Dalam istilah ushul, ‘illat adalah sesuatu yang karenanya ada hukum syariah, atau sesuatu yang menjadi sebab adanya hukum syariah. Dengan ungkapan lain, ‘illat adalah sesuatu yang membangkitkan hukum syariah (al-bâ’its ‘alâ hukm asy-syar’iy). Jadi makna al-bâ’its ‘alâ al-hukmi adalah al-bâ’its ‘alâ at-tasyrî’ (yang membangkitkan penysriatan hukum), bukan membangkitkan pelaksanaan hukum dan pengadaannya. Dengan demikian ‘illat yang mu’tabar itu hanyalah ‘illat syar’i.
Karena ‘illat itu hanyalah ‘illat syar’i, maka ‘illat itu tidak boleh diambil kecuali dari apa yang telah dibawa oleh wahyu, yakni al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Al-Kitab jelas karena baik lafal maupun maknanya dari sisi Allah SWT. As-Sunnah, maknanya dari Allah sedangkan lafalnya dari Rasul saw. Ijmak Sahabat mengungkap adanya dalil, yakni adanya sabda, perbuatan atau diamnya Rasul saw. Jadi ketiganya dibawa oleh wahyu. Jika ‘illat itu datang dari salah satu dari ketiganya maka merupakan ‘illat syar’i. Jika tidak datang dari salah satu dari ketiganya maka bukan ‘illat syar’i, dan tidak ada nilainya dalam pandangan syariah.
Lalu bagaimana ‘illat itu dinyatakan atau ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat? Dari pengelaborasian terhadap nas-nas syariah maka ‘illat itu kadang ditunjukkan oleh nas secara sharâhah, yakni jelas dan terang; kadang ditunjukkan secara dalâlah; kadang secara istinbâth atau secara qiyâs. Tidak ada pernyataan atau penunjukkan ‘illat dari nas syariah selain keempat cara itu.
Nas syariah kadang menunjukkan ‘illat secara sharâhah (jelas dan terang) di dalam nas itu. Kadang kala nas syariah menunjukkan ‘illat secara dalâlah. Artinya, lafal nas atau tarkîb (struktur kalimat) dan tartîb (susunan)-nya menunjukkan ‘illat. Kadang nas syariah menunjukkan ‘illat secara istinbâth. Artinya, ‘illat itu di-istinbath dari satu nas atau dari beberapa nas, yang dari madlûl (makna)-nya yang tertentu, bukan dari keseluruhannya, dapat dipahami keberadaan sesuatu sebagai ‘illat. Kadang nas syariah menunjukkan ‘illat secara qiyâsan. Artinya, ‘illat yang tidak dinyatakan di dalam nas itu di-qiyas-kan pada ‘illat lainnya yang dinyatakan di dalam nas baik al-Kitab, as-Sunnah ataupun Ijmak Sahabat, karena dia mencakup apa yang menjadi sebab syariah menilai ‘illat lain itu sebagai ‘illat. Artinya, ‘illat yang tidak dinyatakan oleh nas itu mengandung sesuatu yang sama dengan apa yang dinilai oleh Asy-Syâri’ sebagai pembangkit atau sebab keberadaannya sebagai ‘illat. Dengan kata lain, aspek ke-’illat-an yang ada di dalam ‘illat lain itu sama dengan yang ada di dalam ‘illat yang dinyatakan oleh nas syariah.
Dari situ maka ‘illat syar’iyah itu ada empat macam: ‘illat sharâhah, ‘illat dalâlah, ‘illat istinbâth[an] dan ‘illat qiyâs[an]. Tidak ada macam ‘illat yang lain.
‘Illat sharâhah merupakan ‘illat yang ditunjukkan oleh nas syariah secara jelas dan terang. ‘Illat sharâhah ini dipahami dari manthuq nas atau mafhum-nya. Artinya, dalil baik al-Kitab atau as-Sunnah menyebutkan peng-’illat-an dengan sifat, menggunakan lafal yang secara bahasa ditetapkan untuk menyatakan ‘illat, tanpa perlu penelaahan dan istidlal.
‘Illat sharâhah ini ada dua macam: Pertama, ‘illat yang dinyatakan secara jelas dan terang di dalam dalil bahwa keberadaan suatu sifat sebagai ‘illat. Contoh: Sahal bin Sa’din menceritakan bahwa pernah seorang laki-laki mengintip dari satu lubang di kamar Nabi saw. Bersama Nabi saw. ada midran (tongkat kecil untuk menyisir/meluruskan rambut) yang beliau gunakan untuk menggaruk kepala beliau. Lalu beliau bersabda:
لَوْ أَعْلَمُ أَنَّكَ تَنْظُرُ، لَطَعَنْتُ بِهِ فِي عَيْنِكَ، إِنَّمَا جُعِلَ اْلاِسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ البَصَرِ
Andai aku tahu engkau melihat (mengintip), niscaya aku tusuk kedua matamu dengannya. Sungguh telah dijadikan meminta izin untuk melihat (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Artinya, meminta izin itu disyariatkan ketika masuk ke rumah orang lain agar tidak memandang apa yang haram dipandang.
Contoh lain: Imam Muslim meriwayatkan dari jalur ‘Amrah bahwa Aisyah ra. berkata: “Penduduk kampung bepergian menghadiri kurban pada zaman Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda, “Simpanlah tiga hari, kemudian bersedekahlah dengan sisanya.” Ketika setelah zaman itu, mereka (para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang membuat wadah air dari hewan kurban mereka dan meminyaki kotak.” Rasulullah saw. bertanya, “Mengapa begitu?” Mereka menjawab, “Engkau melarang daging kurban dimakan setelah tiga hari.” Lalu beliau bersabda:
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ، فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
Aku hanya melarang kalian karena ad-dâfah yang terjadi. Karena itu makanlah, simpanlah dan bersedekahlah (HR Muslim, Abu Dawud, asy-Syafi’i, Malik, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Terkait hadis ini, Imam Syafii berkata di dalam Ar-Risâlah pada akhir bab al-‘Ilal fî al-Hadîts, “Jika ad-dâfah maka ditetapkan adanya larangan menyimpan daging kurban setelah tiga hari. Jika tidak ad-dâfah maka rukhshah ditetapkan ada untuk memakan, berbekal, menyimpan dan bersedekah. Dimungkinkan larangan menyimpan daging kurban setelah tiga hari itu di-naskh dalam segala keadaan.”
Yang dimaksud dengan ad-dâffah adalah kelompok orang yang datang demi mencari bekal daging kurban itu, baik sekelompok orang miskin, kafilah yang sedang melakukan perjalanan atau pasukan untuk bekal logistik ke medan perang.
Kedua, ‘illat yang dinyatakan di dalam nas dengan menggunakan huruf yang menyatakan ‘illat seperti “al-lâm, kay, inna dan al-bâ`”. Contoh yang dinyatakan dengan huruf al-lâm: Firman Allah SWT:
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ
Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah para rasul itu diutus (QS an-Nisa’ [4]: 165).
Keberadaannya yang “lâ yakûnu hujjat[an] (tidak ada alasan) merupakan sifat dan huruf “al-lâm” masuk ke sifat itu. Yang demikian menunjukkan sebagai ‘illat para rasul diutus.
Contoh ‘illat yang dinyatakan dengan huruf “kay”: Firman Allah SWT:
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ
…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).
Maknanya, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang kaya saja, tetapi juga berpindah kepada selain mereka. Artinya, pemberian kepada orang Muhajirin saja tanpa orang Anshar kecuali dua orang yang fakir adalah supaya harta itu tidak diedarkan oleh orang kaya di antara mereka saja.
Contoh ‘illat yang dinyatakan dengan huruf “inna”: Sabda Rasul terkait sucinya kucing rumah. Abu Qatadah ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِين عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
Sungguh dia (kucing rumahan) tidak najis, karena dia thawâfûn atas kalian (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah).
Contoh lain: Sabda Rasul saw.:
لاَ تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ فَإِنَّه غَرَرٌ
Jangan kalian membeli ikan di dalam air karena itu gharar (HR Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Contoh yang dinyatakan dengan huruf al-bâ‘:
جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢٤
…sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan (QS al-Waqi’ah [56]: 24).
Artinya, balasan kenikmatan di surga itu karena apa yang telah mereka kerjakan.
Hanya saja, redaksi yang dijelaskan di atas sehingga memberi faedah peng-’illat-an harus terpenuhi tiga hal: Pertama, huruf itu secara bahasa memang ditetapkan untuk peng-’illat-an. Kedua, yang dimasuki oleh huruf-huruf itu haruslah merupakan sifat. Ketiga, sifat itu harus sesuai untuk hukumnya dan hukum itu ada berdasarkan sifat itu. Jika terpenuhi tiga hal itu maka redaksi itu memberi faedah peng-’illat-an. Sebaliknya, jika tidak terpenuhi ketiga perkara itu, maka redaksinya tidak memberi faedah peng-’illat-an.
Contoh: Firman Allah SWT:
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ ٢٨
…supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28).
Redaksi ini tidak menunjukkan peng-’illat-an. Sebab meski menggunakan huruf al-lâm yang secara bahasa ditetapkan untuk peng-’illat-an, hukumnya yakni kewajiban haji, tidak disyariatkan supaya merasakan manfaat. Dari sini, huruf al-lâm tidak menunjukkan peng-’illat-an, melainkan menunjukkan hikmah.
Begitu juga firman Allah SWT:
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ ٩١
Sungguh setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu (QS al-Maidah [5]: 91).
Ini tidak memberi faedah peng-’illat-an sebab huruf “inna” itu tidak masuk pada sifat.
Demikian juga firman Allah SWT:
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ ٧٨
Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir (TQS al-Isra’ [17]: 78).
Huruf al-lâm di sini tidak berfaedah peng-’illat-an. Sebab hukumnya, yakni wajibnya shalat, tidak ditetapkan karena matahari tergelincir. Ayat ini hanya menunjukkan sabab, yakni hanya memberitahukan pelaksanaan hukum.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]