Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-09
ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Biarkan aku apa yang aku biarkan kepada kalian. Sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang sesuatu atas kalian maka tingggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Humaidi, Ibn Hibban, Abu Ya’la, dll)
Hadis ini dikeluarkan oleh al-Humaidi dari Sufyan. Imam Ahmad mengeluarkannya dari Yazid dari Muhammad bin Ishaq. Imam al-Bukhari mengeluarkannya dari Ismail bin Abi Uwais dari Malik. Imam Muslim mengeluarkannya dari Qutaibah bin Said dari al-Mughirah al-Hizami dan dari Ibn Abi Umar dari Sufyan. Abu Ya’la mengeluarkannya dari Wahab dari Khalid, dari Abdurrahman bin Abi Ishaq al-Madini. Ibn Hibban mengeluarkannya dari al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi, dari Ibrahim bin Basyar dari Sufyan. Kelimanya (Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Ishaq, Malik, al-Mughirah al-Hizami, Abdurrahman bin Ishaq al-Madini) dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ad-Dawsi ra.
Imam Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan lainnya juga mengeluarkan hadis tersebut dengan redaksi sedikit berbeda melalui beberapa jalur dari penuturan Abu Hurairah ra.
Imam an-Nawawi memasukkan hadis ini dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah hadis ke sembilan. Hadis ini termasuk bagian dari salah satu pokok ajaran agama, yang memberikan tuntunan sikap bagi seorang Muslim terhadap larangan dan perintah.
Lafal dzarûnî … wa ikhtilâfihim ‘alâ anbiyâihim meski redaksinya berita, maknanya adalah larangan menyelisihi nabi dan banyak bertanya. Menyelisihi nabi sudah diketahui oleh semua bahwa hukumnya adalah haram. Adapun bertanya maka qarinah yang ada menunjukkan larangan itu bermakna makruh dan itu pun hanya untuk jenis pertanyaan tertentu, bukan umum untuk semua pertanyaan. Sebab, Allah SWT justru memerintahkan untuk bertanya kepada ulama jika kita tidak tahu (QS an-Nahl [16]: 43; al-Anbiya’ [24]: 7). Dalam beberapa hadis Rasul saw. juga memerintahkan untuk bertanya. Begitupun para Sahabat banyak bertanya kepada Rasul saw., beliau tidak melarangnya dan beliau pun menjawab pertanyaan mereka.
Ringkasnya, pertanyaan itu ada dua jenis. Pertama: pertanyaan yang dilarang. Di antaranya pertanyaan yang menimbulkan keraguan (tasykîkiyah) dalam akidah atau tentang kelayakan syariah. Juga pertanyaan tentang perkara yang berada di luar jangkauan akal manusia, seperti pertanyaan tentang ruh (nyawa), tentang zat Allah, tentang zat/hal gaib, tentang jin, malaikat, dsb. Juga dilarang pertanyaan dalam rangka mendebat (li al-jidâl), pertanyaan yang berputar-putar menyulitkan untuk membuat yang ditanya agar tampak bodoh (as’ilah ta’annutiyah) dan pertanyaan untuk mengejek atau memperolok (istihzâ’). Begitu pula dilarang pertanyaan tentang detil suatu masalah secara berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (tanathu’i), seperti pertanyaan apakah haji diwajibkan setiap tahun, yang menjadi asbabul wurud hadis ini. Juga pertanyaan yang dibuat-buat (takalluf) atau pertanyaan yang mengada-ada; termasuk pertanyaan: kalau, jika, seandainya begini bagaimana; yakni tentang sesuatu yang bersifat asumtif, bukan yang faktual atau dugaan kuat akan dijalani atau dihadapi. Dalam hal ini, para Sahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in, tidak menyukai pertanyaan tentang sesuatu yang belum ada atau belum terjadi karenanya mereka bersikap tawaquf tidak mau menjawab atau membahasnya.
Kedua: pertanyaan yang diperintahkan dan disyariatkan, yaitu pertanyaan dalam rangka ta’lim, di antaranya agar lebih paham atau lebih jelas memahami nas dan hukum. Juga pertanyaan dalam rangka pengajaran untuk pembelajar yang lain supaya pelajaran yang diberikan guru, deskripsinya jadi lebih jelas, lebih lengkap atau lebih mudah dipahami para pembelajar. Bahkan bagi orang yang akan melakukan sesuatu dan dia belum/tidak tahu hukumnya, maka bertanya tentang hukum sesuatu itu sebelum dia melakukannya adalah wajib. Sebab, tanpa itu dia tidak akan bisa melaksanakan kewajiban terikat dengan syariah dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu.
Hadis ini memberi tuntunan sikap seorang Muslim. Terhadap perintah, dilaksanakan sesuai batas kemampuan. Maknanya bukanlah minimalis, tetapi justru maksimalis. Sebab, makna istitha’ah adalah aqsha thâqah (kemampuan maksimal). Adapun larangan, maka ditinggalkan, dan itu tanpa dikaitkan dengan istithâ’ah. Sebab, meninggalkan adalah manahan diri, tidak melakukan, atau tidak mengambil yang dilarang itu, atau berhenti lalu menjauhinya jika terlanjur dikerjakan.
Hadis ini mengisyaratkan bahwa dari pada menyibukkan diri dengan pertanyaan yang dilarang itu, hendaknya seorang Muslim lebih menyibukkan diri memahami apa yang dibawa oleh Nabi baik al-Quran maupun as-Sunnah, mendalami maknanya dan menggali hukumnya bagi yang mampu atau memahami hukum-hukum yang digali darinya oleh para mujtahid. Semuanya dalam rangka mempedomani dan mengamalkannya. Jika itu termasuk perkara pembenaran, hendaklah menyibukkan diri untuk membenarkannya baik ghalabah zhan ataupun mengimaninya sesuai tuntutan nas itu. Jika merupakan perkara amaliah, hendaklah mengerahkan segenap daya upaya untuk melaksanakannya sesuai batas kemampuan jika itu berupa perintah; dan meninggalkan serta menjauhinya jika berupa larangan. Jika masih ada waktu lebih, bolehlah memikirkan hukum apa yang mungkin akan terjadi menurut asumsi dengan maksud untuk dipedomani andai benar terjadi. Jadi tafaqquh fi ad-dîn itu terpuji jika untuk amal dan tercela jika untuk riya dan perdebatan, apalagi untuk menimbulkan kerancuan, kebingungan dan keraguan di banyak orang. WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]