Soal:
Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda, amiruna al-jalil.
Bagaimana seandainya orang memulai puasa dua bulan pada bulan Dzul Qa’dah misalnya, apakah boleh untuknya berpuasa hari Idul Adhha, ataukah dia boleh memutus berurutannya puasanya itu dengan berbuka pada hari Idul Adhha dan kemudian setelah itu dia lanjutkan lagi?
Saya berharap jawaban, dan semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.
[Abu Hanifah asy-Syamiy]
Jawab:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Anda dalam permintaan penjelasan, mengaitkan ini terhadap Jawab Soal yang telah kami publikasikan pada 15 Sya’ban 1443 H-18 Maret 2022 seputar Kafarah Pembunuhan Karena Tersalah dan apakah boleh menjadikan bulan Ramadhan menjadi bagian dari dua bulan kafarah yang diwajibkan oleh syara’ untuk berpuasa di dalamya bagi orang yang tidak mendapati budak …
Dan Anda bertanya tentang berurutan dalam dua bulan dan apakah jika orang itu memulai puasanya pada bulan Dzul Qa’dah, apakah dia boleh berpuasa para hari Idul Adhha, dan apakah boleh dia memutus berurutannya puasa dengan berbuka pada hari Idul Adhha?
Jawaban atas hal itu adalah sebagai berikut:
1- Hukum kafarah pembunuhan karena tersalah dinyatakan di dalam firman Allah SWT:
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً﴾
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS an-Nisa’ [4]: 92).
Sesuai ayat yang mulia ini, maka yang dituntut dalam keadaan tidak adanya budak adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan ini berarti bahwa bagi orang yang terhadapnya wajib kafarah berupa puasa agar dia berpuasa pada waktu yang memungkinkannya merealisasi apa yang dituntut di dalam ayat tersebut berupa berturut-turut dalam puasa dua bulan itu. Ini tidak tersedia dalam Dzulqa’dah dan Dzulhijjah karena terputusnya puasa pada dua bulan itu karena adanya Idul Adhha dan hari Tasyriq ..
Oleh karena itu maka bagi orang yang terhadapnya wajib kafarah pembunuhan karena tersalah sesuai tuntutan ayat ini agar dia mencari kemungkinan berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terjadi keterputusan dalam dua bulan itu, yang dia mampu menghindarinya. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan di Jawab Soal terdahulu.
Perlu diketahui, di dalam al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah disebutkan pendapat-pendapat berbagai madzhab dalam masalah terputusnya berturut-turutnya puasa karena berbuka pada dua hari raya dan hari Tasyriq sebagai berikut:
[Apa yang memutus berturut-turut dalam puasa kafarah:
Bertutur-turut (at-tatabu’) dalam puasa kafarah terputus dengan perkara-perkara yang disebutkan oleh para fukaha, yaitu:
…………………….
- Masuknya Ramadhan, dua Hari Raya dan hari-hari Tasyriq:
12- Hanafiyah berpendapat bahwa masuknya bulan Ramadhan, Idul Fithri, Idul Adhha dan hari-hari Tasyriq memutus puasa kafarah dikarenakan wajibnya puasa Ramadhan dan keharaman berpuasa pada hari-hari lainnya (dua hari raya dan hari-hari Tasyriq-pent), dan karena dia mampu mencari dua bulan yang di dalamnya tidak ada apa yang disebutkan itu. Dan ini juga menjadi pendapat Syafi’iyah dalam puasa yang bukan tawanan. Adapun tawanan, jika dia berpuasa dengan ijtihadnya lalu masuk bulan Ramadhan atau Hari Raya Id sebelum sempurnanya dua bulan itu, maka dalam hal terputusnya sifat berturut-turutnya ada perbedaan pendapat dalam keterputusannya dengan berbukanya orang yang sakit.
Adapun Malikiyah, mereka menyebutkan: dia menyengaja berbuka pada Hari Raya memutus berturut-turutnya puasa kafarah. Sebagaimana jika dia sengaja berpuasa Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah dari kafarah zhihar-nya padahal dia tahu masuknya Hari Raya dalam pelaksanaan puasanya. Berbeda jika dia tidak tahu, maka tidak terputus. Sebagaimana jika dia menduga bahwa bulan Dzul Hijjah adalah al-Muharram, lalu dia berpuasa pada Dzul Hijjah dengan bulan sesudahnya dengan dugaan bahwa itu bulan Shafar lalu menjadi jelas ternyata berbeda (dengan dugaannya) …
Adapun Hanabilah maka mereka berpendapat bahwa puasa kafarah tidak diputus oleh hal itu sama sekali, dikarenakan wajibnya puasa Ramadhan melalui pewajiban oleh syara’, dan karena berbuka pada dua Hari Raya dan hari-hari tasyriq adalah juga wajib dengan pewajiban syara’. Artinya, bahwa waktu itu dilarang oleh syara’ dari berpuasa padanya seperti halnya malam], selesai.
Ini berarti bahwa Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa berbuka pada Hari Raya memutus sifat berturut-turut dua bulan puasa kafarah. Artinya, bagi orang yang menunaikan kafarah wajib kembali memulai lagi hitungan dua bulan itu. Adapun Hanabilah, maka menurut mereka berbuka Idul Adhha tidak memutus sifat berturut-turut puasa kafarah.
2- Adapun puasa hari Idul Adhha dan hari-hari Tasyriq maka itu tidak boleh. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw:
«نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ»
“Rasulullah saw melarang puasa dua hari, hari Adhha dan hari al-Fithri”.
Dan apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Nubaisyah al-Hudzaliy, dia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ»
“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum”.
Ini berarti bahwa orang yang menunaikan kafarah, dia tidak boleh berpuasa pada hari Idul Adhha dan hari-hari Tasyriq jika puasa kafarah itu mencakup hari-hari itu, tetapi dia harus berbuka pada hari-hari itu, dan berbukanya dia berarti terputusnya sifat berturut-turut (at-tatâbu’) dalam puasa kafarah yang disyariatkan di dalam pusa kafarah itu pada bulan Dzul Qa’dah. Dan ini berarti bahwa dia harus melakukan puasa dua bulan berturut-turut yang lain selain yang sudah dia lakukan karena keterputusan sifat berturut-turut (at-tatâbu’) yang dituntut secara syar’iy dalam puasa dua bulan kafarah itu.
3- Menarik perhatian kami ketika kami menelaah ulang Jawab Soal yang telah kami publikasikan pada 15 Sya’ban 1443 H-18 Maret 2022 M bahwa di situ ada kesalahan penulisan yang terjadi karena ketidaksengajaan, hal itu bahwa di Jawab Soal itu dinyatakan:
[… maka kafarah pembunuhan karena tersalah adalah berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang dia tidak punya budak yang dia merdekakan atau memberi makan enam puluh orang miskin sebagaimana yang ada di dalam ayat yang mulia:
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً﴾
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS an-Nisa’ [4]: 92).]
Jadi ucapan di dalam jawaban sebelumnya: (adalah berpuasa dua bulan berturut-turut untuk orang yang tidak punya budak yang dia merdekakan atau memberi makan enam puluh orang miskin), adalah benar sampai kata “yu’tiquhâ -dia merdekakan-“. Adapun kalimat (aw ith’âmu sittîna miskînan -atau memberi makan enam puluh orang miskin-) maka itu tidak shahih. Karena di dalam kafarah pembunuhan karena tersalah tidak ada memberi makan enam puluh orang miskin dan ayat yang menetapkan dalam jawaban itu tidak menyebutkan “memberi makan enam puluh orang miskin”. Tetapi jawaban yang dinyatakan di situ, bahwa bagi orang yang tidak mampu berpuasa adalah memberi makan … Itu dinyatakan di Jawaban yang disebutkan itu pada poin 3:
(Yang saya rajihkan adalah bahwa jika dia tidak mampu berpuasa karena sebab yang menyebabkannya sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, maka tidak ada apa-apa baginya, tetapi dia memohon ampunan kepada Allah dan bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai kesunahan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Adapun kenapa kami tidak mengqiyaskan kafarah pembunuhan karena tersalah terhadap kafarah zhihar maka karena tidak ada qiyas dalam kafarah sebab hal itu tidak disertai ‘illat …. dst).
Atas dasar itu, maka tampak bahwa kalimat ini (atau memberi makan enam puluh orang miskin), telah diletakkan secara tidak sengata dalam topik ini dan itu bertentangan dengan semua yang ada di Jawab Soal yang diisyaratkan. Dan yang benar (ash-shawâb) adalah dikatakan begini, dengan dihilangkan kalimat yang tidak benar:
[… maka kafarah pembunuhan karena tersalah adalah berpuasa dua bulan berturut-turut untuk orang yang dia tidak memiliki budak yang dia merdekakan sebagaimana yang dinyatakan di ayat yang mulia:
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً﴾
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS an-Nisa’ [4]: 92).
Dan jelas dari ayat tersebut bahwa yang dituntut adalah berpuasa dua bulan ini untuk kafarah tersebut. Dan di situ tidak masuk puasa lainnya yang diwajibkan untuk selain kafarah seperti puasa Ramadhan. Sebab nas syar’iy tentang puasa Ramadhan:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Adalah bukan nas syar’iy untuk kafarah pembunuhan karena tersalah. Jadi keduanya tidak saling turut campur secara bersama].
Saya berharap jawaban telah jelas.
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HTI Info