Mufâraqah berasal dari kata fâraqa–yufâriqu–mufâraqah. Fâraqa asy-syay’a artinya bâyanahu.1 Kata bâyana asy-syay’a bisa berkonotasi meninggalkannya, memisahkan diri darinya, berbeda darinya, tidak menyertainya (ghayr mushâhabah) dan menyelisihi atau tidak menaatinya.
Dari sini, istilah mufâraqah li al-hukâm bisa dimaknai: memisahkan diri dari penguasa, meninggalkannya, tidak menyertai (menemani)-nya, membedakan diri darinya, menyelisihinya dan tidak menaatinya. Di dalamnya juga terkandung makna: tidak cenderung kepada penguasa, tidak membantu atau bekerjasama dengannya, dan tidak memberikan pengakuan dalam bentuk apapun kepada tindakan dan sikap zalim penguasa.
Mufâraqah li al-hukâm merupakan bagian dari konsepsi politik tentang hubungan dan sikap kepada penguasa. Mufâraqah hanyalah sebagian dari hubungan dengan penguasa yang dijelaskan oleh syariah islam. Konsep mufâraqah merupakan sisi sebaliknya dari konsep ketaatan, kecintaan, kecenderungan, pertolongan, kerjasama dan sejenisnya kepada penguasa. Semua itu dijelaskan oleh syariah. Konsep-konsep tersebut harus dipahami dengan baik sehingga tidak melahirkan ketaatan atau penentangan yang membabi buta.
Syariah banyak mendorong untuk menaati kepala negara atau penguasa. Syariah menetapkan hal itu sebagai fardhu ‘ain atas setiap Muslim. Syariah menilai ketaatan kepada kepala negara sebagai bagian dari ketaatan kepada Nabi saw. dan kepada Allah Swt. Sebaliknya syariah mengharamkan sikap tidak mau taat kepada kepala negara atau penguasa. Syariah menilai hal itu sebagai kejahatan dan dosa dan disebut sebagai mufâriq li al-jamâ’ah (memecah belah jamaah). Syariah memerintahkan kepala negara untuk menjatuhkan sanksi atas mereka yang membangkang jika mereka individu dan memerangi mereka jika mereka merupakan kelompok (jamaah).
Namun, syariah tidak mendorong ketaatan yang membabi buta. Sebaliknya, syariah menjelaskan kondisi yang dikecualikan dari perintah menaati kepala negara/penguasa itu. Pengecualian itu antara lain: Pertama, jika kepala negara/penguasa memerintahkan sesuatu yang menyalahi syariah, yaitu memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Misalnya, perintah nasionalisasi harta yang menurut syariah adalah milik individu, menghalangi tentara atau siapapun untuk pergi ke Palestina memerangi zionis Israel dan menolong penduduk Palestina, perintah bekerjasama dengan kaum kafir harbi fi’l[an], membentuk intelijen untuk memata-matai rakyat, dsb. Dalam kondisi seperti ini haram menaati penguasa. Ibn Umar menuturkan bahwa Rasul pernah bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat adalah wajib bagi seorang Muslim selama tidak diperintahkan bermaksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat maka tidak ada baginya kewajiban mendengar dan taat (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan at-Tirmidzi)
Kedua, jika kepala negara/penguasa melakukan intervensi dalam hal yang mubah sesuai dengan keinginan mereka. Misalnya, penguasa memerintahkan masyarakat untuk membangun dengan gaya bangunan tertentu demi keindahan kota, memerintahkan para petani untuk memasarkan produksi mereka melalui lembaga pemasaran tertentu, atau melarang impor komoditas tertentu demi memproteksi produk lokal, dsb. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak wajib menaatinya, tetapi juga tidak diharamkan. Rasul saw. membiarkan masyarakat melakukan semua itu dan semisalnya tanpa mengintervensi atau mengaturnya.
Ketiga, kondisi jika kepala negara atau penguasa tidak menerapkan hukum-hukum Islam, yaitu jika kepala negara bukan seorang khalifah atau imam; kepala negara atau penguasa itu menerapkan hukum selain syariah Islam. Dalam kondisi ini, secara mutlak tidak wajib menaatinya dalam perkara, perintah, undang-undang atau hukum apapun yang ditetapkannya; haram menaatinya jika perintahnya itu menyalahi hukum syariah, yaitu merupakan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini karena Anas bin Malik menuturkan, bahwa Muadz pernah berkata, “Ya Rasulullah bagaimana pendapat Anda jika atas kami memerintah para pemimpin yang tidak berjalan di atas sunnahmu dan tidak mengambil perintah-perintahmu, apa yang engkau perintahkan di dalam perkara mereka?” Rasulullah saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَنْ لَمْ يُطِعِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak ada kewajiban taat terhadap orang yang tidak menaati Allah ‘Azza wa Jalla (HR Ahmad dan Abu Ya’la).
Penguasa yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam jelas bermaksiat kepada Allah. Mereka bahkan bisa terkategori zalim, fasik atau bahkan kafir (lihat QS al-Maidah [5]: 44, 45 dan 47). Tidak ada status lainnya bagi orang tersebut. Terhadap mereka tidak ada kewajiban taat sama sekali. Jika perintahnya merupakan kemaksiatan maka, sesuai dengan hadis Ibn Umar di atas jelas, haram menaatinya. Lebih dari itu bahkan al-Quran melarang kita untuk sekadar cenderung kepada penguasa zalim, apalagi lebih dari itu (QS Hud [11]: 13).
Selain dari konteks ketaatan ini, Muadz bin Jabal menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda:
أَلا إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ
Ingatlah, sesungguhnya al-Kitab (al-Quran) dan penguasa itu akan berpisah. Janganlah kalian memisahkan diri dari al-Kitab. (HR Thabrani dan Abu Nu’aim).
Ketika penguasa meninggalkan atau memisahkan diri dari al-Quran seperti saat ini, yaitu meninggalkan hukum-hukumnya atau syariah Islam, kita tetap dilarang mufâraqah terhadap al-Quran dan harus memisahkan diri (mufâraqah) terhadap penguasa tersebut.
Hal-hal di atas merupakan bagian dari mufâraqah li al-hukam. Selain itu mufâraqah li al-hukam juga dilakukan dalam bentuk berikut.
Pertama: menolak kerjasama dengan penguasa yang menerapkan sistem hukum selain islam. Ini dijelaskan dalam hadis berikut:
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا
Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fukaha yang pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka (HR ath-Thabrani).
Kedua: tidak mendatangi dan keluar masuk istana penguasa, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka. Kaab bin ‘Ujrah menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda:
اسْمَعُوا هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَتَكُونُ بَعْدِى أُمَرَاءُ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ يَرِدُ عَلَىَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَىَّ الْحَوْضَ
Sesungguhnya akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang menjumpai mereka, membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya siapa yang tidak menjumpai mereka, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya dan ia akan masuk ke telaga bersamaku (HR an-Nasai, Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Ketiga: tidak memuji penguasa zalim, apalagi yang tidak menerapkan syariah. Sebab, pujian kepada penguasa itu akan menjadikan dia merasa apa yang dia lakukan adalah benar dan dia makin mantap melakukan dan melanjutkannya. Banyak hadis yang mencela orang yang banyak memuji seseorang yang berbuat baik. Lalu bagaimana dengan memuji penguasa zalim atau yang malah menerapkan hukum-hukum kufur seraya mengabaikan syariah dan memerangi orang yang mendakwahkan dan memperjuangkan penerapan syariah?
Terhadap penguasa demikian tidak cukup mufâraqah saja. Harus ada aktivitas untuk mengubah penguasa yang menerapkan hukum kufur beserta sistem kufurnya itu sehingga mereka mau menerapkan hukum-hukum Allah dan sistem Islam. Wallâh al-Muwaffiq ilâ aqwâm ath-tharîq. [Yahya Abdurrahman]