abu dzar al-ghifari sahabat rasul

Abu Dzar Al-Ghifari; Pemimpin Oposisi dan Musuh Kehidupan Mewah

Ia datang ke Mekkah dengan semangat kegembiraan meski badan terasa sangat letih. Memang benar, sulitnya perjalanan dan panasnya udara padang pasir membuat tubuhnya sakit dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya mampu meringankan penderitaan dan membangkitkan semangat dan kegembiraan dalam jiwa.

la memasuki kota sambil menyamar. Ia tampak seperti orang yang hendak melakukan tawaf mengelilingi berhala-berhala besar di Ka’bah, atau seorang musafir yang tersesat dalam perjalanan, atau lebih tepat orang yang telah menempuh perjalanan sangat jauh, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Seandainya orang-orang Mekkah mengetahui bahwa kedatangannya itu untuk menemui dan mendengar keterangan Muhammad , mereka pasti membunuhnya. Namun, ia tidak peduli meski harus dibunuh, asal saja itu dilaksanakan setelah dirinya melintasi padang pasir luas dan dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan beriman kepadanya. Mereka boleh membunuhnya tetapi setelah ia merasa lega dengan kebenaran dan dakwah yang diberikan oleh Muhammad

Ia terus melangkah sambil memasang telinga. Setiap mendengar perbincangan tentang Muhammad, ia mendekat dan menyimak dengan hati-hati, dan dari cerita yang didapat di sana-sini, ia mendapati petunjuk yang bisa mengantarkannya ke tempat persembunyian Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.

Suatu pagi ia pergi ke tempat tersebut dan mendapati Muhammad sedang duduk seorang diri. Ia mendekati beliau dan berkata, “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!”

Beliau menjawab, “Keselamatan untukmu, wahai sahabat.” “Bacakanlah kepadaku syair Anda,” kata Abu Dzar.

“Itu bukanlah syair yang dapat disenandungkan, melainkan Al-Qur’an yang mulia!” jawab Rasulullah.

“Bacakanlah kalau begitu!” kata Abu Dzar.

Rasulullah pun membacakan Al-Qur’an, sedangkan Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama ia pun berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

“Dari manakah asalmu, saudara sebangsa?” tanya Rasulullah.

“Dari Ghifar,” jawabnya.

Terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui apa yang tersimpan di balik rasa kagum Rasulullah saat mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki dari Bani Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah yang tidak mengenal siapa sasarannya ketika membegal di jalanan. Orang-orang Ghifar sangat terkenal sebagai biang keladi perampokan ilegal. Mereka adalah sahabat malam dan kegelapan. Celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan orang-orang Ghifar dalam perjalanan malam! Namun, hari ini salah seorang dari mereka datang untuk menyatakan keislaman saat Islam yang baru saja lahir.

Sungguh, sulit dipercaya seorang dari Bani Ghifar sengaja datang untuk masuk Islam saat itu. Abu Dzar menuturkan sendiri kisah keislamannya tersebut, “Rasulullah pun menatap tajam seolah ingin mendapatkan kepastian dari keheranan beliau karena tahu bagaimana tabiat orang-orang Ghifar. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya’.”

Menang benar, Allah menganugerahkan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Abu Dzar ialah salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk dan orang yang dipilih-Nya untuk mendapat kebaikan.

Abu Dzar memang seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala pada zaman jahiliah, dan mempunyai kepercayaan terhadap ketuhanan dan keimanan kepada Rabb Yang Mahabesar lagi Maha Pencipta. Itu terbukti ketika ia baru saja mendengar pengutusan seorang Nabiyangmencela berhala serta pemuja-pemujanya dan menyeru kepada Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa, ia pun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan langkahnya.

Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi. Urutannya di kalangan kaum muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk Islam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada saat-saat pertama agama Islam, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Ketika ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan dakwahnya secara berbisik-bisik dari satu orang ke orang lain. Beliau membisikkan dakwah itu kepada Abu Dzar begitu pun kepada lima orang lainnya yang telah beriman kepadanya. Bagi Abu Dzar, tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkan Mekkah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.

Namun, Abu Dzar-yang nama aslinya adalah Jundub bin Junadahadalah seorang yang “radikal” dan “revolusioner.” Menentang kebatilan telah menjadi watak dan tabiatnya di mana pun ia berada. Dan sekarang kebatilan itu berada di hadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri. Kebatilan dalam wujud batu-batu yang disusun dan dibentuk oleh para pemujanya; disembah oleh orang-orang dengan menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka. Manusia memanggilnya dengan seruan, “Inilah kami kami datang demi mengikuti titahmu.”

Abu Dzar tahu bahwa Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada masa itu, tetapi mau tidak mau harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan jiwa pemberontak ulung ini sebelum ia pergi.

Baru saja masuk Islam, ia telah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurutmu?”

Beliau menjawab, “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nantil”

Namun, Abu Dzar menyahut, “Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, aku tidak akan kembali sebelum meneriakkan Islam di dalam masjid!”

Bukankah telah saya katakan kepada Anda? Abu Dzar berjiwa “radikal” dan “revolusioner”! Apakah pada saat alam baru terbuka secara gamblang, yang jelas terlukis pada pribadi Rasulullah yang diimaninya, serta dakwah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya; apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa? Sungguh, hal itu di luar kemampuannya!

Abu Dzar pergi menuju Al-Masjid Al-Haram dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Aku bersaksi bahwa tiada llah (yang berhak disembah) selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Inilah teriakan pertama tentang agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka.

Teriakan itu diserukan oleh seorang perantau asing, yang tidak mempunyai pelindung, sanak keluarga maupun pembela di Mekkah. Sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya bisa dipastikan itu akan ia terima. Orang-orang musyrik mengepung dan memukulnya hingga roboh.

Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Dia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, namun ia merasa tidak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka, kecuali dengan menggunakan pendekatan persuasif. Dia pun berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tidak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Orang ini salah seorang warganya. Dia bisa memobilisasi kaumnya untuk merampok kafilah-kafilah dagang kalian nanti!”

Mereka pun menyadari hal itu, lalu pergi meninggalkannya. Tetapi, Abu Dzar yang baru saja mengenyam manisnya penderitaan dalam membela agama Allah itu tidak ingin meninggalkan Mekkah sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya. Dia pun membuktikan itu pada hari berikutnya, atau bahkan pada hari yang sama. Dia melihat dua orang wanita sedang tawaf mengelilingi berhala-berhala Usaf dan Nailah sambil memohon kepadanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina dan direndahkan olehnya.

Kedua wanita itu berteriak keras, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang. Sejurus kemudian, mereka menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tidak sadarkan diri. Ketika ia siuman, tidak ada kata yang ia ucapkan selain, “Bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”

Rasulullah menyadari bagaimana watak dan tabiat murid barunya yang baru datang itu. Beliau memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebatilan. Hanya saja, saatnya belum tiba, sehingga beliau mengulangi perintah agar dia pulang, hingga ketika ia telah mendengar Islam telah didakwahkan secara terang-terangan, ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya.

Abu Dzar kembali menemui keluarga serta kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang nabi yang baru diutus Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlak mulia. Satu demi satu, kaumnya masuk Islam. Bahkan, usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tetapi dilanjutkannya pada suku lain, yaitu suku Aslam. Ia memancarkan cahaya Islam di tengah-tengah mereka,

Hari-hari berlalu mengikuti peredaran masa. Rasulullah pun hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama kaum muslimin. Suatu hari satu barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukan karena bunyi suara takbir mereka yang gemuruh, orang yang mellhat pasti akan menyangka mereka itu adalah iring-iringan tentara musyrikin.

Rombongan besar itu semakin dekat, lalu memasuki Madinah dan langkah mereka mengarah ke masjid dan tempat kediaman Rasulullah Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar, baik laki-laki, perempuan, orang tua, remaja, maupun anak-anak.

Kali ini, Rasulullah semakin takjub dan kagum. Belum lama berselang, beliau takjub oleh seorang laki-laki dari Ghifar yang menyatakan keislaman di hadapan belia. Ketakjuban beliau itu ditunjukkan dengan bersabda, “Sesungguhnya Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Nah, kini yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman mereka, setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut agama itu; sejak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar. Suku Aslam juga ikut bersama mereka. Kini, raksasa garong dan komplotan setan telah beralih rupa menjadi pembesar kebajikan dan pendukung kebenaran! Benar bahwa Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau bersabda:

غفار غفر الله لها

“Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah.”

Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, beliau juga bersabda:

“Suku Aslam telah diselamatkan oleh Allah.”

وأنكم سالتها الله

Untuk Abu Dzar, mubalig ulung yang berjiwa bebas dan bercitacita mulia itu, apakah Rasulullah tidak akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tentu saja, ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya dipenuhi berkah!

Bintang tertinggi tentu akan disematkan di dadanya, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Keturunan demi keturunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah mengenai Abu Dzar ini, “Tidak ada lagi di muka bumi dan di bawah naungan langit orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar.**

Seperti disebutkan sebelumnya, Rasulullah menyadari bagaimana watak dan tabiat murid barunya yang baru datang waktu itu. Beliau memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebatilan. Hanya saja, saatnya belum tiba, sehingga beliau memerintahkan agar dia pulang ke kaumnya. Dan kini, ketika ia telah mendengar Islam telah didakwahkan secara terang-terangan, ia kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya di Madinah.

Kali ini beliau menyatakan tidak ada orang yang lebih benar daripada ucapan Abu Dzar. Sungguh, Rasulullah sebagai telah membaca masa depan sahabatnya itu, dan menyimpulkan semuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian; itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan! Benar batinnya, benar pula lahirnya. Benar akidahnya, benar pula ucapannya.

Dalam kehidupan selanjutnya, Abu Dzar memang menjalani hidupnya secara jujur. Ia tidak menipu dirinya sendiri maupun orang lain. Ia tidak akan membiarkan seorang pun menyimpangkan dirinya dari kebenaran. Kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran!

Yang dikatakan benar adalah menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang hak dan menentang yang batil, mendukung yang benar dan memberantas yang salah. Benar itu ialah loyalitas total terhadap yang hak, mengemukakannya secara berani, dan melaksanakannya secara terpuji.

Dengan penglihatan yang tajam, bagai menembus ke alam gaib yang jauh tidak terjangkau atau samudra yang tidak terselami, Rasulullah menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai konsekuensi dari kejujuran dan ketegasannya. Karena itu, Rasulullah selalu berpesan kepadanya agar melatih diri dengan kesabaran dan tidak terburu nafsu.

Suatu hari Rasulullah & mengemukakan kepadanya pertanyaan, “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?”

Abu Dzar menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutismu dengan kebenaran, aku akan menebas mereka dengan pedangku!”

Beliau bersabda kepadanya, “Maukah kamu bila aku memberikan jalan yang lebih baik daripada itu? Yaitu, bersabar sampai kamu menemuiku.”

Tahukah Anda, mengapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Mengapa pertanyaannya berkaitan dengan urusan pembesar dan harta? Karena, itulah persoalan pokok yang nantinya akan dihadapi oleh Abu Dzar dalam kehidupan selanjutnya. Itulah permasalahan dirinya dengan masyarakat dan masa depan yang harus dipecahkannya.

Rasulullah telah mengetahui hal itu, dan itulah sebabnya beliau mengajukan pertanyaan demikian. Beliau bermaksud membekalinya dengan nasihat yang amat berharga, “Bersabarlah sampai kamu menemuiku”.

Dalam kehidupan selanjutnya, Abu Dzar memang selalu ingat wasiat gurunya. Ia tidak pernah menggunakan pedang untuk menghadapi para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat, tetapi ia juga tidak pernah tinggal diam walau sesaat untuk mengingatkan mereka dengan cara lain. Hal itu karena Rasulullah hanya melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran. Wasiat itu pun dilaksanakannya.

Masa Rasulullah berlalu dan kemudian disusul oleh masa Abu Bakar, kemudian masa Umar. Pada masa kedua khalifah ini, godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan. Ketika itu tidak terdapat penyelewenganpenyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit menentang dengan suaranya yang laintang dan kecamannya yang pedas.

Keharusan hidup sederhana, menjauhi kemewahan, dan menegakkan keadilan telah lama berlaku pada pemerintahan Amirul Mukminin Umar, bagi setiap pejabat dan pembesar Islam. Begitu pun bagi para hartawan di mana mereka berada, telah diterapkan disiplin ketat yang hampir tidak terpikul oleh kemampuan manusia. Tiada seorang pun di antara pejabatnya, baik di Iraq, Syria, Sana’a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan makanan mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar. Pejabat yang bersangkutan pun akan dipanggil menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.

Abu Dzar merasa tenang dengan suasana seperti itu. Hatinya tenteram dan damai selama Al-Faruq yang agung masih menjabat sebagai Amirul Mukminin. Selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan-karena Umar bin Al-Khatthab memang memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap pihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta-maka selama itu pula Abu Dzar merasa puas dan lega. Dengan demikian, ia dapat memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Rabbnya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikit pun hendak berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi.

Namun, setelah khalifah besar yang sangat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan itu wafat, rasanya ada celah yang jauh. Baru saja Umar wafat, langsung timbul gejala yang tidak terelakkan dan tidak terbendung oleh tenaga manusia. Saat itu, ajaran Islam meluas ke berbagai pelosok dunia dan menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas. Abu Dzar melihat bahaya ini.

Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan kalimat Allah. Dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir memperdayai orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan. Harta yang dijadikan Allah sebagai “budak” yang harus tunduk kepada manusia, justru cenderung berubah rupa menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Ujian ini telah menimpa sebagian sahabat Muhammad di mana beliau sendiri pada waktu wafat, baju besinya sedang tergadai, sementara tumpukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kaki beliau.

Hasil kekayaan bumi yang sengaja dilimpahkan oleh Allah bagi semua umat manusia, dengan menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan. Jabatan yang merupakan amanah untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, kini beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan yang menghancurkan.

Abu Dzar melihat semua kesenjangan itu. Ia tidak perlu mencari siapakah yang memikul kewajiban itu atau penanggung jawabnya, namun langsung menghunus pedang, mengacungkannya ke udara dan mengayunkannya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tidak pernah tumpul itu. Tetapt, secepat itu pula, hatinya teringat wasiat yang telah disampaikan Rasulullah kepadanya dulu. Dia pun memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tidak sepantasnya ia mengacungkannya ke wajah seorang Muslim. Dalam hal ini Allah berfirman:

Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). (AnNisa’: 92)

Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para sahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan ada orang yang lebih benar ucapannya daripada Abu Dzar? Orang yang memiliki kemampuan mengolah kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya akan lebih tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.

Dengan senjata kebenarannya, ia akan pergi untuk menjumpai para pembesar dan kaum hartawan, atau kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan agama, yakni agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan. Agama menjadi rahmat dan karunia, bukan azab dan kesengsaraan. Agama mengajarkan kerendahan hati, bukan kesombongan diri. Agama menanamkan persamaan bukan pengkastaan; kesahajaan bukan keserakahan; kesederhanaan bukan keborosan; kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan kelalaian dan kerakusan dalam mengejarnya.

Akhirnya, Abu Dzar pergi menjumpai mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim antara dirinya dan mereka, karena Dialah sebaik-baik hakim. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar, ia mengubah sikap mental mereka satu per satu. Dalam beberapa hari saja tidak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.

Nama Abu Dzar-bahkan walau baru namanya saja yang terdengar bagaikan terbang ke setiap wilayah Islam, dan menimbulkan rasa takut dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang

Seandainya sosok berjiwa revolusioner yang mulia ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, semboyan yang akan terukir di panji-panji itu tiada lain adalah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sebab, semboyan yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang selalu diingat oleh jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan, ialah kalimat ini:

“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterika kening dan pinggang mereka pada hari kiamat.”

Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah, memasuki kota, dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah lisannya. Begitu pula setiap orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan, “Beritakanlah kepada para – penumpuk harta dengan seterika dari neraka!”

Kalimat ini benar-benar telah menjadi panji bagi misinya. Ia memang telah mendedikasikan hidupnya untuk itu, ketika ia melihat kekayaan telah dimonopoli; saat jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan mengais keuntungan; dan kala cinta dunia telah merajalela dan hampir saja melumuri keutamaan dan kesalehan, kesungguhan dan keikhlasan yang telah dicapai pada tahun-tahun kerasulan.

Poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan yang menjadi sasaran pertama Abu Dzar adalah Syria, tempat Mu’awiyah bin Abu Sufyan memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi, dan paling kaya dengan upetinya. Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demiterjaminnya masa depan yang masih dirindukan, dan didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas.

Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi, dan harta berlimpah telah menggoda sebagian pemikul dakwah yang masih tersisa. Karena itulah, Abu Dzar harus cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarutlarut; sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.

Pemimpin oposisi terhadap segala bentuk kemewahan ini pun segera bangkit dan secepat kilat berangkat ke Syria. Saat berita keberangkatannya didengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut kedatangannya dengan semangat menyala penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana perginya. “Bicaralah, wahai Abu Dzari Bicaralah, wahai sahabat Rasulullah!” pinta mereka.

Abu Dzar melepaskan pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Kemudian, pandangannya beralih ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan. Ia pun menyeru kepada orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, “Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, mengapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya?”

Tetapi, Abu Dzar segera teringat wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih jalan kesabaran daripada jalan pemberontakan; menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang yang ganas. Dia pun meninggalkan bahasa-bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa yang logis dan persuasif.

Ia mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya, mereka semua berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka.

Dengan kata-kata dan keberaniannya, Abu Dzar islah inemutuskan untuk membentuk opini publik di setiap negeri Islam agar kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya menjadi kekangan terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.

Dalam beberapa hari saja, Syria seakan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk berontak, api pemberontakan pasti akan berkobar. Tetapi, seperti yang kami katakan sebelumnya, niatnya hanya terbatas untuk membentuk suatu opini publik yang harus diindahkan, dan agar ucapan-ucapannya menjadi hiasan bibir di tempat-tempat pertemuan, di masjid, dan di jalan-jalan.

Bahaya terhadap perbedaan-perbedaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan dialog dengan Mu’awiyah di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir dan beritanya cepat tersebar bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar tampil sebagai orang yang paling jitu ucapannya seperti telah dilukiskan oleh Nabi sebagai gurunya.

Tanpa rasa gentar dan tidak pandang bulu ia menanyai Mu’awiyah tentang kekayaannya sebelum menjadi penguasa dan kekayaannya sekarang. Dia juga menanyakan rumah yang dihuninya di Mekkah dulu, dan istananya yang terdapat di Syria saat ini.

Setelah itu Abu Dzar mengajukan pertanyaan kepada para sahabat di sekelilingnya yang waktu itu ikut bersama Mu’awiyah ke Syria dan sebagian telah memiliki gedung-gedung dan tanah-tanah pertanian yang luas.

Dia lalu berseru kepada semua yang hadir, “Apakah kalian adalah orang-orang yang ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah, beliau berada di tempat kalian?”

Abu Dzar sendiri memberikan jawaban pertanyaan tersebut kepada mereka, “Benar, Al-Qur’an diturunkan saat kalian masih hidup, dan kalian telah menyertai Rasulullah dalam beberapa peperangan!”

Kemudian Abu Dzar mengulangi pertanyaannya, “Apakah kalian tidak menemukan ayat berikut ini di dalam Al-Qur’an?

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, (ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (At-Taubah: 34-35).

Mu’awiyah memotong jalan pembicaraannya, dengan mengatakan, “Ayat ini diturunkan kepada Ahli Kitab!”

“Bukan, melainkan diturunkan kepada kita dan kepada mereka!” jawab Abu Dzar.

Abu Dzar melanjutkan ucapannya, menasihati Mu’awiyah dan anak buahnya agar melepaskan gedung, tanah, dan harta kekayaan mereka, serta tidak menyimpan untuk kepentingan pribadi melebihi keperluan sehari-hari.

Berita tentang Abu Dzar dan soal jawab ini tersebar dari mulut ke mulut, baik orang ke orang maupun kelompok. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalanan: “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika-seterika api neraka!”

Mu’awiyah merasa akan ada bahaya yang timbul dan cemas terhadap akibat ucapan tokoh ulung tersebut. Tetapi, ia pun menyadari pengaruh dan kedudukan Abu Dzar, sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkannya. Karena itu, langkahnya adalah menulis surat kepada Khalifah Utsman, yang berisi penyataan: “Abu Dzar telah merusak orangorang di Syria!”

Sebagai jawabannya, Utsmat mengirim surat meminta Abu Dzar agar datang ke Madinah. Abu Dzar pun segera menyingsingkan lengan baju dan berangkat ke Madinah. Ia meninggalkan Syria yang harus menyaksikan saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan setelah mengalami suatu peristiwa yang luar biasa yang belum pernah disaksikannya selama ini.

“Aku tidak memerlukan dunia kalian.” Itulah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama antara mereka.

Dari pembicaraan dengan sahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuhnya bahaya gerakan dan pengaruhnya. Karena itu, ia mengambil keputusan untuk membatasi langkahnya, yaitu dengan menyuruh Abu Dzar tinggal bersamanya di Madinah.

Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah dengan lemah lembut dan bijaksana. Utsman mengatakan, “Tinggallah di sini di sampingku. Unta yang gemuk telah disediakan bagimu, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore.”

Namun, Abu Dzar menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia kalian.”

Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari kekayaan rohani, dan menjalani kehidupan untuk memberi dan bukan untuk menerima. Akhirnya ia meminta kepada khalifah Utsman agar ia diberi izin tinggal di Rabadzah, dan permintaan itu dikabulkan.”

Dalam suasana gerakan revolusi yang panas itu, Abu Dzar tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya. Nasihat yang diberikan oleh Nabi * agar tidak menggunakan senjata meresapkan sampai ke tulang sumsumnya. Nasihat amat berharga itu disampaikan oleh beliau karena beliau sepertinya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada Abu Dzar dan masa depannya. Karena itu, Abu Dzar sendiri pun tidak ingin menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan fitnah, dan menggunakan ucapan dan seruannya untuk mendukung keinginan dan siasat licik mereka.

Suatu hari, sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, sekelompok orang dari Kufah datang dan memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Khalifah Utsman. Abu Dzar menghardik mereka dengan kata-kata yang tegas, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, aku pasti mendengar dan taat. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa hal itu merupakan yang terbaik bagiku! Seandainya Utsman menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku! Begitu pun jika Utsman menyuruhku pulang ke rumahku, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku.”

Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan tujuan duniawi. Karena itu, Allah melimpahkan kepadanya pandangan hati yang tajam, hingga mampu melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata, sehingga ia pun menjauhinya.

Namun, ia juga menyadari bahaya dan bencana yang akan ditimbulkan bila ia hanya membisu dan tidak buka suara melihat penyimpangan tersebut, sehingga ia tidak tinggal diam. Abu Dzar menajarkan suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan yang benar dan kata-kata yang tegas, tanpa dicampuri oleh suatu keinginan duniawiyang mendorongnya atau kekhawatiran terhadap akibat yang akan menghalanginya.

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan kekuasaan, karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang dikhawatirkan oleh Abu Dzar akan menimpa rekan-rekannya yang telah memikul panjipanji Islam bersama Rasulullah, dan yang harus tetap memikulnya untuk seterusnya. Di samping itu, kekuasaan dan harta merupakan urat nadi kehidupan bagi umat dan masyarakat, hingga bila keduanya telah diselewengkan, nasit inanusia pun akan menghadapi bahaya yang akut.

Abu Dzar berkeinginan agar tidak seorang pun di antara sahabat Rasul menjadi pejabat atau pengumpul harta. Ia menginginkan mereka tetap menjadi pelopor yang menunjukkan manusia kepada hidayah Allah dan pengabdi bagi-Nya. Ia benar-benar telah mengenali tipu daya dunia dan harta serta menyadari bahwa Abu Bakar dan Umar tidak mungkin bangkit kembali. Abu Dzar pernah mendengar Nabi memperingatkan sahabatsahabatnya terhadap tipuan jabatan ini dan bersabda tentang persoalan ini:

“Ini (jabatan) merupakanamanah, dan pada hari kiamatmenyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.”

Bahkan, perjuangan Abu Dzar sampai pada tindakan menjauhi rekanrekannya karena mereka telah menjadi pejabat, yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.

Suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan saat melihatnya, Abu Musa langsung membentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan karena pertemuan itu, “Selamat, wahai Abu Dzar! Selamat, wahai saudaraku!”

Tetapi, Abu Dzar menolak, dan mengatakan, “Aku bukan saudarannu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernurl”

Hal yang sama juga terjadi ketika suatu hari ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil mengucapkan selamat. Abu Dzar menghardik dengan tangannya dan berkata, “Menyingkirlah dari diriku. Bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat, hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak, dan mengusahakan pertanian?” Abu Hurairah menyanggah dengan gigih dan menolak semua tuduhan itu.

Abu Dzar barang kali menunjukkan sikap yang berlebihan dalam memandang harta dan kekuasaan. Tetapi, ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan pikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang-elah dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.

Bila sebagian orang mungkin berpikir bahwa standar yang ditetapkan Abu Dzar terlalu ideal dan tidak mungkin dapat dicapai, Abu Dzar tidaklah demikian. Ia sendiri justru melihat hal itu sebagai keteladanan yang mengukir jalan hidup dan usaha, terutama bagi mereka yang hidup semasa Rasulullah yakni yang melakukan shalat di belakang beliau, berjihad bersama beliau, dan telah mengambil baiat untuk taat dan patuh kepada beliau.

Selain itu, sebagaimana telah kita kemukakan sebelumnya, bahwa dengan penglihatannya yang tajam ia melihat harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh besar terhadap nasib manusia. Karena itu, setiap celah yang menodai amanah kekuasaan dan kekayaan, pasti akan menimbulkan bahaya besar yang harus segera ditanggulangi.

Sepanjang hayatnya, Abu Dzar dengan sekuat tenaga memikul panji contoh utama dari Rasulullah dan kedua sahabatnya, menjadi penyangga dan sosok terpercaya dalam memeliharanya. Abu Dzar menjadi mahaguru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Suatu saat, Abu Dzar ditawari sebuah jabatan sebagai gubernur di Iraq, namun ia menjawab, “Demi Allah, kalian tidak akan dapat memancingku dengan dunia kalian selamanya!”

Kali lain, seorang sahabat melihat dirinya memakai jubah usang, la pun berkata, “Bukankah Anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lalu saya melihat Anda punya dua helai baju baru.”

Abu Dzar menjawab, “Wahai putra saudaraku, kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada diriku.”

Sahabat itu pun berkata, “Demi Allah, Anda juga membutuhkannya!”

Abu Dzar menjawab, “Ampunilah, ya Allah! Engkau terlalu mengagumi dunia! Apakah engkau tidak melihat burdah yang saya pakai ini? Aku mempunyai satu lagi untuk shalat Jumat. Aku punya seekor kambing untuk diperah susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi! Nikmat apa lagi yang lebih besar daripada yang kita miliki ini?”

Suatu hari Abu Dzay-duduk menyampaikan sebuah hadits, dan berkata, “Aku diberi wasiat oleh junjunganku berupa tujuh perkara: beliau memerintahkan agar aku menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka; beliau memerintahkan agar aku berkaca kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku; beliau memerintahkan agar aku tidak meminta sesuatu kepada orang lain; beliau memerintahkan agar aku menyambung tali silaturahmi: beliau memerintahkan agar aku mengatakan yang benar walaupun pahit; beliau memerintahkan agar aku dalam menjalankan agama Allah, tidak takut celaan orang, dan beliau memerintahkan agar aku memperbanyak ucapan, ‘La haula wa la quwwata illa billah’ (tiada daya dan upaya selain karena Allah).”

Kenyataannya, Abu Dzar memang hidup menjalani wasiat itu. Ia benar-benar menempa hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi simbol hati nurani masyarakat dari umat dan bangsanya. Imam All berkata, “Tidak ada lagi pada zaman sekarang ini orang yang tidak takut terhadap celaan orang dalam menegakkan agama Allah, selain Abu Dzar.”

Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta. Hidupnya didedikasikan untuk menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar dan pemikul tanggung jawab menyampaikan nasihat dan peringatan.

Orang-orang melarang dirinya memberikan fatwa, tetapi suaranya justru bertambah lantang, dan menghardik orang yang melarang itu dengan ucapan, “Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya kalian menaruh pedang di atas pundakku, namun aku merasa masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar, aku pasti akan menyampaikannya sebelum kalian menebas batang leherku.”

Seandainya saja kaum muslimin mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu, niscaya fitnah yang pada akhirnya berkobar dan berlarut-larut, mati ketika baru lahir. Pemerintah dan masyarakat Islam tentu tidak akan dihadapkan pada bahaya dan kepedihan yang tiada tara.

Kini Abu Dzar sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah, suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman. Marilah kita menuju ke sana untuk melepas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa.

Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk di dekatnya menangis. Perempuan itu adalah istrinya.

Abu Dzar bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tangisi, sedangkan maut itu pasti datang?”

“Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain untuk kafanmu!” jawabnya.

Abu Dzar bertutur kepada istrinya, “Janganlah menangis! Suatu hari, ketika aku berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang sahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Salah seorang di antara kalian sungguh akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!’.”

Semua yang waktu itu hadir di majelis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jamaah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang masih hidup di antara mereka selain aku. Inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah jalan, siapa tahu rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongilRuhnya pun kembali ke hadirat Allah.

Ternyata Abu Dzar tidak salah. Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan orang beriman yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah Sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti mayat, sedangkan di sisinya ada seorang wanita tua dengan seorang anak; kedua-duanya menangis.

Ibnu Mas’ud membelokkan binatang tunggangannya ke tempat itu, dan diikuti oleh anggota rombongan. Saat pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah sahabatnya; saudara seiman dan saudaranya dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar.

Air matanya mengucur deras dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu, ia berkata, “Memang benar ucapan Rasulullah. Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.” Ibnu Mas’ud duduk, lalu menceritakan kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu: “Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.”

Ucapan itu terjadi pada waktu Perang Tabuk pada tahun 9 H. Rasulullah telah menitahkari agar para sahabat mengadakan persiapan untuk menghadapi Romawi, yang waktu itu telah memulai membuat makar dan berencana jahat untuk menggempur umat Islam. Kali ini Nabi menyerukan kaum muslimin untuk berjihad pada masa yang sulit dan panas. Tempat yang akan dituju pun jaraknya sangat jauh, selain musuh yang menakutkan. Sebagian kaum muslimin enggan ikut serta karena berbagai alasan.

Rasulullah dan para sahabatnya akhirnya berangkat dan diikuti oleh sebagian orang dengan kondisi setengah terpaksa karena enggan.

Semakin jauh perjalanan mereka, semakin sulit pula penyiksaan dan penderitaan yang harus dipikul.

Bila ada orang yang tertinggal di belakang, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, si fulan telah tertinggal”. Beliau menjawab, “Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Bila tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya.”

Suatu saat mereka melihat berkeliling ke sana kemari karena mereka kehilangan jejak Abu Dzar. Mereka berkata kepada Rasulullah . “Abu Dzar telah tertinggal, keledainya menyebabkan dirinya terlambat.” Rasulullah mengulangi jawabannya tadi. Keledai Abu Dzar memang sangat kelelahan disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontal. Ada dicobanya dengan berbagai akal untuk menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.

Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari kaum muslimin hingga tidak dapat mengikuti jejak mereka. Dia pun turun dari punggung kendaraannya, lalu mengambil barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, dan kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dia mempercepat langkahnya di tengah-tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah dan para sahabatnya.

Suatu pagi, ketika kaum muslimin telah menurunkan barangbarang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kajauhan debu yang mengepul ke atas, sedangkan di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang mempercepat langkahnya.

“Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” kata mereka.

“Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar,” jawab Rasulullah

Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, sehingga mereka mengetahui siapa dia.

Lambat laun, musafir mulia itu mendekati mereka. Langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun, ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi berkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah dan saudara-saudaranya seperjuangan.

Setelah ia sampai dekat rombongan, seseorang berseru, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, ia Abu Dzar.” Sementara itu, Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah

Saat Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasih. Beliau bersabda:

“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar. Ia berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.”

Setelah berlalu masa 20 tahun atau lebih dari hari yang kami sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara. Itu terjadi setelah dirinya juga sendirian untuk menempuh hidup yang luar biasa yang tidak seorang pun dapat menyamainya. Dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara-yakni orang satu-satunya-baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak terhitung banyaknya, dan tidak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan dengannya. [vm]

Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi

Check Also

imam malik bin anas

Cara Imam Malik Memuliakan Ilmu

IMAM Malik rahimahulLaah adalah salah seorang ulama yang sangat memuliakan ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.