang dia miliki, dalam konteks ini manusia dalam mengelola hartanya mesti tetap sesuai dengan ketentuan syariah, manusia tidak bisa bebas seenaknya dalam mengelola hartanya. Pengelolaan kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam, dilakukan dengan dua cara: (1) pengembangan kepemilikan (tanmiyyah al-milkiyyah), dan (2) penggunaan harta (infâq al-mâl).
Pengembangan Kepemilikan
Pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme yang digunakan seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Dalam konteks sekarang dikenal dengan pemanfaatan harta untuk keperluan produktif. Disini digunakan istilah pengembangan kepemilikan bukan pengembangan harta, karena pengembangan harta biasanya terkait dengan alat dan teknik produsksi, sedangkan pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme. Masalah alat dan teknik produksi, Islam menyerahkannya kepada manusia. Dalam konteks ini, terdapat dua kriteria dalam pengembangan kepemilikan: (1) Pengembangan kepemilikan sesuai syariah (mubah); dan (2) Pengembangan kepemilikan yang tidak sesuai syariah (haram).
Pengembangan Kepemilikan Sesuai Syariah:
(1) Perdagangan tanpa Riba (QS. Al-Baqarah: 275), meliputi: Perdagangan dalam negeri; dan perdagangan luar negeri.
(2) Bidang Industri (manufaktur), diperbolehkan sesuai taqrir atau persetujuan Rasul saw atas aktivitas industri pada masanya: seperti pembuatan cincin Nabi saw (HR. Al-Bukhari, no. 5427; Muslim, no. 3898); pembuatan mimbar (HR. Al-Bukhari, no. 429), dll. Hukum sebuah pabrik industri mengikuti hukum komoditi yang diproduksinya; jika produknya barang haram maka pabriknya ikut mejadi haram; jika produknya halal, maka pabriknya ikut menjadi halal. Hal ini sesuai aplikasi kaidah syara’.
(3) Bidang pertanian: a) Menghidupkan tanah mati, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Al-Bukhari, dan Abu Dawud, no. 2671). Ijma’ sahabat menyatakan, siapapun yang menelantarkan tanah selama 3 tahun, maka tanah itu mesti diambil dari pemiliknya, lalu diberikan kepada yang lain. (Riwayat Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, berdasarkan ucapan Umar bin al-Khattab ra). b) Mengelola pertanian & larangan menyewakan tanah, Rasul saw (artnya): “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2172). Karena itu mubah mengelola sendiri tanahnya, namun menyewakan tanah adalah haram (HR. Muslim, no. 2864; An-Nasai, no. 3802 dll).
(4) Syirkah atau kerjasama bisnis (HR. Al-Bukhari, no. 2317, Abu Dawud, no. 2936) yakni: Suatu akad (transaksi) antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha bersifat finansial dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Ada lima macam syirkah dalam fikih Islam: a) syirkah inân: syirkah antara dua pihak atau lebih, masing-masing memberi kontribusi kerja dan modal. b) syirkah abdân: syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal; c) syirkah mudhârabah: syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal; d) syirkah wujûh: syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan konstribusi kerja, dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal, atau syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak; dan e) syirkah mufâwadhah: syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah tadi.
Pengembangan Kepemilikan Tidak Sesuai Syariah:
(1) Pengembangan perseroan model Kapitalisme. Meliputi: (a) Firma; (b) Perseroan Terbatas (PT); (c) Koperasi; (d) Asuransi; dan (e) Bursa Saham. Semua ini diharamkan, sebab faktanya bertentangan dengan ketentuan Syirkah dalam Islam yang telah disebutkan sebelumnya.
Menurut An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm. Perseroan terbatas batil karena: a) Tidak ada dua pihak yang berakad sempurna (ijab qabul), pendiri hanya membuat syarat, lalu pihak yang ingin bergabung menandatangani akte dan mendaftaran dengan membeli saham. Jadi hanya ada qabul saja, tidak ada ijab; b) Tidak ada pengelola riil yang melakukan usaha, yang ada hanya pemodal saja, sedangkan pengelolaan diserahkan pada pihak lain yang tidak terlibat dalam akad (misal: direksi); dan c) Perseroan yang bersifat abadi bertentangan dengan syara’, padahal seharusnya perseroan bisa bubar jika terdapat alasan yang dibenarkan syara.
(2) Riba dalam utang-piutang. Riba ini dikenal dengan istilah riba nasi’ah, yang bermakna: tambahan atau ‘premi’ yang harus diberikan penghutang karena telah diberi waktu untuk membayar hutangnya. Sistem ekonomi Islam mengharamkan terlibat dengan riba tersebut. (QS. Al-Baqarah: 275 & 279; HR. Muslim, no. 2990).
(3) Riba dalam jual beli dan valuta asing (valas). Riba fadhal adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar/jual-beli barang-barang tertentu. Riba fadhal tidak akan terjadi pada praktik jual beli dan salam (pesanan), kecuali pada enam barang: (a) kurma, (b) qamh, (c) sya’îr, (d) garam, (e) emas, dan (f) perak. Dalam melakukan jual-beli atau salam (pesanan) terhadap keenam jenis barang tersebut, harus dengan ukuran setimbang dan harus kontan, kelebihan yang diambil dari proses transaksi tersebut adalah riba (HR. Muslim, no. 2969). Adapun yang berkaitan dengan mata uang, ialah pada emas dan perak. As-Sunnah mengharamkan riba fadhal yang terjadi pada transaksi mata uang (HR. Al-Bukhari, no. 2031, 2029; Sunan at-Tirmidzi, no. 1162, dll).
(4) Perjudian dengan segala jenisnya. Hal ini diharamkan syariah, misal: kasino-kasino, togel, dll. (QS. Al-Mâidah [5]: 90-91).
(5) Penimbunan: Sebuah cara yang dilakukan penimbun, yakni mengumpulkan barang-barang, lalu menunggu naiknya harga barang tersebut, sehingga ia jual dengan harga tinggi, yang mengakibatkan masyarakat sulit membelinya. Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah. (HR. Muslim, no. 3012).
(6) Manipulasi keji dalam harga (al-gabn al-fâhisy). Yakni, membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata, sementara pihak yang dimanipulasi ini tidak mengetahui harga pasar. (HR. Al-Bukhari, no. 1974).
(7) Penipuan dalam Jual Beli (tadlîs fi al-bai’). Penipuan ini bisa dilakukan oleh penjual maupun pembeli; penipuan pihak penjual adalah apabila penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya; penipuan pihak pembeli adalah apabila pembeli memanipulasi alat pembayaran. (HR. Al-Bukhari, no. 2004; Ibnu Majah, no. 2237).
(😎 Menyewakan Lahan Pertanian. Rasul saw bersabda (artinya): “Rasul saw melarang menyewakan lahan pertanian.” (HR. Al-Bukhari, no. 2124; Muslim, no. 2882).
(9) Pengembangan Industri dan Bisnis yang haram. Kaidah syara’ menyatakan: “Hukum sebuah pabrik-industri mengikuti hukum produk yang di keluarkannya.” Artinya, jika ada pabrik atau bisnis yang memproduksi miras, daging babi, pelacuran dll. Maka status pabrik-industri atau bisnis tersebut haram hukumnya, karena memproduksi sesuatu yang diharamkan.
(10) Pematokan harga (tas’îr). Pematokan atau pembatasan harga biasanya dilakukan penguasa melalui departemen atau instansi terkait. Dalam praktik, pembatasan harga itu ada dua bentuk: (a) pematokan harga maksimum atau harga tertinggi, yaitu dengan mematok harga tertinggi; penjual tidak boleh menjual dengan harga yang lebih tinggi; (b) pematokan harga minimum atau harga terendah, yaitu dengan mematok harga terendah; pedagang dilarang membeli dengan harga yang lebih rendah. Pematokan harga statusnya haram berdasarkan Sunnah, Anas ra, menuturkan (artinya): Harga meroket pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka (para Sahabat) meminta, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau saw menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1235; Ibnu Majah, no. 2191; Ad-Darimi, no. 2600 dan Ahmad, no. 12131).
Penggunaan Harta
Dalam Islam pengelolaan yang dilakukan melalui penggunaan atau pengeluaran harta (infâq al-mâl) tanpa kompensasi, dilakukan dengan beberapa cara:
(1) Mengeluarkan harta Zakat, sebagai kewajiban setiap individu yang terkena beban kewajiban ini;
(2) Membelanjakan harta untuk keperluan dirinya dan untuk keluarga yang harus dinafkahi seperti istri, kedua orang tua, anak-anak, yang hukumnya adalah wajib;
(3) Silaturahim, saling memberi hadiah, yang hukumnya adalah sunnah;
(4) Sedekah untuk fakir dan orang yang membutuhkan, yang hukumnya adalah sunnah;
(5) Hibah dari seseorang kepada orang lain semasa hidup, atau wasiat ketika yang bersangkutan meninggal;
(6) Mengeluarkan harta demi keperluan jihad, yakni membeli senjata, mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para shahabat Nabi, saat perang Tabuk dan perang lainnya, hukumnya adalah fardhu kifayah;
(7) Pengeluaran harta oleh daulah Islam, dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawab negara, misalnya memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan, sebagaimana pernah terjadi pada ‘amm ar-ramâdah (tahun paceklik) di masa Umar bin Khattab ra. Contoh lainnya: memberikan bantuan kepada orang yang memohon pertolongan dalam kondisi terjadinya gempa bumi, banjir, ataupun serangan musuh dari luar daulah.
Dalam menggunakan harta, Islam juga melarang beberapa hal berikut:
(1) Israf dan Tabdzir (melampaui batas), yakni mengeluarkan harta dalam hal yang diharamkan dan dalam kemaksiatan. (QS. Al-A’râf: 31; Al-Isrâ’: 27);
(2) Risywah (suap), yaitu suap kepada orang yang memiliki wewenang melaksanakan suatu urusan tertentu, seperti pegawai pemerintahan dan para penguasa, agar pejabat atau penguasa tersebut memudahkan atau melaksanakan urusan, padahal mestinya tidak boleh disuap. Rasul saw bersabda: “Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap.” (HR. Khamsah kecuali an-Nasâ’i dan di shahihkan oleh At-Tirmidzi);
(3) Berfoya-foya (tarf), yakni bermewah-mewah atau berfoya-foya dengan membelanjakan hartanya untuk perbuatan penyalahgunaan nikmat, maksiat, sombong, dan membangkang pada Allah swt. (QS. Al-Hûd: 116; Al-Mu’minûn: 64;
(4) Kikir (al-bukhl) dan Pelit (taqtir), yakni tidak mengeluarkan harta yang diwajibkan atas seorang muslim. Misal: tidak mengeluarkan zakat dan nafkah yang wajib untuk ditunaikan kepada orang yang kesusahan. (QS. An-Nisâ’: 37; Al-Furqân: 67).
Asas Ketiga: Distribusi Kekayaan
Asas terakhir dalam sistem ekonomi Islam, adalah distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat, asas ini merupakan klimaks dari penerapan dua asas sebelumnya. Asas ini menurut beberapa literatur, dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme: (1) Distribusi kekayaan melalui mekanisme ekonomi; dan (2) distribusi kekayaan melalui mekanisme non ekonomi.
Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa macam-macam kegiatan pengembangan kepemilikan dalam ragam muamalah dan sebab-sebab kepemilikan. Berbagai cara dalam mekanisme ekonomi ini, antara lain:
(1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu. Misal: bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
(2) Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyyah al-milkiyyah) melalui kegiatan investasi sehat. Misal: dengan syirkah inan, mudharabah, dll.
(3) Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun dikeluarkan zakatnya (QS. At-Taubah [9]: 34). Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
(4) Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja, misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan atau perekonomian riil.
(5) Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi dan menghambat pasar untuk mendistrbusikan kekayaan.
(6) Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa. Semua ini secara sistemik akan mengakumulasikan kekayaan pada pihak yang kuat semata. Seperti: penguasa atau konglomerat hitam.
(7) Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum yang dikelola negara. Seperti: hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Mekanisme Non Ekonomi
Mekanisme non ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif, melainkan melalui aktivitas non-produktif, misalnya pemberian (hibah, shadaqah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan melengkapi mekanisme ekonomi. Yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata. Baik karena sebab-sebab alamiah maupun non-alamiah.
Mekanisme non ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non ekonomi antara lain:
(1) Pemberian harta negara (baik yang bergerak atau yang tidak bergerak) kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
(2) Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
(3) Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
(4) Pembagian harta waris kepada ahli waris.
(5) Ganti rugi berupa harta terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain.
(6) Distribusi harta melalui penguasaan barang temuan, dan lain-lain. (Disadur dari Studi Islam Paradigma Komprehensif, 2014: h. 287-313).
Demikianlah gambaran sistem ekonomi Islam. Wallahu ‘alam. [vm]
Oleh : Yan S. Prasetiadi