Semua definisi al-qiyâs yang dinyatakan oleh para ulama mengharuskan adanya yang dipersamakan (al-musyabbah), yang dijadikan sandaran penyamaan (al-musyabbah bihi) dan aspek penyamaan (wajhu syabah). Artinya, dalam al-qiyâs harus ada: al-maqîs, al-maqîs ‘alayh dan wajhu al-qiyâs.
Berdasarkan definisi al-qiyâs yang ada, sesuatu yang menjadikan al-qiyâs itu ada adalah persekutuan al-maqîs dan al-maqîs ‘alayh pada satu perkara, yakni adanya penghimpun di antara keduanya. Perkara yang menghimpun antara al-maqîs dan al-maqîs ‘alayh itu adalah sesuatu yang membangkitkan hukum (al-bâ’its ‘alâ al-hukmi). Itulah yang diistilahkan sebagai ‘illat hukum.
Hadis, Ijmak Sahabat dan peng-’illat-an Rasul saw. dalam berbagai hukum menjadi dalil bahwa qiyas merupakan dalil syariah yang dapat dijadikan hujjah bahwa hukum yang di-istinbath dengan qiyas itu merupakan hukum syara’. Dari situ jelaslah mana jenis qiyas yang merupakan dalil syariah. Sebab semua qiyas yang ada dalam Hadis dan Ijmak Sahabat itu dibangun di atas ‘illat yang dibawa oleh nas. Artinya, yang menjadi patokan semua peng-qiyas-an yang ada di dalam Hadis dan Ijmak Sahabat itu adalah sesuatu yang membangkitkan hukum. Itulah ‘illat. ‘Illat itu hanya dikhususkan dengan ‘illat yang dibawa oleh nas, bukan yang lain.
Jadi qiyas yang mu’tabar (diakui) adalah qiyas syar’i, bukan qiyas ‘aqli. Qiyas syar’i adalah qiyas yang di dalamnya ada petunjuk dari Syariah yang menunjukkan ke-mu’tabar-annya, yakni di dalamnya ada ‘illat syar’i yang dinyatakan oleh nas syar’i tertentu.
Adapun qiyas ‘aqli adalah qiyas yang dipahami oleh akal dari sejumlah syariah tanpa ada nas tertentu yang menunjukkannya. Dengan kata lain, qiyas ‘aqli adalah qiyas yang dipahami dari qiyas hukum terhadap hukum lainnya semata-mata karena adanya keserupaan atau kemiripan secara akal tanpa ada di situ sesuatu yang membangkitkan hukum yang dinyatakan oleh syariah. Semua itu, dilihat dari aspek apapun, tidak boleh. Sebab mengadopsi pemahaman manthiqi (silogisme) mengharuskan penyamaan hukum di antara dua perkara yang mirip. Oleh karena itu qiyas dijadikan ada di antara setiap dua perkara yang memiliki aspek penyamaan. Padahal faktanya, syariah banyak memisahkan di antara dua perkara yang mirip, juga banyak menghimpun di antara hal-hal yang berbeda. Ini berbeda bahkan bertentangan dengan qiyas ‘aqli dan pemahaman manthiqi.
Hal itu menunjukkan bahwa qiyas syar’i itu bukan berjalan pada semua hal yang serupa atau mirip, juga menunjukkan qiyas syar’i mungkin dilakukan atas hal yang berbeda. Jadi qiyas syar’i itu tidak berlaku semata-mata karena adanya kemiripan dan keserupaan, melainkan harus ada ‘illat syar’i.
Dalil ketidakbolehan qiyas menggunakan pemahaman manthiqi, yakni tidak boleh qiyas ‘aqli, adalah nas-nas syariah yang mendatangkan hukum-hukum syariah. Sebab Asy-Syari’ telah memisahkan atau membedakan di dalam nas-nas syariah di antara perkara-perkara yang serupa, Sebaliknya, Asy-Syari’ menghimpun di antara perkara-perkara yang berbeda dan menetapkan hukum yang di dalamnya tidak ada ruang sedikit pun bagi akal.
Syariah membedakan banyak perkara yang serupa. Syariah membedakan waktu dalam hal kemuliaannya. Syariah memuliakan Lailatul Qadar atas malam-malam lainnya. Syariah juga membedakan tempat dari sisi kemuliaan. Syariah melebihkan Makkah atas Madinah dan melebihkan Madinah atas yang lainnya. Syariah melebihkan keutamaan shalat di Masjidil Haram atas shalat di Masjid Nabawi, melebihkan shalat di Masjid Nabawi atas shalat di Masjidil Aqsha, dan melebihkan shalat di Masjidil Aqsha atas shalat di seluruh masjid lainnya.
Syariah juga membedakan rukhshah meng-qashar shalat. Syariah menetapkan rukhshah qashar untuk shalat yang empat rakaat, tetapi tidak memberlakukan rukhshah qashar pada shalat yang tiga rakaat (shalat maghrib) dan shalat dua rakaat (shalat subuh). Syariah menjadikan mani sebagai suci, sementara madzi najis. Di sisi lain, syariah mewajibkan mandi karena keluar mani, tetapi mandi tidak diwajibkan karena keluarnya madzi. Padahal keduanya, mani dan madzi, keluar dari tempat yang sama.
Syariah mewajibkan wanita haid untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena haid, tetapi tidak meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan selama haid. Syariah menetapkan hukuman potong tangan atas pencurian seperempat dinar atau lebih yang memenuhi syarat-syaratnya. Namun, hukuman potong tangan tidak ditetapkan atas ghashab harta dalam jumlah banyak atau ikhtilas (korupsi) dalam jumlah besar. Syariah menetapkan hukuman cambuk untuk orang yang menuduh zina, tetapi tidak ditetapkan atas orang yang menuduh kafir.
Syariah menetapkan masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya selama tiga quru’, sementara masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Padahal wanita itu sama-sama tidak dalam keadaan hamil.
Begitulah, syariah membedakan hukum banyak perkara yang mirip dan di dalamnya ada penghimpun, yakni ada persamaan di antara perkara itu. Namun, syariah datang dengan hukum yang berbeda untuk masing-masing. Ini menunjukkan bahwa semata-mata adanya penghimpun atau persamaan dalam perkara tidak cukup untuk memberlakukan qiyas pada perkara-perkara itu. Untuk memberlakukan qiyas, penghimpun atau persamaan itu haruslah berupa ‘illat syar’iyyah yang ditunjukkan oleh nas syariah.
Di sisi lain, syariah menghimpun di antara banyak perkara yang berbeda. Syariah menghimpun air dan tanah dalam hukum kebolehan bersuci dengan keduanya. Padahal air itu membersihkan, sementara tanah malah “mengotori”. Syariah juga menetapkan sanksi bunuh atas orang yang murtad, pelaku liwath dan pelaku zina muhshan meski tatacaranya berbeda. Padahal ada perbedaan besar di antara ketiga kemaksiatan itu. Demikian pula kasus-kasus lainnya. Begitulah, dalam banyak fakta, di dalamnya ada perbedaan yang jelas dan tidak ada penghimpun di antara perkara yang berbeda itu, tetapi syariah menjadikan untuk perkara-perkara yang bereda itu hukum yang sama.
Selain itu, hukum-hukum syariah itu di dalamnya tidak ada ruang bagi akal akan menetapkannya. Misalnya, Allah SWT mewajibkan potong tangan pada pencurian sejumlah seperempat dinar, dan tidak menetapkan potong tangan dalam kasus ghashab dalam jumlah besar. Syariah mewajibkan sanksi cambuk bagi orang yang menuduh zina, tetapi tidak bagi orang yang menuduh pada selain zina seperti menuduh kafir orang lain.
Syariah mensyaratkan kesaksian dalam kasus zina harus empat orang saksi laki-laki, sementara dalam kasus pembunuhan cukup dua orang saksi. Padahal pembunuhan lebih mengerikan daripada zina.
Syariah mewajibkan zakat pada emas, perak dan uang; tetapi tidak mewajibkannya pada mutiara, permata dan logam berharga lainnya. Syariah mensyaratkan kesaksian dalam rujuk, saksinya harus Muslim. Adapun dalam kasus wasiat dan muamalah finansial lainnya, syariah memperbolehkan saksinya seorang kafir.
Begitulah, dalam hukum-hukum syariah itu tidak ada ruang bagi akal di dalamnya untuk menetapkannya. Seandainya akal boleh memahami ‘illat dari keseluruhan syariah, atau boleh memahami ‘illat dari zhahir nas, atau boleh memahami adanya qiyas di antara dua perkara semata dari adanya kemiripan atau persamaan di antara dua hukum, niscaya banyak perkara yang dihalalkan oleh Allah justru akan diharamkan oleh akal atau banyak perkara yang diharamkan oleh Allah justru dihalalkan oleh akal, dengan menggunakan qiyas ‘aqli.
Oleh karena itu, tidak boleh dilangsungkan qiyas kecuali pada ‘illat yang dinyatakan oleh nas. Dalam hal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Andai agama Allah itu menurut pandangan akal (ar-ra`yu), niscaya sebelah bawah sepatu/kaos kaki lebih layak dibasuh dari sebelah atasnya.” (HR ad-Daraquthni).
Dari semua di atas jelaslah bahwa qiyas yang mu’tabar hanyalah qiyas syar’i, yakni qiyas berdasarkan ‘illat yang dinyatakan atau ditunjukkan oleh nas syariah. Hal itu juga ditegaskan oleh dalil-dalil zhanni yang menjelaskan jenis qiyas yang mu’tabar secara syar’i.
Dalil zhanni yang menjadikan qiyas sebagai dalil syar’i adalah persetujuan Rasul saw. atas qiyas, petunjuk Rasul saw. kepada wanita dari Khats’am akan qiyas, dan peng-qiyas-an Rasul saw. sendiri untuk banyak hukum.
Persetujuan Rasul saw. untuk qiyas kepada Muadz bin Jabal ra. dan Abu Musa al-Asy’ari ra.—sebagaimana yang riwayatkan oleh Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dan Abu al-Husain al-Bashri di dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqhi—bersifat mutlak. Namun, dalam petunjuk Rasul kepada wanita dan laki-laki Khats’am, juga kepada Umar bin al-Khaththab ra. dan semua pratik qiyas yang dilakukan dan ditunjukkan oleh Rasul saw., semuanya berdasarkan adanya penghimpun antara al-maqîs dan al-maqîs ‘alayhi berupa sesuatu yang membangkitkan hukum, yakni ‘illat.
Dari semua itu, jelas bahwa qiyas tidak boleh dilakukan semata-mata karena adanya penghimpun antara al-maqîs dan al-maqîs ‘alayh. Akan tetapi, penghimpun itu harus berupa sesuatu yang membangkitkan hukum. Itulah ‘illat yang dinyatakan atau ditunjukkan oleh nas syar’i.
Alhasil, qiyas yang mu’tabar (diakui) hanya qiyas syar’i. Adapun qiyas ‘aqli tidak punya tempat sama sekali.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]